Sensory Prossesing Disorder itu apa? Assalammualaikum sahabat ismi. Pada tanggal 3 Desember 2022 kemarin diperingati sebagai Hari Disabilitas Internasional. Kenapa saya bisa tahu? Karena saat ini saya tergabung sebagai pengurus sebuah lembaga non profit bernama Kode Spesial.
Kode Spesial merupakan organisasi/ komunitas yang mewadahi orangtua IBK (Individu Berkebutuhan Khusus), praktisi, lembaga dan pemerhati IBK.
Seperti namanya, Kode Spesial(Komunitas Depok untuk Individu Spesial) sebenarnya didirikan untuk memenuhi kebutuhan akses informasi, edukasi dan konsultasi IBK di Depok. Tapi karena perkembangan digital pasca pandemi, layanan Kode Spesial sudah bisa diakses secara daring.
Kembali ke Hari Disabilitas Internasional, mungkin ada yang bertanya apakah anak saya juga spesial (berkebutuhan khusus). Jawabannya adalah iya.
Saya memang merasa ada ketidakwajaran dalam milestone, atau respon anak saya terhadap beberapa hal. Tapi dulu, saya tidak menemukan apa penyebabnya.
Padahal saya sudah berkeliling dari psikolog satu ke psikolog lain. Mulai dari layanan psikologi di kampus ternama, sampai psikolog di rumah sakit pemerintah rujukan di kota Jogja dan Depok. Klinik-klinik swasta juga saya datangi. Mereka semua berkata tidak ada yang “salah” dengan anak saya. Semua dalam tahap wajar, hanya saja perlu diajarkan untuk regulasi emosi.
Padahal, regulasi emosi pada anak bisa terbagi wajar dan tidak wajar. Bila tidak wajar, itu hanya gejala. Artinya ada diagnosa lain yang menyertai.
Mengapa Memilih Sekolah Inklusi?
Saya sampai tak henti-hentinya berdoa agar Allah tunjukkan solusinya. Harus kemana, harus gimana. Hingga akhirnya anak saya bersekolah di SDIF Al Fikri. Sebuah Sekolah Dasar Islam Fitrah yang merupakan sekolah inklusi di Depok.
Salah satu alasan saya memilih sekolah ini adalah karena saat survei, anak saya tampak nyaman, dan kepala sekolahnya ramah. Kami tidak sengaja bertemu dengan beliau, yang kebetulan saat itu sedang ada di sekolah. Sekolah sebenarnya sedang libur, dan kami datang hanya janjian dengan pihak TU karena ingin survei.
Setelah bertanya lebih detail, ternyata SDIF Al Fikri punya psikolog sekolah, dan dokter yang standby. Saya berpikir, jika anak saya mengalami masalah baik medis maupun psikologis, maka Al Fikri punya SOP untuk menanganinya. Tentunya SOP yang bagus karena ada profesional (tenaga ahli) yang kompeten sesuai bidangnya.
Siapa sangka saat anak saya kelas 1 SD, saya dipanggil ke sekolah oleh psikolog Al Fikri. Hari itu, beliau berkata bahwa anak saya tampak cemas, pasif, dan tidak terdengar suaranya selama di sekolah. Saya menjawab bahwa di rumah, ia tidak bersikap demikian. Di rumah, anak saya ceria, senang ngobrol, dan suaranya keras.
Mungkin ada yang berpikir wajarlah anak kelas 1 SD ada yang masih beradaptasi terhadap lingkungan baru. Tapi kalau sudah 1 tahun sekolah dan sikapnya masih sama, ya artinya ada yang tidak wajar dong. Ini yang perlu diusut.
Bila orangtua lain khawatir bahkan takut jika dipanggil oleh psikolog sekolah, saya justru sebaliknya. Saya lega! Lega karena akhirnya ada yang memvalidasi insting dan firasat saya sebagai ibu. Itu artinya lebih dekat pada solusi.
Disarankan Untuk Play Therapy
Karena permasalah utama anak saya adalah sikap yang pasif di sekolah, maka psikolog Al Fikri menyarankan untuk melakukan play therapy. Beliau memberikan rujukan ke Klinik Kancil di Jakarta.
