Assalammualaikum, bagaimana libur lebarannya? Aku sih ngerasa cepat berlalu. Maklum, tahun ini kedua kalinya enggak mudik. Sejak pandemi, aku dan keluarga kecilku belum mudik sama sekali ke Jogja.
Alasan utamanya karena orangtuaku sudah sepuh (usia 70 tahun keatas), dan anak-anakku masih kecil-kecil (lebaran kemarin si bungu masih 18 bulan). Tentu saja kedua usia tersebut sangat rentan bila sampai terkena corona.
Tapi enggak dipungkiri, aku rindu mudik. Aku juga rindu kedua orangtuaku. Apalagi jika mengingat usia mereka yang sudah tua. Entah apakah lebaran tahun depan masih ada umur.
Doakan ya, semoga libur sekolah tahun ini kami bisa mudik. Menggantikan libur lebaran. Harapanku semoga perjalanan enggak terlalu ramai. Dan kami sekeluarga masih sehat.
Tentunya dengan tetap melaksanakan prokes ketat. Insyaallah bulan Juni atau Juli aku juga sudah selesai divaksin. Mengikuti suami yang lebih dahulu divaksin.
Daripada sedih, aku mau ajak pembaca ismyama.com untuk ikutan bernostalgia tentang kenangan mudikku. Mulai dari saat aku kecil, hingga akhirnya aku menikah dan mempunyai anak. Sungguh, aku punya banyak kenangan indah tentang mudik. Memang sih, ada rasa capek juga. Tapi semua terbayar dengan bertemu keluarga besar.
Hikmah Memiliki Keluarga Besar, Bisa Mudik ke Berbagai Kota
Kedua orangtuaku memiliki keluarga besar. Ibuku anak ke-5 dari 10 bersaudara sehingga ia dipanggil Mak Ngah (Mak tengah: anak perempuan tengah).
Dari 10 bersaudara tersebut, ada yang mempunyai 8 anak, 5 anak, hingga 3 anak. Dari anak-anaknya tersebut, sudah ada pula yang menikah dan mempunyai anak. Jadi kalau berkumpul, ramai sekali.
Ibuku berasal dari Bangka. Dulu, Kepulauan Bangka Belitung adalah bagian dari Sumatera Selatan. Baru pada tahun 2000, Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi sendiri.
Nostalgia Mudik ke Bangka, Bertemu Makanan Mewah Versiku
Saat kecil, aku pernah mudik ke Bangka. Senang banget karena banyak saudara, banyak pantai yang indah, dan tentu saja makanannya enak-enak. Sebagai keluarga Sumatera, enggak dipungkiri lidahku itu Sumatera banget. Masakan Sumatera memang enak-enak. Terutama makanan yang berasal dari olahan hasil laut. Segar-segar gitu ikan, udang, cumi, dan hasil lautnya.
Mengenal Masakan Lebaran Khas Bangka
Aku inget banget, ketika lebaran di Bangka, kami menginap di rumah adiknya Ibuku, kami memanggilnya Mak Cit (Mak kecit/kecil: adik perempuan, anak perempuan bungsu).
Aroma masakan lebaran sudah tercium sejak beberapa hari sebelum lebaran. Hidangan khasnya adalah sambal asam, yaitu sambal yang bahan utamanya adalah ebi (udang kering).

Rasa sambal ini gurih, manis, dan tentu saja asam. Ada rasa pedasnya juga tergantung selera mau menambahkan cabai sebanyak apa. Bahan membuatnya terdiri dari bawang merah, bawang bombay, cabe, gula merah, santan, daun salam, terasi, gula, garam, air asam, dan tentu saja ebi. Sumpah, rasanya enak banget. Cocok dimakan bareng ketupat, lontong, bahkan pas dimakan bersama lemper.
Makanan khas berikutnya yang sering pula aku temui ketika berkeliling silaturahmi adalah Laksa atau Lakso, dan Mi Bangka. Yummy, Mi Bangka itu kuahnya enak sekali. Kental dan ngaldu banget. Tahu sendirilah bahan baku kuahnya adalah dari daging ikan yang dihaluskan. Dan kualitas ikan di Bangka itu termasuk kualitas super. Kebayang, kan, enaknya?

Kalau laksa, ada yang belum tahu kah? Laksa itu merupakan makanan tradisional Bangka yang dibuat dari tepung beras dan tepung sagu. Bentuknya seperti mi, tapi besar-besar. Mirip udon gitu. Nah, cara makannya unik banget, yaitu dengan disiram kuah ikan yang telah dimasak dengan berbagai macam bumbu dan santan. Tinggal tambah bawang goreng dan kerupuk Bangka deh, Maknyus!
Masih adalagi makanan khas lainnya, yaitu puding tradisional khas Bangka, yang sering disebut sebagai Kue Jongkong. Aku rasa teman-teman ada yang sudah pernah melihatnya. Warnanya hijau, dan bagian atasnya dituang adonan putih.

