“Kesehatan adalah hak semua orang. Menjadi sehat berarti memberi kesempatan pada badan untuk hidup layak, dan bisa bermanfaat bagi orang lain.”
Tanggal 5-6 April 2018 kemarin, 25 jurnalis dan 5 blogger mengikuti Napak Tilas Yogya “Dari Yogya untuk Indonesia” bersama PT. SariHusada Generasi Mahardika. Jurnalis yang berasal dari media Jogja, beserta blogger Jogja berkumpul di lobi hotel Rich Sahid, Jalan Magelang. Jam 8 pagi, kami menaiki elf menuju pabrik Sarihusada di Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Perjalanan sekitar 45 menit tak terasa, karena kendaraan yang digunakan nyaman, lengkap dengan musik yang mengalun sepanjang Jogja-Klaten.
Sesaat sebelum memasuki pabrik Sarihusada, saya sempat mengamati keadaan sekitar. Lingkungan pabrik berada tidak jauh dari jalan utama. Memang letaknya sedikit masuk ke gang, tetapi bukan berada di lokasi yang terpencil. Ketika mobil memasuki pintu gerbang, tampaklah bangunan serba putih yang dikelilingi oleh taman hijau. Image pabrik yang gelap dan angker tidak terlihat di sini. Kendaraan kami berkeliling di area sebesar 15 hektar. Dari 15 hektar tadi, bangunanya hanya 30%, sedangkan 70%nya adalah ruang terbuka hijau.
Mbak Anna selaku Kepala Komunikasi Sarihusada, menemani sembari menjelaskan mengenai fungsi masing-masing bangunan yang ada di pabrik. Poliklinik, Kantin, Gedung Produksi, Laboratorium, Ruang R&D, Tempat Pembuangan Limbah, Masjid, adalah beberapa tempat yang ada di pabrik Sarihusada. Seperti sebuah kota kecil, pabrik dengan 1000 orang karyawan ini harus melengkapi dirinya dengan fasilitas yang lengkap. Tak sembarang kendaraan bisa masuk ke pabrik Sarihusada, karena harus dicek dulu safety -nya. Semua kendaraan yang keluar masuk pabrik, biasanya dicek kapan terakhir kali ganti oli, keadaan mesin, dan keadaan masing-masing komponen kendaraan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kecelakaan yang bisa mempengaruhi produksi di Sarihusada.
Saya sendiri mengenal Sarihusada ketika bersekolah di SMA 8 Yogyakarta. Pabrik pertama Sarihusada memang berada di Muja-Muju Yogyakarta, sangat dekat dengan SMA saya. Karena pertumbuhan Sarihusada yang cukup pesat, maka dibangunlah pabrik yang lebih besar di Klaten. Mungkin ada yang bertanya-tanya, bukankah Sarihusada milik Perusahaan Asing Danone? Eits, tunggu dulu, saya sendiri baru tahu lho kalau dulunya Sarihusada sempat dimiliki oleh BUMN. Apakah teman-teman ingin tahu sejarahnya?
Sejarah Sarihusada
Pada tahun 1950-an, Pemerintah Indonesiadan PBB mengembangkan program khusus untuk meningkatkan gizi rakyat Indonesia. Seperti teman-teman ketahui, keadaan setelah kemerdekaan memang menyedihkan. Anak-anak banyak yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang. Oleh karena itu, pada tahun 1954, PBB dan pemerintah mendirikan NV Saridele, yang kelak menjadi Sarihusada. Dulu, protein yang tersedia di Indonesia memang lebih banyak berasal dari bahan nabati, yaitu kedelai.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1965, dikeluarkanlah merek legendaris SGM untuk pertama kalinya. Pada tahun 1968, PT Kimia Farma (BUMN) mengakuisisi dan mengambil alih manajemen Sari Husada. Saat sebagian saham Kimia Farma dibeli oleh PT Tiga Raksa Satria Tbk., kedua perusahaan tersebut membesntuk perusahaan bersama yang diberi nama PT Sari Husada (tahun 1972). Pada tahun 1983, Sari Husada masuk bursa dan sahamnya diperdagangkan ke publik. Susu SGM-2 diluncurkan pada tahun 1987, dan produk Lactamil (untuk ibu hamil) diluncurkan setahun setelahnya. Lalu pada tahun 1990, muncullah susu anak merek Vitalac dalam kemasan kaleng.
