Cinta pada keluarga hanya akan tumbuh jika kita bahagia dalam berumah tangga dan berkeluarga.
Apakah benar faktanya seperti itu? Bisa jadi iya, bisa tidak. Ada perempuan yang tidak bahagia dengan pernikahannya, tapi ia tetap mencintai anak-anaknya. Ada laki-laki yang karena mertuanya atau karena tidak percaya diri terhadap kontribusi dalam memberi nafkah, menjadi tidak bahagia dalam berumah tangga, tapi ia tetap bertahan di keluarga tersebut.
Tapi apakah selamanya akan begitu? Belum tentu. Mereka yang bertahan dalam kondisi sulit, pasti berusaha membangun keluarganya, sekecil apapun usaha tersebut. Sedangkan yang pada akhirnya berantakan keluarganya. Atau tidak mencintai keluarganya lagi. Entah dalam bentuk pergi dari rumah tangga tersebut. Maupun tidak lagi menjalankan kewajibannya.
Biasanya mereka pasrah. Berharap keluarganya akan tetap baik-baik saja. Berharap keadaan akan berubah sendiri. Mereka tidak melakukan apapun, tapi berharap terlalu banyak. Bila salah satu mau berusaha, tapi satunya tidak. Ya sama saja. Pernikahan dibangun oleh dua orang. Maka keluarga juga dipertahankan oleh dua orang individu di dalamnya.
Kadang, bukan salah satunya tidak mau. Tapi karena tidak tahu harus bagaimana. Kita dibesarkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait akademis, tapi tidak dengan yang terkait emosi, ataupun sosial. Oleh karena itu, kita harus mendorong pasangan kita yang tidak tahu caranya, agar terfasilitasi untuk pembangunan keluarga bersama-sama.
Minggu lalu, saya menjadi salah satu subjek penelitian psikologi tentang kesyukuran dalam pernikahan. Saya dan lima orang lainnya diminta mengisi kuisioner, lalu mengikuti pelatihan berkelompok selama dua hari.
Ada sesi penyampaian materi dari psikolog di UGM. Lalu ada sesi mengisi buku dengan berbagai tugas. Masing-masing dari kami (kelompok kecil 6-7 orang) kadang diminta membacakan apa yang kami tulis.
Intinya, saya berlatih mensyukuri pernikahan. Karena pada usia pernikahan ke-2, ke-3, ke-7, ke -19 pun (iya ada subjek yang telah menikah selama 19 tahun), tak mungkin pernikahan itu selalu mulus. Tinggal seberapa kuat pondasi yang dibangun dalam pernikahan. Dan salah satu pondasi tersebut adalah kesyukuran.
Tak ada individu yang sempurna. Kita tak sempurna, tidak juga pasangan kita. Tapi sama-sama mau belajar dan memperbaiki diri, serta selalu bersyukur adalah cara yang paling memungkinkan.
Kesyukuran dalam Pernikahan, Awal dari Pembangunan Keluarga
Salah satu cara bersyukur adalah dengan menulis sifat positif pasangan selama menikah. Lalu ada juga menulis surat cinta yang harus dibacakan untuk pasangan. Mungkin ada yang mbatin, ih ngapain sih harus kayak gitu segala? Ya itukan hanya cara. Tiap keluarga mungkin punya cara yang berbeda.
Salah satu materi yang didapat dalam pelatihan kesyukuran dalam pernikahan adalah tak hanya menuliskan hal positif yang dipunyai pasangan. Tapi juga hal positif atau sifat baik kita setelah pernikahan. Dua orang yang menikah akan saling mensyukuri jika masing-masing individu juga bersyukur terhadap dirinya sendiri dulu.
Siapa sangka, salah satu teman di kelompok saya bingung menulis kelebihan dirinya. Ternyata kepercayaan diri itu penting. Bila kita mampu melihat kelebihan dalam diri kita. Niscaya kita juga mampu melihat kelebihan orang lain, termasuk pasangan.
Makanya diri sendiri dulu yang dibuat bahagia. Baru deh kita berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Secara teori, menikah bukan melengkapi kekurangan kita. Tapi membagi kelebihan kita untuk orang lain dan sekitar.