Warna hijaunya sendiri berasal dari daun suji atau pandan. Dengan bahan utama tepung beras, tepung sagu, gula, garam, dan santan. Sedangkan adonan putih yang menjadi topping -nya, berasal dari tepung beras, tepung sagu, gula, garam dan santan. Tak lupa, pakai gula merah yang disisir halus sebagai lapisan terbawah dari Kue Jongkong.
Selain kue Jongkong, ada pula Kue Rintak. Kue Rintak adalah camilan khas Bangka Belitung yang berupa kue kering kecil. Kue Rintak dibuat dari sagu (tepung tapioka), gula, dan santan. Biasanya di bagian atasnya bertabur wijen.

Kue Rintak ini rasanya gurih dan manis. Tapi entah mengapa, aku pribadi tidak terlalu suka kue Rintak. Paling icip saja beberapa keping.
Oh ya, saat mudik ke Bangka, aku tak lupa makan empek-empek. Rasanya seenak empek-empek Palembang. Tentu saja, kan dulunya satu provinsi. Keluarga ibuku juga membuat empek-empek untuk menu lebaran.
Bertaburanlah empek-empek kapal selam, lenjer, kulit, sampai empek-empek dos (empek-empek tanpa ikan). Cukanya juga beda dengan cuka buatan kota lain. Duh, lebaran di Bangka bikin aku makmur.
Selain itu, aku dan keluargaku juga pernah satu kali naik mobil dari Bangka ke Palembang untuk bersilaturahmi ke rumah kakak dari ibuku. Kami memanggilnya Pak Wo (Pak Tuwo/tua: kakak laki-laki ibuku). Di sana, kami panen durian.

Durian Sumatera terkenal enak dan murah. Kalau enggak salah 3 ribu rupiah saja perbuahnya. Gimana enggak mabuk durian tuh? Wkkka. Habis selesai makan durian, langsung tancap gas balik ke Bangka.
Kenanganku tentang mudik ke Bangka memang dipenuhi oleh makanan enak yang enggak ada habisnya. Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa nulis tentang makanannya? Jawabannya karena enggak setiap saat aku bisa makan menu tersebut. Bahkan belum tentu setiap tahun. Karena kami mudik ke Bangka hanya sesekali. Dan tahukah kamu, mengenangnya membuatku mengingat momen-momen lebaran yang sahdu dan indah.
Di Bangka, Aku Menemukan Makna Lebaran yaitu Melepas Rindu
Selain makan-makan, kami juga berkeliling ke rumah saudara. Rumahnya unik-unik, ada rumah jadulnya. Mirip-miriplah dengan kisah di Laskar Pelangi, Bangka itu kota kecil yang enggak terlalu ramai. Tapi penduduknya ramah dan saling kenal.
Buat yang belum tahu, pantai-pantai di Bangka itu juga bagus lho. Enggak kalah dengan pantainya Belitung. Pasirnya benar-benar bersih, dan berwarna putih krem. Ada pula penginapan besar yang dipinggir Pantai gitu. Aku sih cuma lihat dari luar, karena ke pantainya saja sudah cukup membuatku fresh.
Saat di Bangka, kami enggak pernah menginap di hotel. Wong ada banyak saudara dan teman-teman ibuku di sana. Aku bertemu dengan Mak Wo (Mak Tuwo: kakak perempuan/ anak perempuan tertua), Mak Cit, Pak Wo, Pak Ngah (Pak tengah: anak laki-laki tengah), dan Pak Cit (Pak kecit: adik laki-laki/ anak laki-laki terkecil) yang merupakan panggilan dalam bahasa Bangka (Melayu).
Alhamdulillah. Kadang, ibuku juga bernostalgia ke sekolah-sekolahnya dulu. Atau bertemu dengan teman-temannya. Aku ikutan senang karena bisa melihat langsung raut wajah dan mata ibuku yang berbinar saat bertemu mereka. Apalagi kalau sudah membicarakan masa lalu, jadi awet muda deh.
Dari kacamataku, mudik memang identik dengan nostalgia kenangan masa lalu. Seperti ibuku yang bahagia bersua dengan teman-teman masa kecilnya. Akupun begitu. Ketika sudah dewasa, aku rindu mudik karena ingin bernostalgia dengan kenangan masa kecil. Dan bertemu dengan sahabat-sahabatku kala sekolah dulu.
Aku punya satu kenangan lagi ketika lebaran di Bangka. Agak lupa sih saat itu tahun berapa. Antara tahun 2005- 2007 kali ya. Jadi saat itu, masih zamannya handphone poliponik.
Anak angkatan 90-an pasti ingat ketika ucapan lebaran bertransformasi dari kartu lebaran, menjadi ucapan copy paste melalui sms handphone poliponik.
Yang epik itu kalau dapat sms ada bentuk-bentuk masjid, orang salaman, ketupat, dan sejenisnya. Padahal di hp poliponik enggak ada gambar. Jadi gambar tersebut gabungan dari huruf, atau tanda baca lainnya seperti : > § # dan sebagainya. Mungkin agak susah dibayangkan oleh anak zaman sekarang.
Nah, waktu aku mudik ke Bangka saat remaja. Aku tuh menunggu ucapan lebaran dari seseorang. Jadi tiap ada yang sms langsung heboh.
Apalagi kalau ada sms dari nomor tak dikenal, dan tanpa nama. Bawaannya langsung lebay jangan-jangan ucapan selamat lebaran dari si dia yang ditunggu-tunggu. Haha. Sekarang kalau diingat-ingat lucu juga. Benar-benar kenangan yang indah.
Lanjut, yuk, ke nostalgia berikutnya. Aku bakal ajak ke kota yang enggak kalah seru, yaitu Lampung.
Nostalgia Mudik ke Lampung, Sampai Enggak Mandi 48 Jam
Kota kedua yang kerap aku kunjungi saat mudik lebaran adalah Lampung. Bapakku adalah orang keturunan Arab yang lahir dan besar di Lampung. Kakekku orang Arab asli. Jadi, kalian bakal aku iming-imingi dengan masakan Arab yang sangat aku rindukan tiap kali mudik ke Lampung.