Tahun 1992, Tigaraksa menjadi pemegang saham mayoritas. Kemudian pada tahun 1998, Sari Husada beraliansi dengan Nutricia International BV, Royal Numico (perusahaan spesialis produk nutrisi bayi asal Belanda). Untuk mengembangkan usahanya, pada tahun 2006, Sari Husada mengubah statusnya dari perusahaan publik menjadi perusahaan privat. Nah, pada tahun itulah Grup Danone (perusahaan multinasional asal Perancis) menjadi pemegang saham mayoritas Sari Husada melalui akuisisi saham Royal Numico. Perubahan nama menjadi PT Sarihusada Generasi Mahardhika terjadi pada tahun 2012.
Meskipun perjalana perusahaannya cukup berliku, tetapi hingga saat ini, Sarihusada tetap fokus pada produk nutrisi untuk bayi, anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Kelebihan dari Sarihusada ada pada rasanya yang enak, harganya yang terjangkau, serta produknya berstandar internasional.
Berkeliling Pabrik
Sebelum berkeliling pabrik, jurnalis dan blogger mendengarkan do and donts selama di pabrik. Setiap tamu yang masuk harus mempunyai track record kesehatan yang bagus. Pak Joko Irianto selaku Factory Manajer, menyampaikan aturan-aturan yang penting untuk diikuti. Antara lain, semua visitor diharapkan memakai rompi visitor agar mudah dikenali jika terjadi bencana atau hal yang tidak diinginkan, sehingga akan didahulukan untuk dibantu proses evakuasinya. Visitor juga tidak diperkenankan memakai perhiasan yang dapat menyimpan partikel. Bila bertato, diharapkan menggunakan baju atau celana yang menutupi tato tersebut. Untuk area tertentu seperti high care area (ruang produksi), tidak semua orang dapat memasukinya. Aturan di high care area ketat sekali. Seperti harus memakai APD termasuk pakaian khusus pabrik, tidak boleh menggunakan perhiasan, dan setiap 3 bulan sekali dilakukan tes stool bagi karyawan. Jika ada karyawan yang sedang diare, makai a tidak boleh masuk kerja.
Setiap visitor yang datang, harus berjalan mengikuti jalur kuning. Saat berjalan, diharapkan tidak memegang smartphone, karena dapat mengakibatkan kecelakaan. Perlu diketahui bahwa setiap kecelakaan yang terjadi di area pabrik harus dilaporkan hingga ke Amsterdam. Jadi kalau teman-teman keserimpet kaki terus jatuh nih, ya bakal ada laporan yang panjang dan njlimet. Makanya kami mendapat penjelasan dulu nih terkait safety. Sebagai informasi, Sarihusada sudah berhasil selama 2500 hari tanpa kecelakaan kerja lho.
Akhirnya tiba juga waktunya berkeliling pabrik. Rombongan dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok saya melihat ruang produksi dari balik kaca. Kami mendapat penjelasan bahwa di setiap bagian produksi, akan ada quality control untuk memastikan produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya. Mesin X-Ray misalnya, memantau apa yang ada dalam kemasan produk. Ada juga mesin yang menghitung jumlah produk yang diproduksi.
Setelah itu, kami melewati kantin yang buka 24 jam karena pabrik ini juga beroperasi selama 24 jam. Dalam seminggu, mesin dimaintenence 8 jam. Lalu, di samping kantin ada ruang fitnes. Berbagai alat olahraga tersedia di sana. Karyawan bebas memakainya sepulang kerja. Oh ya, di Sarihusada juga ada perlombaan dalam bidang olahraga lho.
