Pelayanan kusta di masa pandemi. Selama pandemi, sudah tak terhitung berapa jumlah dokter yang terkena corona bahkan meninggal dunia. Lalu bagaimana kondisi jumlah dokter di Indonesia? Sudah cukupkah? Atau masih kurang?
Hari Jumat, tanggal 29 Oktober 2021, saya mengikuti talkshow Ruang Publik KBR mengenai Lika-Liku Peran Dokter di Tengah Pandemi.
Menurut dr.Ardiansyah dari IDI, rasio dokter di Indonesia sangat rendah yaitu 0,4 per 1000 penduduk. Itu artinya hanya terdapat 4 dokter untuk 10.000 penduduk.
Sahabat ismi pasti ada yang bertanya-tanya, berapa harusnya rasio yang ideal? Ternyata, rekomendasi WHO adalah 1 per 1000 penduduk. Sementara itu, jumlah dokter umum di angka 150-an ribu.
Kalau dibanding jumlah penduduk 250 juta maka angka rasio 0,5- 0,6 masih belum sampai 1. Rasio tersebut, masih kurang dari rekomendasi WHO. Dibanding dari Malaysia, Singapura yang sudah lebih dari 1 rasionya.
Dokter Ardiansyah menyatakan bahwa jumlah dokter yang dibutuhkan di Indonesia adalah 270 ribu dokter umum. Setiap tahun 12-13 ribu dokter lulusan sarjana kedokteran. Saat koas bisa beda-beda waktu lulusnya.
Selain itu, perlu dilihat sistem pendidikan kedokteran yang cukup panjang yaitu 3-4 tahun untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran, koas 2 tahun, magang/ internship 1 tahun. Untuk ikut internship harus lulus uji kompetensi kampus masing-masing. Intinya, dalam waktu 5-6 tahun ke depan seharusnya rasio rekomendasi WHO seharusnya bisa terpenuhi.
Masalah lain di lapangan adalah distribusi tenaga kesehatan yang belum merata. Untuk di daerah terpencil masih kurang. Untuk mengatasinya bukan hanya peran IDI, tapi juga peran pemerintah.
Para sejawat punya banyak pertimbangan seperti kesejahteraan, jaminan keamanan, jaminan pendidikan untuk keluarganya. Ada banyak hal yang perlu dicarikan solusinya.
Bagaimana dengan peran dokter di masa pandemi?
Menurut dr. Ardiansyah, dokter tetap melakukan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tempat praktik masing-masing, edukasi, intinya kesadaran/peran serta masyarakat untuk taat protokol kesehatan.
Teman-teman dokter takut terpapar corona merupakan hal normal. Tapi sudah jadi risiko dan konsekuensi profesi. Kalau dokternya takut melayani, lalu siapa yang akan menangani corona? Yang harus diperhatikan, dokter harus benar-benar siap dengan APD, dsb -dr. Ardiansyah-
Motivasi dokter tetap bertugas di tengah pandemi selain sudah jadi kewajiban, ada sumpah dokter harus terus melakukan pelayanan kesehatan, di kondisi apapun. Dokter juga ingin pandemi segera berakhir. Bahkan yang jadi korban bukan hanya orang di luar sana, tapi juga sesama tenaga kesehatan, dan keluarga di rumah.
Banyaknya dokter yang gugur saat pandemi, jelas mempengaruhi pelayanan kesehatan terutama untuk penyakit tropis terabaikan seperti kusta. Tidak hanya kusta saja, tapi semua penyakit. Apalagi yang gugur bukan hanya dokter umum, tapi juga dokter spesialis.
Dengan kata lain, ada kemungkinan dokter-dokter yang tadinya ikut serta dalam penanggulangan kusta, juga berkurang. Tugas-tugas tersebut bisa ditake over oleh dokter lainnya di faskes yang sama.
Bahkan jika dokter yang gugur pun tidak secara langsung ikut dalam penanggulangan kusta, tetap ada dampaknya. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kapasitas dokter.