Seminggu 1x, anak saya ke Jakarta. Kadang ditemani ayahnya, kadang saya. Selama proses assesment, sempat muncul dugaan Selective Multism. Tapi diagnosa tersebut tidak tegak, karena kriteria Selective Multism tidak semuanya terpenuhi.
Yang jelas, hasil assesment IQ (saya lupa nama tesnya), menunjukkan bahwa IQ anak saya standar (rata-rata) dengan skor tinggi di spasial, dan skor sangat rendah di verbal. Artinya adalah anak saya mengalami masalah dalam komunikasi verbalnya.
Kemungkinan besar hal tersebut yang membuat ia sering tantrum karena tidak bisa menyampaikan keinginannya secara tepat/lugas. Akibatnya, orang dewasa di sekitarnya tidak memahami apa maunya. Terlebih lagi saat itu saya juga tidak memahami bagaimana caranya merespon emosi anak yang sedang meledak-ledak. Double deh jadinya.
Tak lama setelah melaksanakan play therapy, pandemi melanda Indonesia. Seingat saya, psikolog Klinik Kancil menyatakan bahwa semua terapi tatap muka, dihentikan sementara hingga suasana kondusif.
Tahu sendirilah gimana suasana pandemi pas awal-awal, benar-benar horor. Tentu saja kami mengikuti anjuran pemerintah. No tatap muka sampai pemerintah menyatakan boleh tatap muka lagi.
Oleh karena itu, play therapy off hingga beberapa bulan. Kemudian, saat kasus covid mulai turun. Seingat saya Juni atau Juli (sebelum outbreak gelombang 2), saya mencoba mencari klinik psikologi yang di Depok. Harapannya agar dekat dengan rumah. Enggak perlu KRL -an sehingga meminimalkan kontak dengan banyak orang.
Alhamdulillah berkat rekomendasi dari teman, ketemulah dengan Ruang Mekar Azlia yang sudah membuka konsultasi luring. Tentu dengan syarat ketat seperti harus pakai masker, hanya boleh ada 1 pengantar, jika batpil off dulu terapinya, jika ada keluarga yang terkena covid maka harus cek antigen juga, dan sebagainya. Psikolog Ruang Mekar Azlia bahkan memakai APD lengkap saat bertemu klien.
Dari situ, saya berkenalan dengan Bu Dhisty psikolog anak yang penuh empati dan sangat teliti. Beliau benar-benar mengobservasi, bertanya riwayat kehamilan, hingga persalinan dan selama sekolah. Beberapa assesment juga dilakukan untuk memastikan diagnosa anak saya.
Sebenarnya, Bu Dhisty tidak memberi tahukan secara gamblang apa diagnosa anak saya. Sempat tersebut anxiety (cemas). Saat itu beliau menyarankan untuk play therapy 12 sesi (8 sesi psikolog+ anak, 4 sesi (psikolog+ anak+ orangtua).
Selama play therapy, saya dan suami diajarkan teknik-teknik permainan yang bisa dilakukan secara mandiri di rumah. Harapannya adalah kami bisa mempraktikkannya saat anak sedang tidak terapi di Ruang Mekar Azlia.
Dalam perjalanan play therapy, saya beberapa kali curhat mengenai perilaku-perilaku anak yang menurut saya “aneh”. Mulai dari kurangnya fleksibilitas (saat itu anak saya sangat kaku, terutama terkait jadwal, letak suatu barang, dll), hingga hipersensitif terhadap berbagai hal (khususnya suara dan yang ada hubungannya dengan kulit).
Akhirnya Bu Dhisty meminta saya untuk mengisi kuisioner (yang ternyata untuk mengecek sensori anak). Dari situ ketahuan bahwa anak saya hipersensitif taktil dan auditory. Dengan kata lain, anak saya mengalami SPD (Sensory Prossesing Disorder).
Apakah Sensory Prossesing Disorder itu? Dan apa yang harus dilakukan setelah anak didiagnosa mengalami SPD? Saya akan lanjutkan ceritanya di Part 2 ya.