Kemudian kami berjalan ke Health Center. Di sana kami bertemu dengan dokter yang bertugas. Tak hanya ruang periksa saja yang ada di poliklinik. Ada juga ruang pijat menggunakan kursi gitu. Dan yang nggak kalah penting adalah keberadaan ruang laktasi. Wah, saya nggak menyangka bahwa Sarihusada membuktikan komitmennya mendukung ASI ekslusif dengan adanya ruang laktasi ini. Mbak Anna juga menjelaskan bahwa setiap ibu hamil mendapatkan cuti melahirkan tak hanya 3 bulan, tapi 6 bulan. Untuk karyawan pria yang istrinya melahirkan, juga mendapatkan cuti selama 10 hari. Wow, mantap ya.
Selain itu juga ada program 1000 Pelangi. Program ini bertujuan agar karyawan yang tadinya sama sekali nggak punya ilmu di bidang parenting, nutrisi, dan kesehatan, jadi melek akan hal tersebut. Ya, program 1000 Pelangi ini memang dimaksudkan untuk mendukung nutrisi 1000 hari pertama kehidupan. Setiap tahunnya, ada karyawan yang menjadi ambasador, dan dia mendapat pelatihan.
Sehabis itu, kami pindah ke gedung lainnya, dan naik ke lantai atas. Kami memasuki ruang produksi tapi dari balkon gitu. Dijelaskan bahwa setiap harinya ada berton-ton produk yang dibuat. Setiap produk dijaga kualitas dan keamanannya. Produk Sarihusada mengikuti aturan yang ada di Indonesia, misal dalam hal mikrobiologi, sterilitas, dll. Bahkan standar yang ditetapkan lebih dari standar pemerintah, karena Sarihusada mempunyai standar yang lebih tinggi. Focus on quality Sarihusada sampai 14 macam lho.
Saya juga melihat gudang Sarihusada. Susu kemasan karton yang sudah dibungkus rapi, dimasukkan dalam kardus-kardus. Lalu disimpan di gudang. Gudangnya luas sekali. Di gudang ini, suhu dan kelembaban diatur sedemikian rupa agar produk tetap bagus. Suhu gudang dijaga tidak lebih dari 35 derajat Celcius. Nantinya, produk di gudang akan diambil oleh distributor, untuk didistribusikan ke seluruh pelosok Indonesia.
Oh ya, jika teman-teman ingin melakukan kunjungan ke pabrik Sarihusada, silakan ajukan proposal ya. Sarihusada dengan tangan terbuka menerima kunjungan maksimal 3x seminggu. Tingkat pendidikan minimal yang bisa factory visit harus SMA, terkait dengan safety tadi.
Program CSR Sarihusada
Sebagai perusahaan yang berusaha membangun negeri, Sarihusada menjalankan CSR untuk masyarakat Indonesia. Program CSR Sarihusada antara lain di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi perempuan. Tiga pilar tadi menghasilkan lima program yaitu gizi dan kesehatan, Pendidikan ibu dan anak, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pelestarian lingkungan, dan kepedulian bencana dan kondisi khusus.
Salah satu program CSR yang dibuat Sarihusada adalah Rumah Tempe dan Rumah Srikandi. Bagaimanakah bentuk dari CSR tersebut? Simak yuk penjelasan saya.
Rumah Tempe Srikandi Geneng
Siapa sih yang nggak suka tempe? Tentu semua orang Indonesia suka tempe ya. Bahkan teman saya yang sekolah di luar negeri sampai rela membawa tempe untuk dikonsumsi di sana. Atau ada juga orang Indonesia yang memproduksi temped an laris diborong baik oleh WNI maupun WNA. Kalau dulu pembuatan tempe dikenal dengan cara yang tidak higienis, misalnya saja dengan diinjak-injak. Sarihusada mengenalkan proses produksi tempe yang lebih bersih, dan menggunakan standar pengolahan makanan yang seharusnya. Kualitas tempe yang dihasilkan juga menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, Sarihusada membuat program “Tempe Untuk Rakyat”, sebagai program pembangunan industri mikro desa berbasis peningkatan potensi pangan lokal di wilayah pabrik Sarihusada Prambanan, tepatnya di Desa Geneng, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Pabrik mini ini menggunakan teknologi yang lebih baik dari segi kualitas, sanitasi, dan higienitas.