Kondisi Pelayanan Kusta di Masa Pandemi
Dokter Udeng Daman selaku Technical Advisor NLR Indonesia menjelaskan bahwa daerah endemik kusta di Indonesia masih cukup banyak, yaitu tersebar di 21 provinsi, 110 kota kabupaten,. Dari 21 provinsi tadi, ada kabupaten yang belum tereleminasi seperti Papua, Maluku, Sulawesi Utara. Misalnya di provinsi Jawa Barat ada 3 kabupaten yang belum tereliminasi. Yang maksud dengan belum tereliminasi adalah ketika masih ada 1 penderita kusta per 10.000 penduduk.
Mengapa masih ada daerah endemik kusta? Banyak faktor penyebab antara lain sanitasi rumah, lingkungan, perilaku hidup bersih, dan kepadatan penduduk (jumlah keluarga).
Apa saja yang perlu diperhatikan untuk pelayanan kusta di masa pandemi?
Sosialisasi, edukasi tentang kusta di daerah terpencil oleh tenaga kesehatan menjadi sebuah tantangan, karena di daerah terpencil tidak selalu ada dokter. Jika dokter tidak ada, tapi ada petugas kesehatan lain, maka harus tetap ada edukasi. Yang susah adalah tentang rujukan, karena akses terbatas. Oleh karena itu, petugas yang ada perlu ditingkatkan kapasitasnya agar bisa menangani kusta sampai bisa dirujuk. Selain itu, banyak pasien kusta yang datang ke puskesmas, sukarela. Tapi itu tidak cukup. Tenaga kesehatan sebaiknya jemput bola, harus aktif mencari. Mengapa? Karena pasien kusta yang datang ke puskesmas merupakan suatu sinyal, mungkin di tempatnya ada pasien lain. -dr. Udeng Daman-
Dengan kata lain, ketika ada 1 pasien, maka harus dilacak. Kontaknya siapa saja? Minimal 20 orang yang dicek. Paling tidak keluarganya. Oleh karena itu, harus ada mapping dan pencatatan. -dr. Udeng-
Terkait pandemi, maka akan menyesuaikan dengan kebijakan selama pandemi, misal da PPKM, dsb. Misal tadinya ada pengumpulan untuk pemeriksaan, jadi door to door. Atau via Whatsapp. Tapi memang ada penurunan kasus baru. Bukan karena kasusnya menurun, tapi karena tidak terdeteksi. Poin penanganan kusta selama pandemi adalah harus taat prokes, karena pemeriksaan pasien kusta harus dekat.
Apakah pelayanan kusta hanya bisa dilakukan di faskes tertentu?
Menurut dr. Udeng, sebetulnya di semua faskes harus bisa menangani/ melayani pasien kusta. Meskipun ada puskesmas yang daerah kabupatennya tidak endemis. Bisa dicarikan strategi misal dirujuk ke puskesmas lain.
Begitu pula dengan rumah sakit, dan dokter praktik swasta agar bisa menangani pasien kusta. Bila menemukan pasien kusta, maka akan dirujuk ke puskesmas, karena obatnya tersedia di sana. Selanjutnya tergantung kebijakan masing-masing daerah, apakah rumah sakit mengembalikan pasien ke puskesmas, atau puskesmas memberi obat ke rumah sakit.
Bisakah penderita kusta menggunakan fasilitas telemedicine?
Menurut dr. Udeng, penggunaan telemedicine akan sangat membantu. Dokter yang memberi konsultasi dapat mengarahkan pasien ke faskes bila terdapat tanda-tanda kusta. Mengapa demikian? Karena di puskesmas, pasien kusta harus diperiksa secara langsung. Apakah ada kelainan kulit, mati rasa, ganggguan fungsi saraf, dan sebagainya.
