Pentingnya Menjadi Konsumen Cerdas dan Bijak di Era Digital

Facebooktwitterredditmail

Konsumen cerdas di era digital tak hanya mengetahui hak-hak dan kewajibannya, tapi ia juga berani dan bijak dalam bicara, baik di media sosial, maupun saat melakukan pengaduan.

konsumen cerdas di era digital

Sebuah paket dari online shop akhirnya sampai juga. Novel karya Andre Hirata berjudul Sirkus Pohon yang sudah saya tunggu sejak lama. Saat membukanya, saya menyadari ada yang aneh. Selembar kertas di halaman depan terlalu tipis. Tulisan yang tercetak juga buram. Begitu kutelusuri lebih dalam, kertas-kertas di bagian belakang lebih parah lagi.

“Bajakan!” kata suami saya.

Baru kali ini saya membeli buku melalui e-commerce. Biasanya saya datang langsung ke toko buku besar di kota Jogja. Pernah juga sih membeli buku secara online di teman yang sudah kenal. Yang saya ketahui kejujurannya. Saya menggunakan voucer belanja saat membeli novel Sirkus Pohon. Saat itu, saya mendapatkan voucer di e-commerce, tapi lagi tidak ada barang yang dibutuhkan. Ya sudah, belanja buku saja. Entah saya yang kurang teliti membaca penjelasan produk. Atau karena saya pikir mana mungkin ada buku bajakan dijual di e-commerce besar. Tanpa ragu, saya memesan buku tersebut.

Yang datang kemudian sungguh tidak diduga. Terus terang saya kecewa, tapi saat itu saya diam saja. Suami sudah menyarankan untuk menghubungi penjual dan menanyakan apakah benar buku bajakan. Kalau perlu meminta tukar buku, dan tidak lupa menuliskan ulasannya di kolom rating penjual di web e-commerce. Semuanya urung saya lakukan. Alasannya satu, malas. Toh bukunya tetap bisa dibaca. Toh tidak terlalu merugikan. Pembenaran yang diolah oleh pikiran sendiri, hanya karena saya malas membuang waktu dan tenaga untuk mengurus masalah ini.

kondisi perlindungan konsumen
Gambar dari @harkonas

Saya tahu bahwa tindakan tersebut salah. Bagaimana bila ada pembeli lain yang kelak mengalami hal yang sama? Hanya karena saya diam saja, tidak mengambil langkah agar penjual jera. Sayangnya, tidak hanya saya yang bersikap seperti ini. Berdasarkan data dari Kementerian, ternyata konsumen Indonesia masih banyak yang belum memanfaatkan haknya. Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) Eropa (2011) berada pada angka 51,31 % yang berarti mampu. Sedangkan IKK Indonesia (2016) berada pada angka 30,86 % yang mengindikasikan sampai level paham. Ya, konsumen Indonesia baru sekadar memahami hak-haknya, tetapi belum memanfaatkan hak tersebut. Sudahkah kamu tahu mengenai hak sebagai konsumen?

Begitu juga dengan pengaduan konsumen, sama rendahnya. Di Korea Selatan, ada 64 pengaduan konsumen yang diterima dari setiap 1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, rata-rata hanya 4,1 pengaduan yang terjadi di setiap 1 juta penduduk.

Masih berdasarkan data, sebanyak 39,2 % penduduk Indonesia tidak mengetahui adanya lembaga perlindungan konsumen. Lalu 38,6 % -nya mengenal tetapi tidak mengetahui fungsi lembaga perlindungan konsumen. Sementara sisanya yaitu sebanyak 22,2 % mengenal dan mengetahui lembaga perlindungan konsumen.

konsumen cerdas
Gambar dari @harkonas

Jika alasan saya tidak melakukan pengaduan karena malas membuang waktu dan tenaga, data juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. Sebanyak 6 % konsumen mengenal penjual. Kemudian 20 % -nya menganggap proses dan prosedur pengaduan lama dan rumit. Selain itu, 24 % konsumen tidak mengetahui tempat pengaduan, dan 37 % -nya merasa risiko kerugian yang diterima tidak besar. Akibatnya, sebesar 42 % konsumen memilih tidak melakukan pengaduan. Padahal era digital memiliki banyak celah sehingga penjual bisa lebih bebas memperdagangkan produknya. Dampaknya, konsumen dapat dengan mudah tidak memperoleh haknya.