Bapakku juga terlahir dengan banyak saudara. Terus terang, aku enggak tahu persis berapa jumlah kakak dan adik dari Bapakku. Karena ada pula yang saudara tiri. Jadi beda Ayah gitu. Dan dari saudara Bapakku, ada pula yang mempunyai 12 anak, 7 anak, 4 anak, hingga 3 anak. Kalau mereka berkumpul, wuih ramai sekali.

Seperti aku sampaikan di atas, keluarga besar Bapakku adalah keturunan Arab. Sayang, aku dapat matanya saja, sedangkan hidungku berasal dari ibuku, hidung khas Indonesia ala Sumatera, hehe. Kalau kalian lihat anak pertamaku, pasti percaya jika ada keturunan Arabnya.

Kembali ke Lampung, lebaran di sana juga meriah. Aku dan keluargaku silaturahmi berkeliling rumah saudara. Termasuk bertemu Nenek yang tinggal dengan salah satu adik Bapakku. Aku sempat melihat Nenekku saat masih hidup, tapi tidak dengan Kakekku.
Rasanya, seluruh Lampung kami jelajahi. Mulai dari Bandar Lampung, Kalianda, Tanjung Karang, sampai Metro. Untungnya banyak saudara yang tinggalnya berdekatan, satu kampung gitu. Jadi kelilingnya sekalian, bisa jalan kaki.
Sama seperti Bangka yang kulinernya maknyus, Lampung juga memberi memori indah tentang makanan. Sekali lagi, aku menuliskannya karena rindu. Rindu dengan makanan khas yang hanya dimasak saat ada perayaan besar. Salah satunya di hari lebaran.
Here we go, siap-siap membaca menu lebaran ala keluarga keturunan Arab.
Mengenal Masakan Khas Arab saat Lebaran
Hari pertama lebaran, Bapakku akan bersilaturahmi ke rumah kakak laki-lakinya. Bapakku memanggilnya Kak Djafar. Sedangkan, aku dan adik-adikku memanggilnya Abi.

Abi sendiri artinya Ayah. Karena sepupu- sepupuku yang tak lain adalah anak Abi Djafar memanggil ayahnya dengan sebutan Abi, jadi biar mudah, kami juga memanggil dengan sebutan Abi. Hehe. Bapakku sendiri dipanggil dengan sebutan Ami Faisol. Ami artinya paman.
Selain ketupat, biasanya keluarga Abi dan Ummi Maryam (istri Abi Djafar) memasak nasi kebuli kambing. Plus marak (sup kambing khas Arab), dan tentu saja kopi Arab. Kami akan makan secara lesehan, pakai tangan.
Nasi kebuli dan maraknya enggak main-main, resep turun temurun yang dipastikan otentik. Rasanya juga enggak bisa aku tuliskan dengan kata-kata. Daging kambingnya empuk, enggak bau prengus sama sekali.