Saat berkunjung ke tempat ini, saya melihat sendiri proses produksi yang memang bersih. Ada beberapa tahapan dalam membuat tempe. Tahapan tersebut yaitu:
- Penyiapan bahan baku
Kedelai dan ragi yang digunakan harus memiliki kualitas yang baik.
- Sortasi (pemisahan kedelai)
Memisahkan kedelai kering dari bebatuan, ranting, dan partikel asing yang menempel pada kedelai.
- Pencucian 1
Membersihkan kedelai dari semua partikel debu, kulit kedelai yang terkelupas, dan kotoran lainnya.
- Perendaman 1
Dilakukan selama kurang lebih 2 jam.
- Perebusan kedelai
Perebusan selama 30 menit dalam air mendidih (100 derajat Celcius) agar kedelai menjadi lunak, dan kulitnya mudah lepas.
- Perendaman 2
7. Pemisahan kulit kedelai
Pengupasan kulit kedelai harus dilakukan dalam kondisi masih basah
- Pencucian 2
Untuk menghilangkan sisa-sisa asam yang menempel pada kedelai
- Penirisan kedelai
Kedelai ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu kamar (25-27 derajat Celcius), dilakukan selama 1-2 jam
- Peragian
Kedelai dicampur dengan ragi tempe yang masih aktif. Penambahan ragi sebanyak 0,1-0,2 % dari berat kedelai kering.
- Pengemasan
Kedelai yang telah dicampur ragi, dikemas dengan menggunakan kemasan tradisional atau kemasan modern.
- Pengeraman (Fermentasi)
Proses pemeraman dilakukan pada suhu sekitar 30-37 derajat Celcius selama 30-40 jam hingga seluruh permukaan tempe tertutupi lapisan berwarna putih.
Pantesan ketika saya masuk ruang produksi, hawa panas menjalar. Ternyata suhu segitu berfungsi agar fermentasi berjalan dengan baik.
Oh ya, jumlah ibu-ibu yang memperoleh pelatihan pembuatan tempe tadinya hanya 6 orang. Kemudian 6 orang ini mengajarkan lagi ilmu tersebut kepada 3 orang, sehingga sekarang total ada 9 ibu-ibu yang memproduksi tempe di Desa Geneng. Ketika saya tanya, mereka senang sekali dengan program CSR Tempe Untuk Rakyat ini. Seminggu 3x saja mereka membuat tempe. Itupun hanya pagi hari, sisanya bisa diisi kegiatan lain.
Dulu, para ibu hanya di rumah saja, sebagian ada yang berjualan di pasar. Sekarang, semenjak ada Rumah Tempe, perekonomian ibu-ibu meningkat. Jika sedang laris, dalam sehari Sarihusada pernah memesan 800 pc tempe. Pesanan sebanyak itu, tiap orangnya mendapat penghasilan bersih sebesar 300 ribu rupiah. Kalau pesanan normal, sehari bisa 20 kg tempe, tiap orang mendapat 40 ribu rupiah.
Tempe yang diproduksi di Desa Geneng ini juga telah berinovasi menjadi olahan pangan siap makan, antara lain berupa keripik tempe. Saat datang, kami juga disuguhi kreasi makanan dari tempe, seperti kroket, pie, donat tempe, hingga cookies tempe. Saya paling suka cookies -nya, kriuk-kriuk gitu.