Oh ya, kesyukuran ini harus terus dilatih dan dipraktekkan terus ya, nggak peduli sesempurna apa pernikahanmu, atau selama apa pernikahanmu.
Kesyukuran dalam pernikahan adalah awal dari pembangunan keluarga. Karena dimulai dari membangun kebahagiaan diri sendiri dulu, dari membangun kebahagiaan pasangan dulu.
Kalau menilik lebih dalam soal kebahagiaan individu. Ada yang namanya pondasi segitiga. Yang teratas adalah kognitif, lalu dua garis ke bawah yang membentuk segitiga adalah emosi dan perilaku. Maksudnya apa? Kognitif berarti pikiran. Pikiran lah yang selama ini mengendalikan emosi dan perilaku.
Luar biasanya, pikiran dapat dikontrol. Bila orang lain atau faktor eksternal tidak dapat kita kontrol, pikiran sebaliknya. Oleh karena itu sebaiknya kita berlatih mengontrol pikiran kita. Karena pikiran yang menentukan emosi dan perilaku kita.
Tak apa bila kita menerima emosi marah, sedih, dan emosi negatif lainnya. Tapi akan menjadi masalah bila perilaku kita menunjukkan hal negatif. Oleh sebab itu, pikiran harus tetap positif. Menjadi individu yang positif tentu tidak mudah. Butuh latihan dan konsistensi.
Kenapa saya concern dalam hal di atas? Karena kita tidak bisa ikut berperan dalam pembangunan keluarga, bila kita sendiri belum bersyukur terhadap pasangan. Belum bersyukur terhadap pernikahan. Termasuk belum bersyukur dengan diri sendiri setelah menikah.
Pada akhirnya, semua tahapan syukur tersebut harus dilewati. Dua individu yang kuat dan yang bersyukur, akan lebih mudah membentuk anak yang juga kuat dan bersyukur. Suami dan istri harus menguatkan dulu ikatan di antara mereka, baru perannya sebagai ayah dan ibu bisa optimal.
6 Langkah Bangun Keluarga Ideal
BKKBN sendiri telah merumuskan 6 langkah untuk membangun keluarga ideal. Ini adalah panduan bagi perempuan dan laki-laki yang ingin menikah. Termasuk panduan bagi suami dan istri. Apa saja keenam langkah tersebut?
1. Menikah di Usia Ideal
Yang dimaksud usia ideal oleh BKKBN adalah 21 untuk perempuan, dan 25 tahun untuk laki-laki. Saya tidak akan membahas dari segi agama ya. Agama saya sendiri mempunyai panduan soal kesiapan. BKKBN merumuskan usia ideal tersebut juga berdasar kesiapan.
Saya melihat dengan mata kepala sendiri, banyak anak usia belasan tahun yang menikah dini dan berakhir dengan tidak baik. Di sebuah desa terpencil di Bogor, anak perempuan belasan tahun tersebut menjadi janda di usia muda. Dan telah berkali-kali menikah.
Ekonomi jelas menjadi persoalan utama. Diikuti oleh latar belakang pendidikan yang kurang. Apalagi soal pendidikan agamanya.
Jangankan mereka yang muda, saya yang menikah di usia 24 tahun saja terkaget-kaget dengan situasi berumah tangga yang ternyata berbeda dengan bayangan saya.
Saya belajar banyak dari teman-teman yang ambil bagian dalam penelitian psikologi tempo hari. Ada yang menikah di usia cukup muda, 21 tahun. Usia tersebut sebenarnya ideal ya. Sudah lulus kuliah. Tapi ia juga terkejut dengan perubahan hidupnya begitu menikah dan punya anak.
Dia berkata, di saat teman-temannya pergi hangout, pergi ke kantor dengan penuh kepercayaan diri, melanjutkan S2, atau ke luar negeri mewakili perusahaannya, ia sebaliknya. Ia terjebak di rumahnya. Terkukung dalam rutinitas harian mengurus bayi. Yang kadang jelas membuat jenuh, dan merasa kesepian.
Dulu saya juga merasakan apa yang ia rasakan. Padahal saya sudah pernah kerja. Tapi ternyata memang berasa masih kurang dalam menggapai impian pribadi. Saya tidak menyadari ketika sudah menikah, apalagi menjadi ibu, maka keinginan pribadi harus dinomor sekiankan.
