Review Film Milea, Suara dari Dilan. Sejak awal kemunculan promo film Milea, Suara dari Dilan, saya sudah semangat. Ekspektasi enggak berani tinggi karena takut kecewa. Harapan saya hanya terhibur dengan chemistry Dilan – Milea.
Yang pertama saya lakukan adalah kepoin IG nya Dilanku. Ternyata promo film cukup masif. Mulai dari keliling KRL (yang berakhir dengan menghilangnya Iqbal) hingga promo ke sekolah-sekolah dan pemesanan suvenir berupa kaos, tumblr yang sangat laris. Keren gila! Dilan-Milea jadi ikon kisah cinta anak muda di Indonesia. Seperti Romeo-Juliet, Layla-Majnun, dan tentu saja Rangga-Cinta.
Selanjutnya saya berpikir mau nonton sama siapa ya? Suami atau teman? Kalau sama suami, anak-anak gimana? Kalau sama teman, teman siapa secara di Depok belum terlalu kenal dekat dengan teman-teman. Akhirnya diputuskan mengajak salah satu teman blogger yaitu Mbak Nurul aka Laras. Yeay! Dia juga udah nonton Dilan 1990 dan Dilan 1991, jadi pasti nyambung dengan film ketiga ini.
Kita lanjut ke review yuk.
Review Film Milea, Suara dari Dilan
Sebelum menulis ini, saya membaca dua review lain dari CNN dan tirto.id. CNN Indonesia menulis bahwa film Milea, Suara dari Dilan hanya menggambarkan problematika kisah cinta remaja SMA yang tak berakhir bahagia. Sedangkan tirto.id menulis bahwa karakter Dilan sangat maskulin cenderung patriarkis dan karakter Milea sangat feminin cenderung pasif, menerima dan submisif, sehingga pada akhirnya keduanya tidak bisa bersatu dikarenakan Dilan yang memendam cemburu dan amarahnya sendiri.
Hmm, saya sebenarnya sepakat dengan dua review di atas. Saya pikir benar juga. Kisah Dilan – Milea sejak dulu memang problematika cinta remaja di masa SMA. Yang membuatnya menarik adalah sosok Dilan yang kocak, gombal, dan tentu saja karismatik (setelah diperankan oleh Iqbal dalam film). Tidak ada yang baru selain banyak salah paham yang tidak diungkapkan layaknya cinta kala remaja. Maklum saja, memang di usia tersebut mengungkapkan perasaan kepada lawan jenis tidak semudah yang dibayangkan. Suami istri saja bisa miss komunikasi, apalagi remaja yang di mabuk cinta.
Di balik problematika ala remaja, film Milea, Suara dari Dilan juga menyoroti peran orangtua. Bagaimana bapak Dilan yang seorang tentara bersikap tegas ketika anaknya ditangkap karena diduga terlibat dengan peristiwa pembunuhan. Saya pribadi malah menaruh belas kasihan terhadap Dilan. Karena ia dijauhi Milea, dan diberi “pelajaran” oleh keluarganya. Hal tersebut membuat saya berpikir, bila anak melakukan kesalahan, memang ia harus siap dengan konsekuensinya. Tapi di sisi lain, keluarga seharusnya tetap bisa menjadi tempat paling nyaman untuk pulang.
Adegan yang Bikin Nangis
Siapa sangka ada satu adegan yang membuat saya menitikkan air mata. Mungkin tidak bagi orang lain, tapi buat saya, adegan tersebut mengingatkan pada seseorang. Saya jadi membayangkan bagaimana perasaan orang tersebut ketika mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh Dilan. Apakah ia seterpukul itu? Apakah ia setegar Dilan? Apakah ia sesedih Dilan? Apakah ia berusaha tegar di hadapan ibunya?
Andai waktu bisa terulang, saya yakin Milea ingin menemani pada saat-saat sulit yang dilalui oleh Dilan. Enggak mudah lho bagi seorang remaja kehilangan sosok bapak. Harus pindah rumah dan kota, harus merantau, dan sebagainya. Dilan melalui semua itu tanpa kehadiran Milea. Duh, nyesek euy.
Saran dari Penikmat Film
Saya memang bukan kritikus film. Saya juga tidak terlalu paham tentang sinematografi. Saya hanya penikmat novel dan film Dilan. Dari kacamata saya, sebenarnya saya sudah menduga akan banyak adegan yang diulang. Karena memang dari judulnya saja sudah terlihat. Tidak terlalu banyak adegan baru. Kecuali yang Dilan alami sendiri tanpa ada Milea.
Saya berharap film ini ada lanjutannya. Entah berakhir seperti di novel. Atau siapa tahu berbeda ending-nya. Apakah perlu memunculkan sosok Anchika? Hmm, bisa jadi. Tapi siap-siap saja dihujat oleh penggemar Dilan-Milea. Hehe. Penasaran juga sih, apa yang dilihat Dilan dari pacar barunya? Apa karena ia tidak suka protes dan over protektif seperti Milea? Atau karena ia tidak pernah membuat Dilan cemburu? We will see.
Oh ya, saya juga menunggu-nunggu munculnya lagu Bunyi Sunyi di film Milea Suara dari Dilan, tapi tak kunjung ada. Hingga akhirnya baru muncul saat film selesai alias di post kredit film. Hmm, jadi sedikit kecewa deh. Padahal lagunya bagus. Tapi lagu – lagu lain di sepanjang film juga bagus kok.
Jadi, bagaimana pendapat kalian yang sudah nonton film Milea, Suara dari Dilan? Suka atau biasa saja?

Aaaakkk…udah nonton Milea. Aku belum sempat nonton hiks. Nungguin pemulihan Aisha jadi lupa gak mampir bisokop wkwkwkw. Makasih udah share yaaa