Rumah Srikandi di Kampung Badran
Tempat CSR kedua yang kami datangi adalah Rumah Srikandi di Kampung Badran. Tadinya, daerah ini adalah kampung preman. Segala jenis preman dapat ditemukan di tempat ini. Kampung ini terkenal dengan pemukimannya yang padat, kumuh, dan miskin. Tak hanya itu, gizi buruk dan gizi kurang pun menjadi permasalahan utama. Ada 13 anak dengan gizi buruk yang terdata. Sarihusada masuk ke desa ini, dengan harapan dapat mengatasi permasalahan gizi dan memberdayakan perekonomian masyarakatnya.
Sarihusada membuat program bernama “Rumah Srikandi”. Program ini berbasis komunitas yang fokus pada 3 pilar yaitu peningkatan kualitas kesehatan, peningkatan kualitas Pendidikan (terutama anak usia dini), dan peningkatan kualitas ekonomi. Rumah Srikandi ini bukan berbentuk bangunan, melainkan program yang berkesinambungan.
Ketika saya menginjakkan kaki ke Kampung Badran, memang tampak pemukiman dengan gang yang sempit, tetapi bersih. Banyak anak-anak yang bermain dan berlarian di sekitar kampung. Kami mengunjungi salah satu program Rumah Srikandi yaitu Bunda Mengajar. Anggota Bunda Mengajar diberi pelatihan mengenai PAUD, kesehatan, dan posyandu.
Kebun Gizi
Kegiatan Bunda Mengajar antara lain membuat demplot kebun gizi dengan cara hidroponik. Kami datang di saat akan panen selada. Wah, seladanya besar-besar dan warna hijaunya menarik. Hanya butuh waktu 40-45 hari saja sampai selada dapat dipanen.
Selain selada, para ibu di Bunda Mengajar juga menanam kangkong, sawi, cabai, dan sebagainya. Bulan lalu, panen kangkong bahkan mencapai 7,5 kg. Hasil panen biasanya dibagikan ke anggota Bunda Mengajar, karena mereka yang memelihara tanaman di demplot kebun gizi. Sedangkan sisanya dijual ke masyarakat sekitar.
Blogger dan jurnalis melihat langsung bagaimana cara penanaman menggunakan media air. Ternyata nggak susah lho. Teman-teman cukup menyediakan beberapa bahan, yaitu rog wall, net pot, flannel untuk penyerap, dan nutrisi AB. Semua bahan tadi dapat dicari di toko pertanian. Pertama-tama, rog wall dipotong kotak-kotak, karena bibit (biji) akan diletakkan di sana. Kemudian rog wall dibasahi terlebih dahulu dengan air. Baru deh biji ditaruh di atasnya.
Penyemaian dilakukan ketika benih sudah tumbuh misalnya 2-3 helai. Bibit dapat dipindah ke media berikutnya, yaitu dimasukkan ke net pot (untuk yang ditumbuhkan di pipa paralon). Atau langsung dipindah ke atas flannel (untuk yang ditumbuhkan di bekas botol air mineral). Jika menggunakan botol bekas, tutuplah botol dengan plastik hitam agar botol tidak berlumut. Air di botol cukup digoyangkan sesekali supaya nutrisi AB bisa terdistribusi dengan merata.
Menurut ibu-ibu dari Bunda Mengajar, sayur yang dihasilkan dari kebun gizi hidroponik ini memiliki rasa yang lebih lezat, lebih kriuk dibanding yang biasa mereka beli di pasar. Selain rasanya yang lebih enak, penampakannya pun lebih segar, lebih besar, dan warnanya lebih menarik. Ketika dimasak, rasanya juga beda lho antara sayur hidroponik tanpa pestisida versus sayur beli yang entah bagaimana penanamannya.
Bank Sampah
Kegiatan lain dari Bunda Mengajar adalah bank sampah. Mereka mengubah barang-barang bekas, menjadi karya seni bernilai tinggi. Saya sempat melihat beberapa kerajinan tangan ibu-ibu di Kampung Badran, seperti bunga plastik, hingga tas dan hiasan lainnya. Wah, kreatif banget ya. Yang jelas, dua kegiatan tadi bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Paling tidak, mereka bisa hidup lebih sehat, karena mendapatkan bahan makanan yang lebih sehat. Sekaligus berhasil mengubah sampah menjadi barang yang lebih bermanfaat.