Marak atau sup kambingnya hangat dan segar. Kalian bisa membayangkan rasanya dari bahan-bahannya yang super buanyak. Ada daging kambing, tomat, wortel, bawang bombay, bawang merah, bawang putih, merica, jinten, kunyit, jahe, cengkeh, kapulaga, kayu manis, biji pala, lengkuas, gula dan garam. Terbayang kelezatan dan kehangatannya, kan? Enggak hanya hangat di tenggorokan, tapi juga di perut.
Oke, lanjut ke kopi Arab ya. Kopinya tuh juga bersifat menghangatkan badan karena selain bubuk kopi hitam, komposisinya menggunakan kapulaga, jahe, serai, kayu manis, cengkeh, gula merah dan gula pasir. Diminum saat hangat sambil ngemil lapis legit khas Lampung. Buat yang belum tahu tentang lapis legit khas Lampung, kalian harus baca sampai akhir.

Lapis legit asli Lampung rasanya sangat manis dan lumer di mulut. Camilan ini adalah favorit Bapakku. Saat tidak bisa mudik ke Lampung, beliau pasti meminta saudara di sana (Tante Tina, atau Tante Tini: adik Bapakku) untuk membuatkan, lalu dikirim melalui bus Damri ke Jogja. Yup, karena memang seenak itu!

Jadi, lapis legit ini tuh terkenal sangat mahal. Kalau di pasaran, harganya bisa mencapai 300-500 ribu rupiah untuk loyang kecil, dan 600-800 ribu rupiah untuk loyang besar. Wow!
Kenapa bisa mahal? Padahal bahannya hanya kuning telur, terigu, gula dan mentega. Jawabannya adalah karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Lapis legit Lampung biasanya terdiri dari 5-7 lapis, bahkan ada yang 18 lapis. Setiap lapisannya dibuat dengan hati-hati, teliti dan dipanggang secara perlahan. Salah sedikit saja, bisa kacau balau sehingga pembuatan kue bisa gagal.
Waktu pembuatan juga cukup lama. Untuk membuat 5-7 lapis, dibutuhkan waktu hingga 7 jam. Kebayang ya gimana ruwetnya membuat kue ini. Jadi pantas bila harganya mahal.
Aku sendiri suka dengan lapis legit khas Lampung. Tapi kalau kebanyakan agak enek. Maklum, kuning telur yang dipakai bisa mencapai 30 butir lebih. Tapi tenang saja, rasanya enggak amis sama sekali. Ya karena dibuat dengan hati-hati tadi. Dan kalau dimakan bersama kopi Arab yang cenderung hangat dan sedikit pahit, tentu sangat cocok.
Lapis legit Lampung juga mempunyai banyak varian lho. Mulai dari keju, cokelat, dan original. Kalau Bapakku sih paling suka yang ketan. Jadi ada campuran ketannya gitu, lebih lengket dan enggak tahan lama. Tapi aku akui secara rasa, jelas lebih enak.
Kalau di Bangka aku makan kue Rintak, maka di Lampung, aku makan kue Kaak. Kue Kaak adalah kue kering khas Arab. Kue ini berwarna cokelat, sama seperti kue Rintak. Tapi dari segi rasa sangat berbeda.

Kue Kaak dibuat dari rempah-rempah yang memiliki berbagai khasiat bagi kesehatan. Bahan bakunya yaitu tepung terigu, telur ayam kampung, jahe, kayu manis, cengkih, kapulaga, pala, ada, merica, koya halus, minyak samin, gula, mentega, madu, dan jinten hitam.
Kebayang enggak rasanya kayak apa? Yup, benar, rasanya hangat, dan kaya rempah.
Aku sih suka dengan kue Kaak. Apalagi dibuat sendiri, homemade oleh Jidah (Nenek) Hala. Jidah Hala kalau enggak salah adalah adik dari kakekku. Jidah Hala kalau bikin kue Kaak besar-besar, alias ukuran jumbo. Mantap! Saat bersilaturahmi ke rumah Jidah Hala, biasanya Jidah akan memberikan beberapa toples kue Kaak untuk dibawa pulang ke Jogja. Alhamdulillah
Selain makanan khas Arab, kalian juga harus tahu kalau seafood Lampung juga segar-segar. Udangnya besar, dagingnya tebal dan lembut. Cukup digoreng, aroma minyak udangnya akan keluar sehingga menggoda untuk disantap.
Aku biasanya makan udang goreng pakai nasi hangat. Masyaallah, rasanya seperti surga dunia. Apalagi kalau makannya pakai tangan, minyak udangnya nempel di jari-jari dan selalu aku jilatin sampai kering😅.
Terjebak Macet 48 Jam di Merak- Bakauheni
Oh ya, selain tentang makanan, kenanganku saat mudik ke Lampung adalah mengalami macet hampir 24 jam. Jadi dulu waktu kecil, keluargaku seringnya mudik naik mobil lewat jalur darat dan laut. Kami berkendara sampai pelabuhan Merak, lalu menyeberang ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung.

