Bijak Menggunakan Antibiotik, Cegah Resistensi

Facebooktwitterredditmail

Antibiotik mungkin dianggap seperti obat biasa, yang jika lagi sakit ya diminum, tapi jika sudah agak baikan ya berhenti minum. Padahal, antibiotik itu berbeda. Saya mengalami sendiri cerita nyata terkait persepsi masyarakat terhadap antibiotik nih.

antibiotik

“Mbak, saya minta amoknya dua biji,” seru seorang laki-laki muda kepada saya yang tengah berpraktek di Apotek.

“Hah, dua biji? Ada resepnya, Mas? Sakit apa?”

“Lho, kok pakai resep segala? Saya kena flu, biasanya pakai amok langsung sembuh.”

Waduh, salah kaprah nih.

Ada yang pernah mendapati langsung percakapan di atas? Atau mungkin kita sendiri sering beli antibiotik tanpa resep dokter dan sesuka hati mau konsumsi berapa tablet?

Amoxicilin, ampicilin, tetrasiklin, ciprofloxasin, adalah empat dari sekian banyak antibiotik yang populer di masyarakat. Masyarakat awam pun sudah fasih menyebutkan nama-nama obat tersebut, meskipun kadang keseleo sih, hehe.

Kenapa obat di atas bisa familiar di telinga mereka? Perkiraan saya, dikarenakan getuk tular alias dari mulut ke mulut. Sebut saja kisah pasien A yang mengalami ISK (Infeksi Saluran Kemih) dan mendapat resep ciprofloxasin dari dokter, lalu sembuh. Esoknya ketika ada tetangga (sebut saja pasien B) mengalami gejala yang kurang lebih sama, langsung deh saudaranya pasien A tadi dengan pede-nya menyarankan pakai cipro saja, pasti cespleng. Iya cespleng bikin resistensi antibiotik. Sementara pasien B penyakitnya belum tentu sama, bahkan tidak memeriksakan diri ke dokter.

Parahnya, beberapa Apotek menjual cipro tadi tanpa resep dokter. Jadilah seperti gayung bersambut, pasien B membawa pulang cipro, lalu meminumnya 1x. Ternyata, belum sampai jadwal minum obat berikutnya, pasien B merasa sudah baikan. Berhentilah dia minum obat (antibiotik seharusnya dihabiskan), dan woro-worolah dia ke seluruh penghuni rumah, “Wah emang mantap nih cipro, minum 1 butir aja langsung sembuh. Kalah tuh amok!” Celaka dua belas, sudah tidak tepat indikasi, tidak tepat aturan pakai pula.

Cerita di atas hanya ilustrasi yang mungkin memang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah kesalahpahaman yang tampaknya tidak berakibat fatal. Toh pasien B sembuh, dan nggak ada yang dirugikan, kan. Iya, memang kelihatannya seperti itu, tapi kenyataannya? Bila banyak orang berpikiran sama, dan menganggap enteng penggunaan antibiotik yang tidak tepat, maka wajar saja terjadi resistensi antibiotik besar-besaran di Indonesia.

Mari kita telaah, apa sih sebenarnya resistensi antibiotik itu?

Resistensi adalah keadaan dimana bakteri yang sebelumnya sensitif terhadap antibiotik tertentu, menjadi tidak sensitif. Dengan kata lain, bakteri menjadi kebal, karena telah bermutasi.

Bakteri adalah makhluk yang cerdas, sekali dia bermutasi, maka bakteri tersebut akan mereproduksi bakteri turunannya yang resisten juga. Bayangkan bila bakteri resisten tersebut menular ke orang lain, maka akan semakin banyak orang yang terkena bakteri resisten. Akibatnya, antibiotik yang biasanya bisa membunuh bakteri, menjadi tidak bisa.

Solusinya terpaksa pasien mendapat jenis antibiotik yang lebih baru, lebih kuat, dan tentu saja lebih mahal. Bila masih tidak responsif juga? Maka siap-siaplah menginap lama di rumah sakit, dan entah antibiotik apa yang bisa membunuh bakteri tersebut.