Pondok Gizi
Oh ya, seperti yang saya tulis di atas, Kampung Badran pernah menghadapi permasalahan gizi buruk. Anak-anak di sini kurang gizi. Oleh karena itu, dicetuskanlah program Pondok Gizi. Program ini dijalankan bersama Posyandu, dengan berfokus pada pemberian pengetahuan tentang gizi.
Selain penimbangan balita, Posyandu juga dilengkapi dengan acara seperti demo masak, atau penyuluhan gizi. Diharapkan, dengan bertambahnya ilmu yang dimiliki ibu, maka anakpun akan meningkat gizinya.
Ada hal menarik saat saya ke Pondok Gizi, yaitu timbangan balitanya berbentuk odong-odong yang sudah dimodifikasi. Kalau di desa saya masih pakai kain gitu, sampai bayi dan balita pada nangis ketika di timbang. Berbeda dengan bayi dan balita di Kampung Badran, mereka malah betah dan nggak mau turun dari timbangan:D. Ya iyalah, timbangannya lucu dan empuk gitu. Perlu ditiru nih sama desa lain.
Sekarang, kondisi Kampung Badran sudah jauh berbeda. Dari yang tadinya terkenal sebagai kampung preman dan anak-anaknya mengalami gizi buruk. Kini, PAUD di Kampung Badran bahkan menjadi PAUD percontohan. Posyandu di sini dengan program Pondok Gizinya juga melenggang ke provinsi untuk kategori program kesehatan. Wow, sebuah perubahan yang luar biasa bukan? Pencapaian ini membuktikan bahwa program CSR dari perusahaan memang diperlukan oleh penduduk Indonesia.
Ramah Tamah dengan Sarihusada
Malamnya, blogger dan media dijamu oleh Sarihusada. Tak hanya makan malam, tapi ada talkshow interaktif dengan dua orang narasumber, yaitu Bapak Arif Mujahidin, dan Bapak Krisdyatmiko.
Pak Arif selaku Head of Communication Danone Indonesia, menyampaikan mengenai sejarah produk Sarihusada. Dimulai dari masa kemerdekaan, dimana banyak anak yang mengalami busung lapar dan gizi buruk di Indonesia. PBB berinisiatif membuat susu protein, tetapi karena tidak ada sapi sehingga formula pertama menggunakan protein kedelai. Jogja merupakan daerah penghasil kedelai yang cukup banyak. Oleh karena itu, pabrik pertama Sarihusada (saat itu bernama Saridele) didirikan di Jogja (muja-Muju).
Formula SGM pertama kali dikembangkan oleh 4 profesor di Jakarta. Saat itu di Tanjung Priuk, susu asam Camelpo banyak tertumpuk hingga mengeras. Kemudian, Camelpo tersebut dimanfaatkan agar dapat mencukupi gizi anak Indonesia. Camelpo dihancurkan, lalu di tambah minyak kacang dan sukrosa. Itulah formula pertama yang dibagikan ke anak-anak. Kalau sekarang sih formulas produk SGM sudah jauh berbeda.
Pak Arif juga sempat menjelaskan mengapa Sarihusada senantiasa setia terhadap bentuk sediaan bubuk. Hal ini dikarenakan agar tahan lama, hingga dapat didistribusikan sampai ke pelosok pulau di Indonesia. Jika saat itu Sarihusada meluncurkan produk cair, hanya tahan 9 hari. Itupun sebaiknya masuk kulkas. Sementara zaman dulu, nggak semua orang punya kulkas. Kemasan karton, bukan kaleng, juga dimaksudkan agar harganya lebih murah sehingga dapat terjangkau banyak kalangan.
Pak Arif juga menekankan bahwa susu bukan makanan pokok, tapi pelengkap, karena tidak semua anak Indonesia tercukupi gizinya dari makanan. Sarihusada bahkan sangat mendukung program ASI ekslusif. Salah satu buktinya adalah diberikannya hak cuti 6 bulan kepada karyawan perempuan yang habis melahirkan.