Seru sih, 24 jam bahkan pernah juga 48 jam di jalan, tanpa mandi. Paling ganti baju saja, dan alhamdulillah masih bisa pipis kalau kebelet. Mobil orangtuaku biasanya disulap jadi kayak kamar gitu. Dikasih kasur kecil, berlapis sprei. Ditambah bantal dan guling. Jadi kami, anak-anaknya tetap bisa tidur nyenyak dengan berbaring di mobil bagian belakang.
Orangtuaku tak lupa bawa makanan seperti lauk, nasi, dan camilan. Pokoknya jangan sampai lapar kalau macet, bisa-bisa tambah stres deh.
Seingatku, dulu itu banyak pedagang yang berjualan di jalur mudik. Ramai sekali, ada yang jualan air mineral, lauk pauk kayak tahu, tempe. arem-arem, bahkan nasi rames. Insyaallah enggak akan kelaparan di jalan.
Mudik di Jawa yaitu ke Jakarta, Bandung, Kebumen, dan Jogja
Selain Bangka dan Lampung, aku juga pernah mudik ke beberapa kota di Jawa. Sebut saja Jakarta, dan Bandung, kota tempat tinggal kakak (Mak Wo) dan adik ibuku (Mak Cu/Acu).

Dari 10 bersaudara, beberapa diantaranya memang tinggal di Jakarta dan Bandung. Hanya ibuku yang tinggal di Jogja. Oleh karena itu, kadang mereka bergantian mudik mengunjungi kota tempat tinggal saudara-saudaranya.
Pengalaman Kaget Lihat Air di Jakarta
Pengalamanku mudik ke Jakarta dan Bandung mirip dengan mudik ke Lampung yaitu via jalur darat. Naik mobil belasan jam karena macet. Dan begitu sampai di Jakarta (ke Bekasi juga), aku kaget dengan air kamar mandinya yang berbau dan berwarna.
Saat kecil, tentu saja melihat air yang keruh seperti itu membuatku enggak nyaman. Meskipun hanya dipakai untuk mandi. Berbeda dengan air di Jogja yang jernih dan segar. Tapi aku maklum, dan toh hanya menginap beberapa hari saja. Kami juga enggak pernah menginap di hotel karena banyak rumah yang bisa diinapi.
Ada satu hal yang lucu, sekarang aku malah tinggal di Depok. Dan air di kontrakanku juga cokelat, di saat – saat tertentu seperti habis hujan besar, habis mati air, dan sebagainya. Ckckck, semoga ini bukan karma ya.
Ketika lebaran di Jakarta, tentu saja salah satu tempat yang wajib disinggahi adalah Monas. Kalau sudah ke Monas, sudah sah lebaran di Jakarta. Hehe. Berbeda dengan Jakarta, kalau di Bandung, kami diajak ke pusat perbelanjaan. Buanyak banget factory outlet yang murah dan bagus-bagus.
Lebaran dengan Keluarga Inti di Kebumen dan Jogja, Kangen Masakan Mama

Kebumen adalah kota kelahiran ibu mertuaku. Sudah tradisi suami dan keluarganya, berlebaran hari kedua atau ketiga di Kebumen. Kadang mereka berangkat setelah Salat Ied, kadang juga berangkat H+2.
Aku pernah ke Kebumen naik mobil, dan cukup tepar karena macet. Begitu punya dua anak, kami memilih naik kereta yang lebih nyaman. Alhamdulillah pulangnya ibu mertua dan para ponakan mau ikut naik kereta juga. Kereta Jogja- Kebumen sangat bersih dan nyaman lho.
Bagaimana dengan mudik ke Jogja? Bukankah aku dan suami orang asli Jogja? Ya, kami mudik ke Jogja ketika sudah menjadi suami istri. Sempat satu tahun tinggal di Jakarta, dan baru mudik di malam takbiran. Karena saat itu aku bekerja di rumah sakit yang enggak ada liburnya. Masih untung bisa cuti di hari lebaran.
Ketika pindah tinggal di Depok, Jawa Barat, otomatis kami juga mudik ke Jogja. Alhamdulillah selalu naik pesawat. Alasannya karena diganti kantor. Hehe. Jadi, suamiku dapat jatah tiket mudik plus istri, dan maksimal 3 anak, plus 1 orang tambahan bebas siapa saja. Sayang kan kalau jatahnya enggak dipakai. Makanya selalu pilih pesawat.
Apalagi ketika sudah punya anak, kenyamanan dan kecepatan adalah yang utama. Oh ya, perlu diketahui jatah tiket mudik ini hanya bisa dipakai menuju lokasi kampung halaman yang terdaftar. Jadi enggak bisa ujuk-ujuk lebaran ke Bali atau ke Bangka. Karena yang terdaftar adalah asli Jogja.
Mudik ke Jogja sebenarnya agak sepi sih. Biasanya menginap di rumah orangtuaku. Selesai Salat Ied, kami akan saling maaf-maafan, lalu makan ketupat lebaran.
Masakan lebaran yang aku rindukan di Jogja adalah masakan ibuku, yang biasa kupanggil Mama. Mama biasanya masak ketupat, opor ayam, sambal goreng ati, sayur kacang panjang, rendang, dan sambal asam. Yang enggak bisa aku temukan di Depok tentu saja sambal asamnya.

