Bangunan berusia 100 tahun selalu membuat saya takjub. Ingatan saya tentu saja berkelana ke zaman penjajahan. Bangunan itu telah mengalami banyak peristiwa. Mulai dari saat pendudukan Belanda, beralih ke Jepang, hingga masa kemerdekaan Indonesia. Ya, itulah sepenggal kisah yang sudah dilewati oleh Hotel Phoenix Yogyakarta.
Setiap kali berkendara ke arah Tugu Yogyakarta, Hotel Phoenix memang selalu menggugah rasa ingin tahu saya. Desas-desus yang mengatakan bahwa hotel tersebut adalah peninggalan zaman kolonial Belanda sangat santer di telinga. Bagaimana tidak, dari bentuk bangunannya saja kelihatan, khas kolonial.
Lokasi
Terletak di Jalan Jenderal Sudirman No.9, D.I. Yogyakarta, Hotel Phoenix merupakan salah satu hotel bintang lima di Jogja. Lokasinya yang strategis, menjadikan hotel ini ramai oleh wisatawan. Tugu Yogyakarta, Mailoboro, dan Kraton Yogyakarta, hanya berjarak sekian kilometer dari Hotel Phoenix. Dari Bandara Adi Sucipto pun cuma sejauh 8 kilometer.
Arsitekturnya yang unik, yaitu perpaduan Eropa dan Asia, sesuai dengan sejarahnya yang panjang. Ya, hotel ini memang menjadi saksi sejarah banyak peristiwa penting di masa lalu.
Sejarah Hotel Phoenix
Hotel ini dibangun pada tahun 1918. Bangunan aslinya masih ada hingga sekarang yaitu terletak di bagian depan mulai dari halaman, lobi, sampai koridor dekat Cendrawasih Meeting Room. Dulu, area tersebut merupakan kediaman Bapak Kwik Djoen Eng, seorang saudagar kaya raya dari Semarang.
Resesi ekonomi yang terjadi pada tahun 1930 berakibat Bapak Kwik Djoen Eng menjual rumahnya pada saudagar lain bernama Liem Djoen Hwat. Lalu Bapak Liem menyewakan bangunan tersebut kepada pebisnis Belanda bernama D.N.E. Franckle.
Lalu pada tahun 1942 yaitu saat pendudukan Jepang, hotel pun berubah nama menjadi Yamato Hotel. Pada tahun 1945, Yamato Hotel dikembalikan pada pemiliknya yakni Bapak Liem Djoen Hwat. Pada tahun 1946-1949 saat Yogyakarta menjadi ibukota RI, bangunan hotel digunakan sebagai kediaman resmi Konsulat Cina. Nah, benar bahwa Hotel Phoenix bersejarah di masa kemerdekaan Indonesia.
Saya lanjutkan ya sejarahnya, pada tahun 1951 Direktorat Perhotelan Negara dan Pariwisata menyewa tempat ini dan diberi nama Hotel Merdeka. Kemudian pada tahun 1988, Bapak Sulaeman (cucu dari Bapak Liem Djoen Hwat) mengambil kembali kepelimikan hotel karena akan dikelola sendiri. Bangunan hotel pun dpugar kembali menjadi bentuk aslinya. Ditambahkan pula bangunan baru di bagian timur dan utara dari bangunan utama.
Pada tanggal 18 Maret 1993, hotel ini resmi dibuka dengan nama Phoenix Heritage Hotel. Sebanyak 66 kamar dimiliki oleh Hotel Phoenix saat pertama kali beroperasi. Sebagai hotel yang bangunannya bersejarah, Hotel Phoenix memang pantas menjadi cagar budaya. Bahkan pada tahun 1996, Hotel Phoenix dideklarasikan sebagai contoh terbaik The 19th Century Indische Architecture karena bangunannya merupakan perpaduan Eropa, Cina dan Jawa. Hotel Phoenix juga mendapat penghargaan dari Yogyakarta Heritage Society karena konsistensinya terhadap penjagaan bangunan berarsitektur kuno.
Bagaimana dengan abad 20? Pada tahun 2003, Phoenix Heritage Hotel diambil alih oleh Ibu Imelda Sundoro Hosea, seorang pengusaha dari Solo. Ia mempunyai visi menjadikan hotel ini menjadi bintang 5. Oleh karena itu, Ibu Imelda memilih jaringan hotel internasional yaitu Accor sebagai tempat Hotel Phoenix bernaung. Ibu Imelda juga berkomitmen untuk menjaga Hotel Phoenix sebagai warisan budaya. Renovasi besar-besaran dilakukan sampai-sampai Hotel Phoenix berhenti beroperasi selama 1 tahun karena bertransformasi menjadi hotel dengan standar internasional.