Talk show berikutnya disampaikan oleh Bapak Krisdyatmiko. Beliau menjelaskan mengenai 3 P yang perlu dimiliki oleh perusahaan, yaitu Planet, Produk (produk SGM untuk gizi bangsa), dan People (mencerdaskan bangsa yaitu CSR). Perusahaan yang bergerak di bidang nutrisi ibu hamil, bayi dan anak, harus mampu menstransformasi ilmu kesehatannya ke masyarakat.
Ada tiga pilar dalam CSR, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi (income generating). Pendekatan community development Sari Husada membantu membangun kemandirian masyarakat. Salah satunya melalui food suvernity (kedaulatan pangan) sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Menurut Pak Kris, ada empat jenis CSR, yaitu charity, infrastruktur, capasity building, dan pemberdayaan. Sarihusada sendiri menerapkan jenis pemberdayaan di Desa Geneng dan Kampung Badran.
Jika dilihat dari tahapannya, CSR sebaiknya dimulai dengan mengubah mindset masyarakat (capasity building) dalam bentuk pelatihan, dan pendampingan. Setelah itu baru dilakukan intervensi program (produk, barang-barang). Keberadaan kelembagaan juga amat penting, yaitu berupa lembaga yang sudah ada, sebagai basis pelaksanaan program. Lembaga ini berfungsi untuk merawat keberadaan program sehingga ke depannya, intervensi dari perusahaan dapat di- stop, dan masyarakat penerima CSR bisa menjalankan programnya secara mandiri. Tahap terakhir yaitu terminasi eksis strategi. Tahap ini berarti perusahaan stop CSR di tempat tersebut, lalu pindah ke komunitas lain untuk mengembangkan bidang lain sesuai potensi masing-masing daerah.
Malam itu ditutup dengan diskusi dan tanya jawab. Kami kembali ke kamar masing-masing, karena esok hari ada outbond sebagai rangkaian acara di hari terakhir Napak Tilas Jogja. Semangat!
Outbond di Dolan Ndeso
Saya bangun pagi-pagi sekali, karena jam 8 pagi harus sudah siap berangkat ke Kulon Progo. Saya dan teman-teman blogger sarapan jam 7 pagi. Kami ngobrol-ngobrol sebentar, lalu kendaraan elf meluncur ke tempat outbond.
Terus terang, saya baru pertama kalinya ke Dolandeso. Suasananya nyaman, asri, dan benar-benar seolah kembali ke alam. Kami sempat pemasanan dengan berbagai permainan untuk meningkatkan konsentrasi.
Setelah itu, peserta outbond dibagi menjadi dua grup. Dimulailah kompetisi dalam bentuk permainan yang menarik. Mulai dari engrang yang ditarik oleh 6 orang, hingga menebak kata dengan menggunakan simbol atau isyarat. Semuanya seru! Dan dua grup tadi seri nilainya.
Setelah itu, permainan berikutnya adalah basah-basahan, yaitu body rafting. Saya sih sebenarnya mau aja, tapi berhubung lagi red days, jadi terpaksa nggak ikutan (hehe alesyan). Menurut saya, debet air sungainya lumayan deras. Apalagi jalur yang dilewati ada yang ekstrim, melewati bawah jembatan yang berupa terowongan. Jarak antara beton jembatan dengan air sungai hanya beberapa centimeter saja, hanya cukup untuk kepala.
Para peserta body rafting diharuskan berenang dalam posisi telentang dengan kepala menengadah ke atas, dan kaki juga ke atas. Hal ini dimaksudkan sebagai safety, meskipun peserta sudah dilengkapi dengan rompi pelampung dan helm pengaman.
