“Bakso bulat seperti bola pingpong, eh Mang Jaka baksonya bikin kenyang.”
Lagu itulah yang sering dinyanyikan anak-anak kampung Sukacita, setiap gerobak bakso milik Jaka melewati rumah penduduk di malam hari. Bukan tanpa alasan warga kampung bersenandung. Selain untuk membujuk Mang Jaka agar bisa ngutang. Juga karena bakso tersebut bikin ketagihan, sehingga membuat mereka selalu ingin nambah dan nambah. Bayangkan, empat bakso urat dengan dua bakso daging, masih ditambah tahu berisi daging dan mie kuning segenggam. Jadilah kami bernyanyi demi mendapat gratisan porsi berikutnya.
Tapi beberapa hari belakangan lagu tersebut sudah tak mempan. Mang Jaka meminta hal lain. Yang dimintanya pun cukup aneh, yaitu semangkuk bakso dibayar dengan bunga-bungaan dari kebun kami. Ketika ditanya untuk apa, cuma dijawab singkat, untuk rumahnya. Perilakunya pun berubah, tak seramah dulu. Mang Jaka kini lebih banyak diam.
Kalimat yang beberapa kali diucapnya hanya, “Aku selalu senang berjualan di sini.”
Hingga suatu hari berhembuslah kabar dari kampung sebelah. Kata istrinya, Jaka meninggal tiga hari yang lalu. Gerobaknya di tabrak orang tak dikenal.
Tapi aku tahu siapa pelakunya, ayahku, pak RT yang meringkuk pucat pasi dikamar, sembari menutup telinga selama tiga hari, kala Mang Jaka berteriak, “Bakso…bakso…!”
199 kata.
Diikutsertakan dalam MFF#39: Bowl of Balls
Serem mb…salam kenal ya.
Iy.salam kenal juga:)
waduh…. nasib tukang sate dan siomay bisa jadi berikutnya donk 😀
Blm tentu lah,kan nggak sengaja nabraknya
Keren! 🙂