Dokter Ardiansyah menyatakan bahwa setiap dokter diharapkan bisa menangani kusta. Walaupun ada hal-hal teknis yang kadang menghambat proses penanganan. Kusta tidak sesederhana itu, dimana merupakan penyakit menular sehingga stigmanya tinggi. Pasien kusta seringnya menyembunyikan, sehingga terlambat memeriksakan dirinya. Termasuk surveilance, ketika ada 1 yang terkena, maka perlu dicari tahu apakah di daerah sekitar pasien ada juga yang terkena kusta.
Penanganan kusta harus komprehensif, ada preventif, ada rehabilitasi medisnya juga. Stigma kusta juga harus direduksi, bisa dari masyarakat dan dari tenaga kesehatan sendiri. Dari sisi IDI, selalu ada pelatihan-pelatihan agar dokter kompeten menangani kusta.
Apakah obat-obatan bagi penderita kusta mudah didapatkan saat ini?
Pengobatan kusta 6-9 bulan untuk kusta kering, dan 12-18 bulan untuk kusta basah. Pengobatan yang cukup panjang perlu dikontrol dengan baik agar pasien patuh menggunakan obat.
Rekomendasi NLR untuk penguatan layanan tenaga medis terhadap kusta
- Distribusi dokter di daerah endemis tinggi
- Peningkatan kapabilitas dokter terhadap penanganan kusta. Misal materi kusta di bagian kulit saat di fakultas kedokteran harus lebih intens. Ada sesi khusus menerangkan tentang kondisi kusta di lapangan seperti apa.
- Dokter baru ikut pelatihan formal atau informal.
Pelatihan informal masih jarang. Perlu dianggarkan oleh kabupaten atau provinsi. Misal pelatihan 3 hari, atau workshop tentang kusta. Juga ada program on the job training. Diharapkan dokter bisa ikut aktif. Ada case management sejak diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dsb.
- Ada bimbingan teknis/ senior di kabupaten untuk share pengalaman
- Edukasi untuk meningkatkan awarness
Upaya dari IDI yang sudah dilakukan/ kebijakan baru
- Memelihara dan membina sumpah dokter Indonesia (bagaimana memperlakukan pasien kusta, dsb)
- Ikut serta dalam meningkatkan mutu pendidikan karena dokter pembelajarannya seumur hidup. Pendidikan dan pelatihan dari luar termasuk dari IDI Sampai dokter tersebut tidak berpraktik. Untuk daerah endemis biasanya sudah ada, yang perlu ditingkatkan justru di daerah non endemis
- Melakukan kemitraan dengan pemerintah terkait kebijakan
- Kemitraan dengan pihak luar seperti dengan NLR, radio, NGO
- Bagaimana memberdayakan masyarakat dengan cara melakukan edukasi ke masyarakat
Saat dr. Ardiansyah ditanya, mungkinkah eleminasi kusta tercapai di 2024? Beliau menjawab, kalau semua bekerja sama, berjejaring, bersinergi, harusnya bisa.
Bagaimana dengan strategi NLR agar Indonesia bebas kusta?
Yang dituju oleh NLR sebenarnya ada tiga hal yaitu:
1. Zero Transmission (menghentikan transmisi)
2. Zero Disability (mencegah terjadinya kecacatan)
3. Zero Exclusion (menurunkan stigma)
Oleh sebab itu, NLR melakukan berbagai strategi seperti kemitraan dengan pemerintah, organisasi profesi, dan tokoh masyarakat. Selain itu, diperlukan pula peningkatan kapabilitas tenaga kesehatan, dan komitmen dari stakeholder.
Dari acara talkshow hari ini, mata saya semakin terbuka tentang stigma kusta, dan peran dokter dalam penanganan kusta terutama di masa pandemi. Saya tahu bahwa butuh partisipasi dari semua pihak (masyarakat) agar bisa mereduksi stigma kusta, dan membantu tenaga kesehatan untuk mengeliminasi kusta. Semoga tercapai di 2024. Aamiin.

Pandemi ini akan membawa perubahan dari sikap kita terhadap menjaga kesehatan dari virus dan kusta. Kita jadi belajar banyak
makasih sharingnya