Era Digital Membuat Konsumen Tidak Bertatap Muka dengan Penjual dan Produknya

Era digital ditandai dengan revolusi industri 4.0. Di era ini, ekonomi digital, kecerdasan buatan, robot merupakan beberapa hal yang mengambil alih setiap sendi kehidupan. Zaman sudah bergeser. Bila tadinya konsumen bisa bertatap muka dengan penjual, dan bisa melihat langsung produk yang akan dibeli, sekarang kondisinya berbeda. Konsumen memang tidak perlu lagi repot-repot menyusuri toko demi toko untuk mendapat barang yang dibutuhkan. Tetapi ada hal krusial yang perlu mendapat perhatian lebih, yaitu keaslian produk, dan kualitas penjual.

Di dunia digital, konsumen tidak lagi dapat memegang produk. Yang ada, konsumen diminta membaca deskripsi atau spesifikasi produk. Beberapa penjual melengkapinya dengan foto. Nah, soal foto ini juga menjadi kendala tersendiri. Kadang, penjual asal ambil foto milik orang lain. ApalagiApalagi drop yang tidak menyetok produk. Agen atau reseller masih mending, karena biasanya diwajibkan membeli paket produk dengan harga tertentu. Dengan begitu, mereka melihat dan bisa memegang langsung produknya, sehingga ketika ada konsumen yang bertanya mengenai spesifikasi produk, mereka bisa menjawab dengan cepat dan tepat. Sementara dropshipper, jika tidak pintar memilih produsen, bisa jadi barang yang difoto berbeda dengan aslinya. Siapa yang menjadi korban? Tentu saja konsumen.

Saya jadi ingat pengalaman pribadi yang terjadi baru-baru ini. Saat itu saya membeli sebuah dress yang dijual online oleh teman. Semua berjalan dengan lancar, sampai ketika barang datang. Pertama, saya kaget karena warna baju tidak sesuai pesanan. Awalnya saya mengira salah tulis warna saat pemesanan. Setelah dicek, ternyata benar kok. Saya memesan warna mocca. Sedangkan yang datang warna mustard.

Saya meminta penjual untuk mengganti baju tersebut. Jawabannya sungguh di luar dugaan. Ternyata dia yang salah pesan ke produsen. Dia hanya dropshipper yang tidak menyetok barang. Saya meminta dia bertanggung jawab, karena mendapatkan barang sesuai pesanan adalah hak sebagai konsumen. Tapi responnya adalah meminta saya untuk sabar, nanti akan diganti, karena saat itu dia tidak punya uang. Sebagai teman, saya jadi kasihan. Tapi sebagai konsumen, saya merasa dirugikan.

Singkat cerita, saya menawarkan baju tersebut ke teman-teman di media sosial, dan laku. Baju yang tadinya belum dibuka dari kemasannya, akhirnya saya buka. Saya kaget, ternyata baju tersebut berbeda model dengan yang ada di foto. Tentu saja saya langsung membatalkan transaksi dengan si pembeli baru. Untung uang belum ditransfer.

beli online
Baju yang dipesan versus yang datang

Saya mengadu lagi ke teman yang dropshipper. Mendesak dia untuk menyampaikan kekeliruan ini ke produsen bahwa baju yang dikirim salah model. Usut punya usut, nama produk yang difoto versus dikemasan pun berbeda. Kode produk benar, tapi nama produk berbeda. Tapi produsen tetap tidak mau mengakui kesalahan. Apalagi menukar baju tersebut. Mereka malah menawarkan diskon 10 % di pembelian berikutnya sebagai kompensasi. Saya menolak.

Tak kunjung mendapatkan respon yang win-win solution, akhirnya saya nekat mengubungi produsen. Nomor teleponnya memang tertera di paket. Ternyata jawaban yang saya dapat masih sama, tidak bersedia retur produk. Belakangan baru saya ketahui, bahwa yang menjawab chat selama ini adalah bagian CS, bukan owner -nya.

Saya sampai menyatakan bahwa seharusnya produsen berterima kasih karena konsumen memberikan pengaduan. Lebih baik ditelusuri, kesalahan terjadi pada saat pengemasan barang, atau memang barang KW tidak sesuai foto. Jika ada kekeliruan dari karyawan, berarti quality control -nya perlu diperbaiki.  Bila ternyata baju yang dijual tidak sesuai foto, nah, kualitas dan kejujuran produsen perlu dipertanyakan.

Sebenarnya nilai baju tidak seberapa, tetapi seharusnya konsumen berhak mendapatkan produk sesuai pesanan. Saya juga tidak rela bila akar masalah berasal dari ketidakkejujuran marketing online produsen. Bayangkan kalau hal ini dialami banyak orang. Berapa banyak konsumen yang dirugikan?