Beberapa rekan jurnalis dan blogger dengan berani mencoba body rafting. Sementara lainnya, cukup puas hanya mengambil foto dan video. Selesai rafting, kami kembali ke pendopo Dolan Ndeso, untuk menikmati makan siang dan bersih-bersih badan. Peserta laki-laki salat jumat, dan yang perempuan juga salat setelahnya. Acara Napak Tilas Jogja ditutup dengan sesi penutupan oleh perwakilan Sarihusada, dan pihak panitia.
Banyak ilmu yang saya terima selama acara dua hari kemarin. Beberapa insight juga saya dapat sehingga menjadi ide tersendiri yang akan dipraktekkan baik di rumah atau untuk masyarakat sekitar. Jadi ingin usul timbangan odong-odong juga nih ke Posyandu desa saya. Termasuk program Pondok Gizi dan penanaman hidroponiknya. Kesimpulannya, CSR memang merupakan bagian dari tanggung jawab dan kewajiban perusahaan untuk memberikan timbal balik ke masyarakat sekitar. Ketika perusahaan berkembang dan bertumbuh, alangkah hebatnya jika masyarakat juga menikmati hasil serupa.
Semoga terus jaya ya Sari Husada!
oow ini ya cerita lengkapnya body rafting kemarin maaak, wkwkwkw. seru bangett
haha iya Mak. Hayo berani coba nggak?
wahh serunya, pas Academy danone cuman sampe pabrik tempe, duh jadi pengen deh diajakin jalan-jalan lagi hehe.
wah Mbak Uli ikut Danone Academy ya kemarin? Ayuk ke Jogja lagi
Wiii…acaranya seru banget yaaa…aku kagum sama pembuatan tempe yang higienis. Soalnya pernah mengunjungi pabrik tahu tempe yang…yah begitulah hehebe
nah kan, bisa-bisa kita jadi jijik dan nggak mau makan tahu tempe lagi. tapi ketika produksinya lihat sendiri higienis kan jadi lebih yakin
Wah seru banget acaranya. Acara hari pertama itu banyak banget ilmunya. Sukak sama sari husada yang terus berperan aktif untuk masyarakat. Pengalaman mereka dikembangkan dan bisa mensejahterakan masyarakat
Semoga akan ada lagi desa yang dikembangkan terus. Supaya Indonesia semakin sejahtera dari waktu ke waktu
iya bener Mbak. keaktifan perusahaan untuk berbagi ilmu ke masyarakat itu ternyata penting
Sayang udah tua, gak bisa daftar jadi karyawan. Cuti 6 bulan berharga banget buat ibu dan bayinya.
haha iya. Yang mau nambah anak lumayan nih
keren2 ya programnya sangat membantu
benar Mbak, masyarakat jadi terbantu
Lapor… Dulu saya jadi fasilitator PKPU program Komunitas Hijau hihihi…
Kayak gak asing sama program ini, sayangnya saya nggak kebagian di bagian Gizi huhu..
Kangen bgt kegiatan spt ini apalagi jd fasilitatornya. Sehat selalu mba Dian 🙂
Mantep banget nih program milik sari husada, salut.
Idem aku juga nih
Rumah tempe itu terbuka untuk umum mbak?
Terbuka Mbak.boleh ke sana
Keren ya program-programnya.. bermanfaat banget.. betewe itu selada besar-besar dan sueger banget.. mantaap
iya besar banget kan, kriuk katanya seladanya. dimakan mentah juga enak
Seladanya gede2 nyenengke tenan. Tempe diolah jadi apapun selalu enakk yaaa… Keren deh Sarihusada. Berharap di daerah2 lain bs dapat pembinaan kaya gt.
Iya, aku pgn nanem di rumah belum jadi-jadie. Aamiin semoga bisa ke daerah lain ya
Seru banget ya mengunjungi Pabrik Sari Husada. Wah mereka juga bikin tempe ya? Dipasarkannya sampai Jkt gak ya?
Aku ngiler sama selada2nya mbak, soalnya aku hobi nyemilin selada hehe 😀
Nah ini kemarin aku nggak tanya pemasaran sampai luar kota nggak ya, hehe
Rumah srikandi ini diadakan tahun berapa ya mbak?