Alhamdulillah, kemarin Mama mengirimkan rendang dan sambal asam. Rindu masakan Mama jadi terobati deh.
Setelah sarapan di hari lebaran, kami berkeliling kampung. Bersilaturahmi sambil makan-makan. Makanan lain yang aku rindukan dari lebaran di Jogja adalah tape ketan yang dimakan bersama emping. Biasanya ada tetangga yang bikin sendiri.

Jadi tapenya dibungkus pakai daun pisang, lalu tetangga yang datang memakannya dengan emping. Duh, enak dan manis. Kadang malah disuruh bawa pulang beberapa tape. Lumayan banget, aku simpan di kulkas biar tambah enak.
Selesai berkeliling ke tetangga, orangtuaku biasanya menelepon saudara-saudaranya yang ada di kota lain. Termasuk para sepupu yang aku kenal dekat, sehingga ikutan ngobrol panjang kali lebar deh. Aku dan suami juga menelepon mertua dan ipar.
Kemudian kami tidur. Rasa capek setelah berpuasa dan mengoptimalkan ibadah selama 30 hari, plus masak-masak menjelang lebaran membuat kami mengantuk. Siangnya sewaktu bangun ya makan ketupat lagi.
Kalau ada film keluarga yang diluncurkan saat libur lebaran, kadang kami ke bioskop untuk menontonnya. Jadi quality time gitu bareng orang tua.

Hari lebaran kedua, aku dan keluargaku termasuk orangtua, mengunjungi mertua di Jogja bagian Bantul. Dekat sih, sekitar 30-45 menit dari rumah orangtuaku. Biasanya aku, suami, dan anak-anak menginap. Sedangkan orangtuaku balik ke Sleman ke rumah mereka.

Tradisi Syawalan di Jogja
Ada satu hal lagi yang menjadi tradisi kalau aku lebaran di Jogja, yaitu syawalan bareng teman-teman zaman sekolah. Kadang ada syawalan bareng teman SMA, SMP, atau kuliah. Seneng sih, bisa bertemu mereka yang sudah jarang bertemu karena berbagai kesibukan. Atau karena merantau di kota lain.
Dulu, ketika aku lulus SMA. Aku dan beberapa teman punya tradisi unik, yaitu mengunjungi rumah teman-teman SMA. Mulai dari Jogja utara, sampai Jogja bagian selatan. Seru banget! Bersilaturahmi ke keluarga teman-teman SMAku.
Ada cerita lucu juga soal ini. Jadi ceritanya aku dan teman-teman sedang istirahat di rumah salah satu teman. Lalu ada yang bertanya, “Habis ini mau ke rumah siapa lagi?” Kemudian ada yang menyeletuk, “Ke rumah Juan aja. Deket dari sini bisa jalan kaki.”
Fyi, Juan itu nama teman SMAku. Kami enggak saling kenal, tapi aku sempat naksir😅. Aku cuma tahu namanya saja, karena dia anak akselerasi. Aku kaget banget ketika tahu rumahnya tetanggaan dengan rumah teman sekelasku.
Saat itu, aku dan teman-temanku sudah nyaris jalan kaki ke rumahnya. Tapi gagal, karena temanku bilang kalau Juan enggak ada di rumah. Seluruh anggota keluarganya sedang mudik ke Kebumen.
Siapa sangka, beberapa tahun kemudian. Aku beneran lebaran ke rumah Juan. Sebagai menantu dari orangtuanya 😁
Nostalgia Mudik Bikin Hatiku Hangat
Alhamdulillah, akhirnya selesai juga nostalgia mudik lebaranku. Berkat tulisan ini, aku merasa kehangatan di hati. Agak nyesek sih, karena sudah 2 tahun enggak mudik. Baik ke Jogja, maupun ke Kebumen.
Kalau boleh jujur, saat menuliskan paragraf akhir ini, ada beberapa bulir air menetes dari mataku. Mungkin aku rindu Jogja. Atau rindu orangtua.
Insyaallah, semoga tahun depan aku dan keluarga kecilku bisa mudik lagi. Semoga pandemi telah berakhir dan tak ada larangan mudik lagi. Aamiin.
Terima kasih ya kamu, yang sudah mau bernostalgia bersamaku. Menyusuri kota-kota kenangan mudik lebaranku, sejak aku kecil hingga kini berkeluarga.
“Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti tema ‘Mudik dalam Tulisan’ yang diselenggarakan Warung Blogger”

