Menyusui dengan keras kepala. Bisakah?
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan [QS al-Baqoroh : 233]
Sudah jelas dari ayat di atas, agama meminta para ibu untuk memenuhi hak anak terhadap ASI. Bahkan agama pun memberi solusi mencari ibu susu bila ibu kandungnya takmampu memberi ASI. Okelah, zaman dulu memang belum ada susu formula, tapi bukankah Al-Qur’an berlaku sepanjang zaman?
Menyusui bukanlah sekedar menghilangkan dahaga bayi, tapi momen mesra antara ibu dan buah hatinya. Tentu saja, menyusui bukanlah perkara yang mudah, karena membutuhkan ilmu, tekad baja, dan dukungan orang-orang terdekat.
Berkaca pada pengalaman menyusuiku. Terus terang dua tahun lalu, saya sebagai calon ibu, termasuk yang sedikit terlambat mempelajari ilmu-ilmu tentang ASI dan menyusui. Saya mulai intensif menggali serba-serbi tentang menyusui ketika saya galau, nyaris menyerah karena menyusui yang kurang didukung keluarga, ditambah anak yang rewel seperti masih lapar. Saya memang beruntung senang membaca, sehingga saya memiliki beberapa buku yang membahas mengenai kehamilan dan persalinan, termasuk tentang menyusui di dalamnya. Buku-buku itu mengupas kulit luar mengenai ASI dan manfaatnya bagi bayi. Oke, saya berniat untuk memberikan ASI ekslusif, dan yakin saya MAMPU. Itulah ikrar saya sebelum bayi saya lahir.
Alhamdulillah bayi saya lahir sehat. Sayang, buah hatiku tidak merasakan IMD. Sesaat setelah lahir saya meminta untuk IMD, tetapi dokter mengatakan ketuban sudah hijau sehingga bayi harus diobservasi terlebih dahulu. Yang kutahu, anakku dibawa ke ruang sebelah (kamar bayi) untuk diukur berat dan panjangnya, dimandikan kemudian di bedong, lalu dimasukkan semacam inkubator dengan penutup kepala seperti astronot tetapi terbuat dari kaca dan bening. Suamiku bilang itu adalah alat bantu pernafasan. Sekitar setengah jam kemudian baru bayiku dibawa kepadaku. Perawat bagian laktasi mendampingi untuk membantu lacting on yang pertama kali. Alhamdulillah ASI langsung keluar, Najla anakku menyusu hingga puas dan melepas sendiri, lalu pindah ke payudara satunya.
Pengalaman selanjutnya adalah ketika rooming in. Sejak hari pertama, bayiku sudah tidur bersama kami. Terjadilah kehebohan sepanjang malam. Tentu saja, begadang karena tangisan bayi yang belum kami mengerti apa artinya. Hauskah? Laparkah? atau basah karena mengompol dan pup. Bahkan mungkin saja kegerahan/kedinginan. Alhamdulillah saat itu, saya dan suami saling support. Jika pipis/pup maka suami membantu membersihkan, lalu selanjutnya diberikan pada saya untuk disusui. Setelah menyusui, bayi pun kembali ke Ayahnya untuk disendawakan dan ditimang jika belum tertidur. Jadi saya sebagai ibu baru sangat terbantu, sehingga tidak terlalu kelelahan. Dengan bangga, saya menyebut suami sebagai Ayah ASI:)
Nah, perjuangan dimulai ketika masa cuti suami habis. Dua minggu kemudian, suami kembali ke Jakarta. Saya bersama Najla tetap di Yogya, mengingat usia Najla yang masih terlalu kecil untuk bepergian jauh. Keluarga dekat termasuk ibu, mulai menyarankan di campur sufor. Oh, seingat saya, ibu tidak menyarankan secara frontal. Tapi lebih ke membandingkan di zamannya dulu, yang dialami oleh anak-anaknya termasuk saya, adalah ASI hanya sampai kurang lebih 3 bulan, itu pun dicampur dengan sufor. Dan beliau menganggap anaknya dulu tidur lebih tenang dan lebih nyenyak dibanding cucunya yang sebentar-sebentar terbangun dan menangis seperti orang kelaparan katanya.