Begitu saya menyinggung tentang apa yang seharusnya dilakukan owner ketika ada pengaduan konsumen, barulah CS lebih lunak. Akhirnya CS menawarkan untuk mengembalikan uang, atau diganti baju yang baru. Saya memilih agar uang dikembalikan, dan baju yang salah akan saya kirim balik. Tidak sampai dua hari, uang sudah ditransfer ke rekening. Ketika saya memastikan alamat pengembalian baju ke produsen, CS justru berkata tidak usah. Baju tidak perlu dikembalikan. Katanya, bila tidak mau dipakai, bisa diberikan ke tetangga atau teman. Saya menyetujui saran tersebut. Kami berdamai, masalah selesai.

Bisa dilihat berapa banyak waktu dan tenaga yang terkuras ketika membuat pengaduan. Kalau ditotal, pengaduan di atas selesai dalam 4 minggu. Ya, sebulan hanya untuk mengurus baju yang tidak sesuai pesanan. Tapi saya bangga bahwa sudah berani bicara. Sudah berani menuntut hak sebagai konsumen.

Konsumen Cerdas di Era Digital

Menjadi konsumen cerdas di era digital tentu tidak mudah. Sebenarnya, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sudah mengaturnya. Apa saja hak dan kewajiban konsumen yang tertulis di UU tersebut?

Hak-hak konsumen:

  1. Mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa.
  2. Memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
  3. Memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa.
  4. Didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan.
  5. Mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut.
  6. Mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
  7. Diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
  8. Mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban Konsumen:

  1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian barang dan jasa.
  2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan jasa.
  3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
  4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa secara patut

Setelah mengetahui hak dan kewajiban sebagai konsumen, mari kita mempraktekkannya. Bila sebelumnya cenderung acuh dengan informasi produk, di era digital ini, kita justru harus lebih jeli membaca deskripsi yang ditulis penjual. Kalau boleh saya rangkum, setidaknya ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan untuk menjadi konsumen cerdas di era digital, yaitu:

1. Pilih Penjual yang Kredibel

Penjual di sini termasuk e-commerce ya. Teliti dulu penjual online sebelum membeli produknya. Cek akun media sosialnya. Adakah album testimoni pembeli misalnya. Atau adakah foto faktur pengiriman barang melalui ekspedisi. Untuk e-commerce atau toko online besar, kita dapat mengecek via ulasan pembeli, termasuk rating (bintang) yang diberikan kepada penjual. Selain itu, dapat pula memilih web yang track record -nya bagus dan terpercaya. Pengalaman saya di masa lalu, menjadikan saya harus lebih teliti lagi. Meskipun penjual adalah teman sendiri, sebaiknya tetap cek kredibel atau tidak.

2. Teliti Sebelum Membeli

Ketelitian sangat penting ketika bertransaksi di dunia digital. Spesifikasi produk, informasi dan deskripsi harus dibaca dengan cermat. Apabila masih ragu, sebaiknya bertanya kepada penjual. Untuk produk fashion, kita harus jeli baik dari segi bahan, ukuran, termasuk warna. Pastikan juga foto yang dipajang adalah foto asli, bukan foto milik penjual lain. Hal ini penting agar konsumen tidak merasa tertipu.

Sebagai konsumen, kita mempunyai hak untuk memastikan kualitas produk. Untuk produk kosmetik, makanan, dan minuman yang dijual online, penting juga untuk memastikan label BPOM, Dinkes, PIRT, atau yang terkait. Untuk produk sejenis peralatan rumah tangga, mainan anak, alat bangunan, beberapa alat elektronik dan makanan, ada yang diwajibkan berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia). Label ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi konsumen. SNI menjamin kepastian atas kesehatan, kemanan dan keselamatan konsumen, bahkan lingkungannya (K3L). Kalau ingin tahu lebih banyak tentang SNI, sebaiknya membaca langsung dari Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Masa kadaluwarsa produk juga perlu diperhatikan, terutama untuk produk yang masuk ke dalam tubuh atau yang dipakai di luar/atas tubuh.

3. Beli Sesuai Kebutuhan, Jangan Kalap

Tips terakhir ini cukup penting di era digital. Sebagai konsumen cerdas, kita perlu membedakan mana kebutuhan, mana keinginan. Kemudahan dalam bertransaksi online jelas membuat kita mudah tergoda barang dan jasa yang ditawarkan di internet. Oleh karena itu, kita sendiri yang bisa mengontrol nafsu saat belanja online.