Ya kalau pasangan kita bisa diajak berkompromi, kalau tidak? Butuh usaha untuk menurunkan ego pribadi agar percekcokan tidak sering terjadi.
Usia ideal bagi perempuan juga terkait matangnya organ reproduksi. Melahirkan di usia muda rentan dengan beberapa risiko. Sama rentannya dengan kehamilan dan persalinan di usia lebih dari 35 tahun.
Bagi laki-laki, usia minimal 25 tahun terkait dengan pemenuhan nafkah. Biasanya di usia tersebut, mereka sudah mapan dalam pekerjaan. Jadi nggak perlu merepotkan orangtua untuk menafkahi anak istri. Usia 25 tahun juga dinilai matang dalam berpikir dan bertindak. Berapa banyak laki-laki yang mengucapkan kata talak karena emosinya belum matang? Hal ini dapat diminimalkan dengan usia pernikahan yang ideal.
2. Kembangkan Hubungan Sosial
BKKBN merumuskan bahwa untuk membangun keluarga ideal, setiap individu di dalamnya harus berkomunikasi dengan pasangan, keluarga lain, dan kelompok sosial.
Manusia memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk sosial. Kita nggak bisa hidup sendirian. Meskipun kita beranggapan kita mampu hidup sendiri mengurus anak misalnya. Tapi kenyataannya kita membutuhkan orang lain untuk berinteraksi secara sosial.
Saya mengalami sendiri kasus ini. Ketika hubungan dengan pasangan tidak berjalan mulus. Ditambah hubungan dengan keluarga lain (saat itu tetangga) tidak berjalan dengan baik. Ditambah tidak memiliki hubungan dengan kelompok sosial. Yang terjadi selanjutnya adalah, saya stres.
Menjadi makhluk yang nggak punya teman ngobrol. Saya menjadi individu yang merasa tidak dihargai di lingkungan sosial. Saya merasa tidak berkontribusi apapun di lingkungan saya. Dan itu melelahkan, melemahkan.
Oleh karena itu, keseimbangan hubungan sosial ini sangat penting.
Manfaatnya juga akan terasa ketika kita sedang kesulitan. Siapa lagi yang akan menolong kalau bukan orang-orang yang kita kenal dengan baik.
3. Rencanakan Jumlah Anak
BKKBN memasukkan perencanaan jumlah anak karena berhubungan dengan pemberian asi eksklusif dan penyusuan anak hingga dua tahun. Tak hanya dari segi kesehatan anak saja, tapi ini juga bermanfaat bagi kesehatan ibu. Rahim ibu membutuhkan waktu untuk pulih dari proses kehamilan dan persalinan sebelumnya. Emosi dan psikis ibu juga perlu waktu untuk mencerna segala perubahan dalam diri ataupun kehidupan barunya.
Dari segi suami, perencanaan jumlah anak juga bermanfaat untuk persiapan dana persalinan dan kesehatan anak. Persalinan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Meski sekarang sudah ditanggung oleh BPJS, tetapi biaya di luar medis juga banyak. Baju anak, popok, semuanya dibeli pakai uang. Belum lagi imunisasi (meski juga sudah dicover oleh pemerintah), tapi jika anak ingin divaksinasi lain yang tidak wajib, maka orangtua harus menyiapkan dana sendiri. Sama halnya jika anak sakit. Tentu butuh biaya.
Selain itu, perencanaan pendidikan anak juga perlu diperhatikan. Kita sama-sama tahu bahwa biaya pendidikan tidaklah murah. Merencanakan jumlah anak, secara otomatis orangtua juga sudah merencanakan biaya pendidikan anak.
4. Atur Jarak Kelahiran 3-5 Tahun
Pengaturan jarak kelahiran mempunyai banyak manfaat seperti yang sudah saya jelaskan di poin ketiga. Apa gunanya jumlah anak direncanakan tetapi jaraknya tidak. Bayangkan punya anak dua tapi berjarak 1 tahun. Kakaknya belum selesai menyusui hingga dua tahun, mungkin ia terpaksa disapih karena ibu kontraksi terus.
