“Ada yang ingin kukatakan padamu, Istriku.” Arman menggandeng Ratih menuju sofa di kamarnya.
“Katakan saja Mas.”
“Bila dadaku terasa nyeri saat memikirkan perempuan lain, bagaimana menurutmu?”
“Maksudnya? Mas selingkuh?”
“Bukan, ini hanya semacam rasa yang muncul kembali setelah terpendam begitu lama.”
Ratih mematung, kejujuran yang dicernanya jelas menyakitkan. Perjalanan biduk rumah tangga yang dijaganya, kini diambang kehancuran. Hatinya remuk, emosinya tersulut.
Ratih berdiri, nada suaranya meninggi. “Sama saja Mas, itu namanya kamu selingkuh! Kamu berniat pergi meninggalkanku, hah? Karena aku tak bisa memberimu anak?”
Arman menarik nafas panjang. “Sakit Amelia semakin…”
Ratih makin berang. Dia sadar, satu-satunya wanita yang pernah memenjarakan hati Arman adalah Amelia.
“Amelia lagi. Bosan aku mendengar nama itu disebut-sebut. Dia adalah masa lalumu, tak perlu kau hiraukan. Aku sudah muak!”
Malam itu juga Ratih mengemasi baju-bajunya. Pertengkaran ini bukan yang pertama, selalu Amelia yang menjadi pangkal masalah. Bayang-bayang wajah Amelia kian menyesak, mengingatkan Ratih pada kompetisi di sanggar tarinya dulu.
Esok paginya.
Arman menjejakkan kaki di Bandara Adi Sumarmo. Perjalanan Jakarta- Boyolali lumayan membius dirinya akan kenangan. Arman melanjutkan perjalanan sejauh 14 km melalui jalan darat, menuju kota Solo.
Sepuluh tahun lalu, Arman melamar seorang gadis di kota ini, jelas bukan gadis biasa yang berhasil menaklukkan hatinya. Hanya dengan mengingat tarian gadis itu, jantungnya berdegup kencang.
Kendaraan yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah rumah bergaya kolonial.
Setapak itu masih sama, bebatuan putih berbentuk lingkaran berjejer tak beraturan tapi simetris. Arman menapaki batuan tersebut hingga mencapai bibir rumah berwarna krem. Dilihatnya Amelia sedang menyapu.
Untuk memastikan siapa yang di hadapannya, Amelia memicingkan mata. Balerina itu terhenyak, lalu lari mendekap Arman. Tangisnya pecah. Rindunya membuncah.
“Aku tahu ,kau pasti akan pulang. Kau tahu, kan, kalau aku menunggumu dua tahun ini?”
“Aku tahu Amelia, aku pun selalu memikirkanmu.”
“Aku sekarang rajin masak, salah satu cara agar tanganku tak mudah kaku. Supaya ketika kau pulang, aroma semur daging tercium menusuk hidungmu.” Amelia makin membenamkan wajah dalam rengkuhan lengan lelaki yang diimpikannya.
“Kau tak perlu sampai begitu, Mel.” Arman membelai rambut Amelia yang renggang, seraya melempar senyum pada wanita tua yang sedang menatap ke arah mereka.
“Dan aku juga membuka sanggar balet, untuk mengobati kerinduanku. Agar kelak kau bisa mengajar di sini. Tak perlu merantau ke ibukota.”
“Aku tak pantas mendapatkan semua itu. Maafkan aku, seharusnya …”
“Ssstt,” telunjuk Amelia mendarat di bibir Arman.
“Tolong jangan pergi lagi, Man. Aku berjanji tak akan menyusahkanmu.”
“Bukan begitu Mel, hanya saja…semua terasa berat. Dan Ratih, dia datang menawarkan segala yang kubutuhkan.”
“Aku tak pernah setuju kau menikahi perempuan itu. Cukuplah aku yang kau percaya, maka akan kutunjukkan apa yang hatimu butuhkan. Tawa riang anak-anak bukan?”
“Tapi, bukankah kau…”
“Besok pagi-pagi kita akan mengunjungi yayasan, pilihlah satu untuk kau curahkan naluri kebapakanmu.”
Amelia menatap Arman lekat-lekat.
“You will see I can give you
Everything you need
Let me be the one to love you more.”
Lagu Celine Dion mengalun lembut di telinga Arman.
Ah…hampir saja Arman lupa, selain jago balet, Amelia juga pintar menyanyi. Walau kini tak bisa tampil di pangung megah, semenjak Lupus ketahuan menggerogoti tubuhnya.
500 kata.
Terinspirasi dari lagu To Love You More-nya Celine Dion.
Untuk Prompt #33 MFF: Love is In The Air.