Hepi banget ya Kak. Aku belum pernah ke Bangka dan ngerasain makanannya. Yang kayak mie udon kental itu ngiler. Kue jongkong iku kayak bubur sumsum ya.
Aku dan istri juga suka banget ma mi Bangka, dah lama rasanya ga makan setelah ninggalin Bogor.
Warna-warni banget Mbakkk cerita mudiknya. Dan ternyata makanan Bangka dan Lampung tuh enak-enakkk yaa.. ngilerrr liat foto-fotonya. Hehe.
Oh iya terjawab sudah kenapa Najla kayak bule wajahnya. Ternyata lebih tepatnya keturunan Arab, ya. Hehe.
Semoga tahun depan bisa mudik dengan cerita-cerita lebih seru ya, Mbak. Dan yang terpenting bisa berkumpul dengan keluarga besar dalam keadaan sehat wal ‘afiat. Aamiin.
Iya mbak. Dan masakan tersebut ga aku temui di Jawa. Ibuku sendiri paling masak mi Bangka sama empek2 aja. Lainnya kami beberapa kali pesan ke temen ibuku yg jualan kayak laksa, kue jongkong gitu masih banyak yang jual.
Hehe, lumayan juga beberapa temen ada yang tanya kok Najla kayak Bule. Ya itu jawabannya ada turunan Arab nya
Mbak Diaaann, seru buanget siik!
Itu makanan khas Bangka bener2 menggoda selera.
Apalagi duriannya OMIGOD
Mendadak pengin duren aku nih 😀
Ke Sumatera tanpa makan duren itu kayak makan sayur tanpa garam mbak. Apalagi harganya murmer. Jauh sama harga di Jawa. Padahal rasanya sangat enak duren Sumatera. Cuzz, pankapan harus ke Lampung atau Bangka bareng aku. Tapi makanan khas nya dimasaknya biasanya pas lebaran e. Kecuali mmg kulineran di sana mungkin ada yang jual juga
Ya Allah, mimpi apa aku mampir ke blog ini dan ngiler liat semuanya, wakakaka.. aku doyan banget makan laksa mbak, belum lagi sambel ebi, kue khas arab apalah-apalah di tambah lagi ada durian. Pingsan karena pengennn… hahaha
Haha alhamdulillah mbak. Ingatan Lebaran ku penuh kuliner khas. Makanya meski capek, semua kebayar dengan makanan tersebut. Haha. Receh banget memang
Saya akan rajin mudik demii menemukan kuliner-kuliner istimewa ala Bangka yang unik ini. Sekilas tampak sama dengan di beberapa kota tapi saya yakin pasti rasanya beda karena citarasa dipengaruhi budaya. Apalagi asimilasi budayanya kental ya.
Iya mbak pingin Balik ke Bangka lagi. Apalagi mumpung Bapak Ibuku masih hidup dan masih banyak keluarga ibu yang hidup di Bangka. Doakan ya bisa ke sana bareng anak-anak ku alias cucunya ibuku
Asli loh, mamaku juga dari keluarga besar. 7 bersaudara dan itu rame banget kalo kumpul semua. Belum lagi ditambah anak2nya. Walau kalo mudik tujuannya satu sih sama2 kumpul di rumah eyang. Btw mbak itu seru banget pengalamannya ih. Mudiknya bener2 kayak traveling ke mana2. Jadi gak bosen ya mbak bisa tau suasana dan momen di berbagai daerah jadinya. Plus bonus bisa icip2 kulinernya juga.
Mana semuanya juga keliatan enak-enak lagi.
Aku lagi Nyari2 foto yang ramean pas di Lampung tapi belum dapat juga. Sampai kontak sepupuku biar dicariin. Kalo pas di Bangka kayaknya belum zaman foto hp booming, jadi dokumentasi juga minim banget. Enak mbak, aq jamin enak.
Makanannya menggiurkan semua dan aku suka beberapa jenisnya. Kebetulan kl di Jakarta kan banyak juga aneka kue seperti itu.
Hmm… jadi makin rindu kampung halaman ya mbak, kalau lihat aneka macam kuliner kampung. Hehe.
Yes, di Jogya suka ada grebek syawal ya, rame biasanya.
Mengingat-ingat momen lebaran yang sudah lalu menjadi penghiburan tersendiri ya di saat tahun kedua pandemi ini menjadi terbatas dan tak bisa bertemu.