Bagi ayah, jarak kelahiran juga berfungsi sebagai perencanaan sekolah anak. Kita bisa merencanakan kapan kakak lulus dan harus ke jenjang berikutnya. Dan kapan adiknya juga lulus sehingga biaya yang dikeluarkan setiap tahunnya tidak terlalu besar. Ya gantian gitu lah kalau naik ke jenjang sekolah berikutnya.
Jarak kelahiran ini dapat diatur dengan kontrasepsi. Setiap pasangan bisa memilih kontrasepsi jenis apapun dengan berkonsultasi pada dokter.
5. Berhenti Melahirkan di Usia 35 Tahun
Hihi, jleb banget ini. Usia saya sudah 32 tahun, dan masih ingin punya satu anak lagi. Berarti paling lambat saya hamil di usia 34 tahun. Agar melahirkan tidak lebih dari 35 tahun. Saat mengikuti seminar kesehatan, seorang bidan pernah menyampaikan bahwa otot-otot perempuan usia 35 tahun itu sudah mulai kaku. Sehingga saat hamil pun jadi sakit-sakit pinggang dan punggungnya. Begitu juga dengan risiko persalinan, menjadi semakin besar saat perempuan melahirkan di atas 35 tahun.
BKKBN menuliskan bahwa sebaiknya berhenti melahirkan di usia 35 tahun agar anak dapat terawat dengan optimal. Benar juga sih, kalau punya anak kecil lagi di usia 40-an kebayang deh gimana boyok saya pegal-pegal saat harus menggendong bayi atau lari mengejar balita yang sedang bermain. Pengurusan anak menjadi tidak optimal bila kesehatan ibu sudah mulai menurun.
Alasan di atas digeneralisasi untuk semua perempuan Indonesia ya. Mungkin saja ada perempuan tertentu yang fisiknya terlihat lebih kuat. Kemudian usia biologisnya saat di cek masih di bawah 35 tahun. Maka wajar saja bila perempuan itu lebih strong saat melahirkan maupun mengurus anak. Meskipun rata-rata perempuan di Indonesia ya tidak begitu.
6. Rawat dan Asuh Anak Balita dengan Optimal
Dengan mengikuti kelima panduan di atas, diharapakan orangtua dapat merawat dan mendidik balitanya dengan optimal. Ayah dan ibu yang siap dari segi emosi, psikis dan materi tentunya diharapkan dapat berperan semaksimal mungkin sebagai orangtua.
Bangun Ketahanan Keluarga Agar Makin Harmonis
Selain 6 langkah membangun keluarga ideal, BKKBN juga merumuskan cara untuk membangun ketahanan keluarga agar makin harmonis. Ingat bahwa keharmonisan keluarga tidak tercipta begitu saja. Tapi perlu diusahakan oleh anggota keluarga, terutama orangtua.
1. Kumpul Berkualitas
Luangkan waktu minimal 20 menit sehari untuk berkumpul dengan keluarga tanpa gawai, televisi atau alat elektronik lainnya. Tak dipungkiri bahwa kemajuan teknologi mendekatkan yang jauh, tapi juga menjauhkan yang dekat.
Apalagi orang seperti saya yang pekerjaannya membutuhkan gawai. Penggunaan gawai jelas menurunkan kualitas pertemuan ibu dan anak. Atau yang suaminya bekerja di balik laptop. Seharusnya ketika di rumah, para ayah meluangkan waktunya untuk istri dan anak, tanpa terdistraksi laptop.
Meluangkan waktu ini butuh kesepakatan kedua pihak, yaitu ayah dan ibu. Bila mereka benar-benar mau membangun keluarga, ya lakukan kesepakatan tersebut. Lalu praktekkan secara konsisten. Self reminder juga nih untuk saya.
Berkumpul tanpa keberadaan alat elektronik akan membentuk hubungan yang lebih akrab. Kontak mata terjadi dengan sendirinya. Ucapan orangtua juga akan diikuti dengan gestur badan yang menampakkan perhatian dan sayang pada anak-anaknya. Tentunya hal tersebut akan lebih bagus dibanding interaksi 5 jam tetapi masing-masing sibuk dengan gawainya.
2. Tingkatkan Interaksi
Bukan hanya dengan keluarga inti, melainkan juga dengan keluarga besar, dan tetangga dalam kegiatan sehari-hari. Orangtua dan anak sama-sama memerlukan interaksi sosial dengan dunia luar.