Terlebih ketika suatu hari Najla mengalami hal yang tak diduga, yaitu tidak mau melepas puting saya. Seolah tertidur tapi terjaga. Benar-benar melelahkan dan menguras emosi, setiap setengah jam Najla menyusu selama setengah jam. Kemudian setengah jam berikutnya tertidur ( di pangkuan karena jika diletakkan akan menangis), lalu setengah jam selanjutnya bangun dan menyusu, begitu seterusnya dari maghrib sampai jam 1 pagi. Saya nyaris putus asa, lelah fisik dan lelah hati karena dirongrong untuk memberikan susu botol. Itulah momen saya mulai berkenalan lebih jauh tentang ASI dan menyusui. Saat itu saya curhat kepada sahabat saya yang sudah lebih dulu menjadi ibu, namanya Rani. Rani menyarankan agar saya bergabung di beberapa grup tentang ASI di sosial media, termasuk memperkenalkan AIMI kepada saya yang masih awam ini. Belakangan saya tahu, mungkin yang dialami Najla hari itu adalah GS (Growth Suport).
Saya mulai teredukASI dengan banyak membaca dokumen dan file tentang menyusui dari berbagai sumber seperti media cetak, dan komunitas di sosial media. Begitu juga dengan menyimak sharing ibu-ibu menyusui lainnya, membuat saya lebih bersemangat lagi untuk menyusui dengan “keras kepala”.
Nah, PR berikutnya adalah mengedukasi orang terdekat yaitu keluarga. Saya mengajak ibu dan suami saya mengikuti acara-acara tentang ASI dan menyusui di kota saya. Mulai dari talkshow di salah satu mall di Yogyakarta, sampai kelas edukasi yang diadakan oleh AIMI. Terus terang hal tersebut sangat membantu sekali karena yang mempresentasikan mengenai kelebihan ASI dan kenapa harus ASI adalah orang lain yang memang ahli dibidangnya. Ibu saya termasuk kritis bertanya, mengenai asupan ibu menyusuilah, seberapa banyak busui makan mempengaruhi seberapa banyak produksi ASI kah, dan sebagainya. Walaupun belum seutuhnya berpikir ASI lebih baik, paling tidak sudah mulai terbuka menerima fakta-fakta tentang ASI dan menyusui. Bisa dibilang ibu saya berusaha menjadi nenek ASI yang baik.
Alhamdulillah Najla sekatang sudah lulus S3 ASI. Kalau boleh jujur, bukan hal yang mudah untuk gigih menyusui. Sering saya bahkan menahan lapar, menahan ingin buang air, menahan ngantuk dan sebagainya ketika menyusui. Tapi semua itu terbayar dengan kondisi Najla yang tumbuh sehat, jarang sakit, dan aktif. Giginya pun tumbuh dengan rapi dan putih bersih, selain karena rajin menggosok gigi dan jarang makan coklat, hampir tidak pernah makan permen, mungkin juga dikarenakan Najla tidak mengkonsumsi susu formula yang tinggi gula. Apalagi jika memakai dot, dapat dipastikan banyak kuman yang tumbuh bila dot tidak dicuci bersih.
Sekarang PR saya dan suami adalah menyapih Najla dengan cinta. Awal-awal menjelang usia Najla 2 tahun, terus terang saya mulai panik. Karena Najla tidak menunjukkan tanda-tanda rela melepas ASI, yang ada semakin saya membatasi menyusui, justru Najla semakin lengket dan dikit-dikit minta ASI. Rasanya sangat jengkel, apalagi Najla termasuk susah makan. Jadilah ASI dijadikan kambing hitam penyebab anak susah makan. Sedih dan bingung, bagaimana caranya menyapih tanpa menyakiti hati Najla, tanpa membuatnya menangis meraung-raung. Percaya nggak percaya, menurut saya proses WWL kami sudah 95% berhasil. Diawali dengan pengambilalihan ayah Najla dalam proses tidur malam. Ritual tidurnya berganti membaca buku atau nonton dan mendengarkan lagu dari HP,hehe. Kemudian terkadang saya juga tidur di kamar yang berlainan. Jadilah sekarang Najla tidur hampir sepanjang malam. Jika terbangun nglilir, mau minum air putih. Kenapa saya bilang belum 100%, karena kadang Najla menjelang tidur kalau tidak ada ayahnya masih minta ASI, sambil berkata “Sedikit aja, segini, secuil.” sembari menunjukkan satu ruas jari telunjuknya. Good girl, Najla.
Sungguh menyusui adalah masa-masa indah yang tidak dapat digantikan oleh susu lain semahal apapun. Sekali lagi, menyusui bukanlah hal yang mudah, tapi bisa dilakukan jika siap mempertahankan ke “keras kepala” an anda, tentunya didukung ilmu fakta-fakta ilmiah dan fakta religius mengapa harus ASI. Happy breastfeeding Moms, your children need it:)