Aaaks, jadi penasaran gimana masakan Khas Sumatera, terutama yang hasil laut. Terus hidangan ;ebaran ada juga yang khas ternyata. Tolong sedep banget itu kayanya Mi Bangka deh, ingin icip-icip rasa kuahnya. Semoga suatu saat bisa keturutan nyobain masakan khas ini 😀
Kalau di Bangka pasti puas-puasin main di pantai-pantainya yang indah itu ya, Mbak? Hehe. Btw, aku sempat mengalami main hape poliponik punya bapak, lucu juga ya kalau diliat sekarang haha. Dulu suka banget bunyiin aneka ringtonenya, padahal mah itu doang. Mungkin karena pilihan hiburannya dikit, jadi mudah bahagia. Oh ucapan copy paste, aku masih sempet ngalamin juga. Nggak lupa kiriman screensaver gambar masjid atau ketupat, AAAH SERUUU hahahah.
Ternyata selain masakan khas Bangka, kalau lebaran mudik ke Lampung malah bisa menikmati masakan khas Arab yang kaya rempah. Menyenangkan sekali keluarganya Mbak Dian ini 😀 Mudiknya bermacam juga bisa ke Lampung, Jkt, Bandung, Kebumen, Jogja juga. Kalau mudik yang di perjalanan cukup lama, memang sebaiknya membawa bekal ya biar nggak kelaparan selama di jalan. Kan belum tentu juga pas nemu tempat makan langsung, hihi.
Membaca pengalaman Mbak jadi rasanya seperti tour virtual, beserta masakan-masakan khasnya :D. Semoga tahun depan kondisi sudah membaik dan bisa merasakan mudik kembali ya, aamiin.
Iya masakan khas Arab kya rempah banget. Di perut dan di badan jadi hangat. Itulah kenangan2ku saat mudik mbak. Mostly tentang kulinernya. Karena keluarga kami memang suka makan😅. Makan gitu kadang sambil ngobrol random. Aku ngobrol ya sama sepupu yg sepantaran lah. Beberapa dari mereka dulu kuliahnya di Jogja. Jadi kami akrab kayak temen gitu
Waaaa…komplit syekaliiiiii. Kapan mudik ke lampung, Mbakdi? Hihihihi kita g jadi ketemu waktu itu. Semoga sehat selalu yaa, Mbak. Kalau sehat dan ada kesempatan kita bisa jalan dan menikmati apapun yang kita mau. Btw, lapis legitku masih, nih di kulkas. Bikinnya habis lebaran malah hahahahah
uwaaaah seru nih cerita mudiknya
mudiknya sekalian kulineran, di banyak tempat pula
auto naik 7 kg dah kalo aku, hahaha
Alasan untuk mudik ke kampung halaman setiap hari raya itu selain untuk berkumpul beersama keluarga besar, juga untuk berwisata, baik berkunjung ke objek wisata juga bisa wisata kuliner di kampung halaman.
Mudik sudah menjadi rutinitas tahunan bagi para perantau, mudik sedemikian penting bagi perantau, selain ajang untuk merelaksasi diri dari kepenatan pekerjaan, juga bisa menjadi ajang untuk mempererat talisilaturahmi, dan berkumpul dengan keluarga. Namun biasanya, setelah hari silaturahmi usai, tentu badan sudah mulai bosan dengan makanan opor dan kue lebaran, maka pilihann dan solusi terbaik adalah wisata.
Tidak bisa dibayangkan itu bagaimana rasanya tidak mandi selama 48 jam. Tapi memang benar sih ya, demi mudik semua rela dilakukan oleh para perantau utk pulang ke kammpung halaman setiap hari raya.
Seru sekali kerinduan akan mudik Lebaran memang ya Mbak
Kalau saya sendiri tidak ada masakan khas Arab tetap rempah khas Makassar yang ada dan selalu dirindukan
Mbakdi, kapan mudik ke Lampung lagi? Kita g jadi ketemu ya waktu itu. Semoga lain Kali ada jodohnya yaaaa. Sehat2 selalu, biar Kita bisa kemana pun Kita mau
Duuh Mbak, sepertinya saya salah waktu mampir. Malam-malam lihat penampakan makanan-makanannya jadi bikin laper. Terutama lapis legitnya, kue favorit saya juga, Mbak. Yummy…
Tradisi Syawalan-nya seru juga ya, bisa bersilaturahmi lagi dengan teman-teman satu sekolah. Seru juga melihat tradisi Syawalan di Yogya.