Interaksi terdekat tentu dengan keluarga besar yaitu kakek nenek, sepupu, dan saudara baik yang sebaya maupun berbeda usia. Dengan begitu, anak dapat bergaul lebih luwes. Dan memiliki empati serta terikat secara emosi dengan keluarga besarnya. Ketika keluarga besarnya ada yang kesulitan, anak tidak canggung lagi untuk membantu, karena telah lama mengenal mereka.
Bagaimana dengan tetangga? Tetangga adalah keluarga kedua kita. Apalagi yang tinggal di perantauan. Kepada siapa lagi kita berinteraksi, saling membantu, jika bukan dengan tetangga. Oleh karena itu, hubungan baik dengan tetangga juga perlu dibina. Misalnya anak-anak kita dibolehkan bermain dengan anak tetangga di sore hari. Lalu ajak anak mengantar makanan atau hadiah ke tetangga sekitar. Sehingga empati anak juga tumbuh.
Sebagai orangtua, libatkan diri dalam ronda, kerja bakti, kegiatan PKK/ arisan kampung, panitia acara desa seperti 17 Agustus misalnya. Berikan kontribusi kita sekecil apapun. Entah menyiapkan makanan saat kerja bakti, termasuk bersedia ketika dimintai tolong.
3. Mandiri
Manfaatkan potensi tiap keluarga agar tidak bergantung pada pihak lain. Gali pengetahuan, tingkatkan keterampilan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa saat menikah, saya merasa kemandirian saya berkurang. Bergantung pada suami sih boleh-boleh saja, asal ke suami sendiri lho ya, bukan suami orang:).
Ternyata kemandirian itu sebaiknya tetap dipelihara setelah menikah. Saya sih mau-mau saja ya dianterin kemana-mana sama suami. Sayangnya, suami saya kerja dari pagi sampai malam. Kalau saya nggak mandiri, bisa-bisa anak kelaparan, atau rumah jadi kotor. Gara-gara harus menunggu suami pulang buat beli makanan atau cairan pel yang habis misalnya.
Zaman sekarang sih enak sudah ada jasa ojek online yang mau membantu kita dalam banyak hal. Zaman dulu? Wah kudu mandiri deh. Saya pernah antar anak, belanja ke pasar, sampai dorong stroller belanjaan di mal ya sendirian.
Bagaimana dengan kemandirian finansial? Bukankah nafkah itu wajib diberikan suami? Iya benar sekali. Tapi nggak ada salahnya jika para istri menggali pengetahuan dan meningkatkan keterampilannya.
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tak hanya berkorelasi pada peningkatan penghasilan, tapi juga pola pikir dan kesehatan psikis. Mengurus anak itu menguras emosi lho. Ibu butuh ruang sejenak untuk menjadi dirinya sendiri. Nah, daripada belanja menghabiskan duit, mending uangnya dipakai untuk kursus kan ya?
Kursus masak bisa bikin masakan rumah jadi lebih bervariasi dan enak. Bonusnya siapa tahu ada teman yang pesan makanan di kita. Belajar motret akan menjadikan instagram jadi cantik. Bonusnya endorse berdatangan. Bahkan ada juga ibu-ibu yang akhirnya menjadi pelatih, mengisi training di komunitas-dan sekolah-sekolah.
Saya sendiri belajar menulis justru setelah menikah. Paska resign, pikiran saya mampet. Semua ilmu yang dulu didapat dibangku kuliah mandek. Makanya begitu ada komunitas menulis online, saya ikut deh. Lebih tepatnya nggak sengaja terseret di dalamnya. Siapa sangka malah betah, dan akhirnya saya menekuni dunia menulis.
Yang awalnya hanya berniat melepas penat dan ide-ide yang berloncatan di kepala. Pada akhirnya saya mendapatkan banyak hal dari menulis. Teman baru, pengetahuan baru, keahlian baru, apresiasi, bahkan penghasilan. Kepercayaan diri saya meningkat ketika menemukan passion. Hubungan dengan suami juga membaik karena saya lebih bahagia dengan diri saya. See, korelasinya mungkin baru terlihat jika mengalami sendiri bahwa kemandirian itu sebaiknya tetap dijaga bahkan ditingkatkan meski kita sudah menikah.