Kenapa saya bilang entah antibiotik apa? Karena memang pada kenyataannya ada lho bakteri yang benar-benar resisten terhadap banyak jenis antibiotik, yang mahal sekalipun. Bakteri ini sering disebut sebagai “superbug” atau mengalami Multi Drug Resistent. Petugas medis jelas memerlukan waktu lebih lama untuk menemukan antibiotik apa yang sensitif, tentunya dengan kultur bakteri dan uji sensitivitas. Kebayang kan betapa ribetnya, dan berapa biaya yang harus dikeluarkan pasien? Akibat paling mengerikan tentu saja kematian, karena infeksi sudah menyebar dan tidak dapat dihambat/dibunuh oleh antibiotik yang diberikan.

Hal di atas terjadi salah satunya karena penggunaan antibiotik yang tidak bijak, kurang tepat. Peran masyarakat, dokter, dan apoteker serta tenaga medis lain diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

Berikut tips mencegah/mengurangi kejadian resistensi antibiotik:

1. Bagi dokter

Tidak meresepkan antibiotik untuk infeksi virus tanpa adanya infeksi sekunder oleh bakteri. Bila perlu lakukanlah kultur.

Tidak termakan oleh tekanan/rayuan pasien yang memaksa meresepkan antibiotik bila memang tidak tepat indikasi.

2. Bagi apoteker

Mengawasi penjualan antibiotik di apotek tempatnya berpraktek, tidak memberikan antibiotik tanpa resep dokter ke pasien.

Memberikan edukasi dan informasi kepada petugas apotek yang lain terkait aturan penggunaan dan pembelian antibiotik.

Memberikan edukasi kepada masyarakat terkait cara penggunaan antibiotik dengan resep dokter.

3. Bagi pasien

Mematuhi aturan pakai dan dosis penggunaan antibiotik ( dihabiskan sesuai resep). Kadangkala pasien menghentikan minum antibiotik ketika sudah merasa baikan, padahal untuk kasus infeksi bakteri, sebenarnya “efek baikan” tersebut adalah bakteri sedang “pingsan”. Jika tidak diteruskan minum obat, maka jelas bakteri akan bangun lagi dan bermutasi.

Aturan pakai juga jangan sampai terlewatkan. 3 x sehari berarti tiap 8 jam di waktu yang sama.

Tidak meminum antibiotik yang sudah lama/yang pernah diresepkan sebelumnya tanpa memeriksakan diri ke dokter.

Tidak memaksa petugas kesehatan untuk meresepkan/memberikan antibiotik tanpa resep.

4. Bagi masyarakat.

Tidak membeli antibiotik ke apotek tanpa resep.

Tidak mengkonsumsi antibiotik yang diresepkan untuk orang lain, karena bisa jadi berbeda penyakitnya.

Hindari mencoba mengobati sendiri sakit yang dialami dengan antibiotik, apalagi untuk infeksi virus seperti flu dan batuk biasa.

Hindari merekomendasikan antibiotik tertentu kepada orang lain, tanpa pemeriksaan dokter.

Poster dari Kemenkes RI
Poster dari Kemenkes RI

Memang bukanlah hal yang mudah untuk bijak menggunakan antibiotik. Dibutuhkan kerjasama berbagai pihak. Paling tidak, mulailah dari diri kita sendiri.

Sayangnya, WHO telah memberikan pernyataan bahwa ancaman resistensi antibiotik sudah menglobal. Berikut kutipan dari Dr. Keiji Fukuda dari WHO (BBC, Jumat 2/5/2014), “Untuk itu, tanpa adanya tindakan urgent dan terkoordinasi dengan baik dari berbagai pemangku kepentingan, maka dunia tengah menuju ke era ‘post-antibiotic’, di mana infeksi biasa dan luka kecil saja bisa membunuh.”

Semengerikan itu dampak globalnya, luka kecil yang terinfeksi pun bisa menyebabkan kematian.

Jadi … Masihkah kita berani sembarang mengkonsumsi antibiotik?

(Visited 991 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

Leave a Reply

Your email address will not be published.