Hasilnya, pada tahun 2004, hotel ini dibuka kembali dengan nama Grand Mercure Yogyakarta, dengan kamar sejumlah 144 kamar. Pada tahun 2009, Namanya berubah menjadi The Phoenix Hotel Yogyakarta, a member of MGallery Collection di bawah naungan AccorHotels. Lalu pada tahun 2016, AccorHotels mengubah MGallery Collection menjadi MGallery by Sofitel sampai sekarang.
Tahun 2018 menjadi puncak peringatan 100 tahun usia bangunan asli dari Hotel Phoenix. Seperti Namanya, Phoenix yang berarti keabadaian sehingga menjadi harapan agar hotel ini Berjaya selamanya.
Fasilitas Hotel Phoenix
Hotel Phoenix memilik:
144 Kamar
8 Ruang Pertemuan
1 Ballroom
Kolam Renang
Spa
Fitness Center
Butik
Cake Shop
Bakpia 1918 (bakpia khusus yang hanya ada dan dijual di Hotel Phoenix)
Centennial Jubilee Phoenix Hotel
Centennial berarti 100, sedangkan Jubilee artinya perayaan. Dengan kata lain, Centennial Jubilee berarti perayaan besar yang menandai peringatan Hotel Phoenix yang ke-100. Dalam acara perayaan kemarin, Hotel Phoenix mengundang influencer, travel blogger, Dimad Diajeng Jogja, dan Dinas Pariwisata. Kami melakukan hotel tour sehingga mendapat gambaran mengenai sejarah hotel. Penjelasan dari pihak hotel juga lengkap.
Berikut foto-foto saya selama hotel tour:















Kami kembali ke ballroom dan mencicipi coffee break ditemani penampilan Tari Golek Ayun-ayun yang dibawakan oleh karyawan Hotel Phoenix. Tarian yang mengingatkan saya akan mulok saat SMP dulu. Saya dan teman-teman yang memilih mulok tari juga belajar Tari Golek Ayun-ayun ini.

Setelah itu ada penampilan Rahma, Diajeng Jogja dengan wayang kulitnya. Sungguh, baru kali ini saya melihat wayang yang dibawakan oleh perempuan. Yang tadinya saya selalu mengantuk jika melihat pertunjukan wayang, kali ini tidak.
Rahma dengan kelembutannya bisa membawakan peran beberapa wayang yang kadang tegas, kadang berwibawa, dan sebagainya. Sampai-sampai Kadin Pariwisata juga kagum dan langsung mendaulat Rahma untuk mengisi acara HUT Yogyakarta kelak. Pihak Hotel Phoenix juga menanyakan kesediaan Rahma untuk tampil lagi di hotel:D.
Saya salut karena tidak semua anak muda mau belajar budaya daerah seperti wayang. Rahma memang beruntung terlahir di keluarga pendalang. Ya, ayah dari Rahma adalah dalang sekaligus abdi dalem Kraton bagian pewayangan. Maka sejak kecil, Rahma telah ikut dalam setiap pentas ayahnya sehingga tumbuh keinginan Rahma untuk belajar wayang. Mulai usia 3 SD, Rahma kecil belajar wayang kulit, langsung dari ayahnya. Dan kini, kami melihat hasilnya. Sebuah pertunjukan wayang yang luar biasa, membius?

Tak hanya Rahma, salah seorang Dimas Jogja juga gemulai membawakan tari tradisional Kelana Alus Sumyar. Dimas Jogja tersebut rupanya mempunyai bude/tante yang berprofesi sebagai guru tadi. Itulah sebabnya ia juga tertarik belajar menari tradisonal sejak kecil.
Baca juga yuk pengalaman Kartika Nugmalia di Napak Tilas Sejarah Budaya 100 Tahun Hotel Phoenix
Acara ditutup dengan makan siang bersama, dan kami sama-sama berkomitmen untuk menjaga warisan budaya bangsa, salah satunya adalah bangunan bersejarah di Hotel Phoenix. Masyarakat Jogja harus tahu, bahwa menjaga bangunan bersejarah adalah tugas bersama. Dengan begitu, saksi sejarah ini tak akan dimakan zaman dan tetap menjadi bukti perjuangan Indonesia di masa penjajahan dan kemerdekaan. Semoga kelak anak cucu kita juga tetap melestarikan setiap jengkal warisan leluhurnya.

Menjadi satu pengalaman menarik bisa melihat sejarah bangunan hotel.
benar Mas, senang sekali:)
Kemarin kelompokku hanya ke ruang kerja, museum, kamar hotel, terus balik ke ruang pandawa. Yang bener 143 atau 144 kamar? 🙂 Kayaknya yang 1 kamar jadi kamar “gelap”.
Lha kok lebih dikit?:) Tandanya harus ke sana lagi, hehe. 144 yang di press release