4. Peduli dan Berbagi
Mengajarkan saling peduli dan berbagi, khususnya bagi mereka yang kurang beruntung pada anak akan membuahkan ketahanan keluarga. Kok bisa ya berbagi sama orang lain malah bagus untuk pembangunan keluarga kita sendiri? Ya iya dong! Dengan berbagi, kita mensyukuri bahwa keluarga kita hidup dalam kondisi yang baik. Melihat ke bawah, ke yang kekurangan akan membuat kita merasa beruntung dan menjaga baik-baik keluarga kita.
Saat berbagi, muncul perasaan bahagia sehingga bisa menular ke seluruh anggota keluarga. Ketika berbagi, kita mendapat doa yang tulus dari mereka yang kurang beruntung. Kita tidak pernah tahu doa siapa yang dikabulkan, kan? Bisa saja mereka kurang beruntung, tapi doa mereka lebih diterima.
Keluarga kita akan lebih harmonis saat kita juga membahagiakan keluarga lain. Sedekah membuka mata kita, dan menyucikan harta kita. Nggak ada dampak negatif dari peduli dan berbagi. Jangan takut miskin dengan berbagi. Justru kita akan makin kaya. Yang jelas kaya empati, kaya syukur juga.
Kesimpulannya, interaksi yang sehat, mandiri, saling peduli adalah kunci mewujudkan keluarga harmonis. Pembangunan keluarga tentu bertujuan untuk menjadi keluarga harmonis. Dalam Islam disebut sebagai keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah. Keluarga yang menjadi jalan menuju surga. Jika suasana di dalam keluarga terasa panas, bagaimana mau masuk surga bersama-sama? Oleh karena itu, pembangunan keluarga merupakan tanggung jawab suami dan istri.
Dengan pembangunan keluarga bersama-sama, maka akan menumbuhkan individu yang cinta keluarga. Ayah akan semakin cinta pada keluarganya. Ibu akan semakin sayang pada keluarganya. Anak-anak juga melihat cinta kasih tersebut dan tumbuh menjadi anak yang cinta pada keluarga. Bila orangtua berhasil membangun kecintaan anak kepada keluarga di usianya yang belia, maka ke depannya akan enak. Anak tidak akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik keluarga.
Lihat, kan, berapa pembangunan keluarga ini berdampak besar? Tujuannya bukan hanya masa depan anak, tapi juga masa depan tiap anggota keluarga di negeri akhirat. Semoga kita semua mau berusaha membangun ketahanan keluarga setiap harinya ya. Jangan pernah lelah untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri sebagai pasangan dan orangtua.
Memang semua berlandaskan dari keluarga ya
Benar Mbak. Penting banget biar ke depannya ga repot saat anak udah remaja terutama
Ada beberapa alasan ilmiah kenapa manusia sebaiknya menghindari membentuk keluarga sebelum umur 20 tahun.
Pada perempuan, kekuatan otot vagina dan rahim untuk hamil dan melahirkan itu baru optimal justru pada usia 21 tahun. Itu sebabnya kasus-kasus keguguran atau kelahiran bayi prematur itu lebih sering terjadi pada ibu yang berusia sebelum 21 tahun. Jadi, kalau perempuan mau menikah, fisiknya itu lebih kuat jika pernikahan dilaksanakan sesudah umur 20 tahun.
Pada anak, bagian otak yang bertugas untuk membuat keputusan itu baru matang setelah umur 25 tahun. Sebelum itu, bagian otak ini masih labil. Itu sebabnya jarang sekali perusahaan-perusahaan yang berhasil apabila CEO-nya belum berumur 25 tahun. Jika menjalankan perusahaan saja belum matang pada umur segitu, apalagi urusan yang lebih berat untuk membentuk keluarga?
Pgn bgt sih menikah di usia ideal, pdhl aku udh pacaran dr kelas 2 SMP, tp apa daya ya, jodoh itu rahasia Tuhan. Walaupun udah gonta-ganti pacar, kalau belum ketemu jodoh, belum juga menikah ahhaha, kok malah jd curhat akunya hihi, maapkeun.