4. Cintai Produk Dalam Negeri

Menggunakan produk asli Indonesia, berarti ikut meningkatkan perekonomian rakyat. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat akan bertambah pesat. Produk dalam negeri tidak kalah lho dengan produk impor. Konsumen cerdas di era digital bangga memakai produk lokal.

Oh ya, penggunaan jasa di era digital juga menarik. Prinsipnya sih sama dengan yang sudah saya rangkum di atas. Pilih aplikasi yang kredibel. Kalau perlu baca dulu ulasan dan testimoni konsumen yang sudah pernah menggunakan jasa tersebut. Teliti sebelum menggunakan jasa. Cek semua fitur, kategori, label, kolom yang terdapat pada aplikasi jasa. Terakhir, gunakan jasa sesuai kebutuhan, dan dengan benar. Dengan kata lain, gunakan jasa bukan untuk menipu atau berniat jahat. Ingat bahwa sebagai konsumen kita tidak hanya mempunyai hak, tetapi juga harus melaksanakan kewajiban, antara lain beriktikad baik.

Konsumen Cerdas Berani dan Bijak Bicara

Benar bahwa konsumen cerdas di era digital harus berani bicara. Bila konsumen tidak mendapatkan hak-haknya, maka konsumen dapat mengadukan hal tersebut. Mengadu kemana? Tentu saja ke lembaga perlindungan konsumen. Pemerintah sendiri memilik BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang tersebar di kabupaten atau kota. Sayangnya, tidak semua masyarakat mengetahui hal ini.

konsumen cerdas berani bicara
Gambar dari @harkonas

Selain itu, berdasarkan data, hanya 33,3 % kabupaten atau kota yang memiliki BPSK. Sedangkan 66,7 % sisanya tidak memiliki BPSK. Cukup memprihatinkan sih, tetapi sebagai konsumen cerdas, kita tidak perlu berkecil hati. Konsumen masih bisa mengadu ke pelaku usaha, ke LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat) setempat, ke dinas  yang menangani perlindungan konsumen di Kabupaten/Kota, bahkan lapor ke kepolisian. Berbagai saluran pengaduan ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui terlebih dahulu hasil apa yang diharapkan oleh konsumen terkait pengaduan yang dilakukannya. Tiap kasus tentu berbeda penanganannya, sehingga lembaga pengaduan yang diperlukan juga bisa berbeda. Konsumen cerdas di era digital dapat memilih tempat pengaduan sesuai kondisi yang dialami.

Kalau di era digital, saya tetap menyarankan untuk bicara terlebih dahulu ke pelaku usaha. Seperti yang pernah saya lakukan, menghubungi langsung penjual. Sebagian besar e-commerce, penjual online, aplikasi online sudah mempunyai bagian khusus untuk menangani hal ini. Baik melalui e-mail, chat dengan customer care, dan sebagainya. Konsumen cerdas di era digital dapat memanfaatkan kemudahan komunikasi tersebut. Pengaduan yang tepat sasaran, pasti akan ditindak lanjuti oleh pelaku usaha.

Media sosial atau blog juga kerap digunakan sebagai tempat pengaduan konsumen. Inilah yang saya maksudkan dengan bijak bicara. Media sosial memang seperti dua sisi mata uang. Salah-salah justru kita yang akan diadukan balik karena dianggap mencemarkan nama baik. Saya tidak merekomendasikan untuk mempublikasikan pengaduan ke media sosial milik pribadi. Meskipun sebelumnya telah mengadu langsung ke pelaku usaha dan tidak direspon, atau mendapat respon yang tidak memuaskan. Karena yang biasanya terjadi adalah, kalimat yang digunakan konsumen kurang bijak. Kata-kata kasar, memojokkan, tentu akan membuat jengah pelaku usaha. Kadang, fakta yang akurat, disertai bukti juga belum tentu membuat masalah selesai. Yang ada justru bertambah runyam, dan solusi tidak didapatkan. Konsumen cerdas di era digital tidak mengadu di media sosial.

Oleh karena itu, jika pengaduan ke pelaku usaha belum juga membuahkan hasil, konsumen dapat meminta bantuan lembaga pengaduan konsumen lainnya. Termasuk ke pos layanan informasi dan pengaduan konsumen, yaitu
Hotline : (021)3441839
Website : http://siswaspk.kemendag.go.id
E-mail : pengaduan.konsumen@kemendag.go.id
Whatsapp : 0853 1111 1010
Google Play Store : Pengaduan Konsumen

si koncer
Si Koncer logo Harkonas

Menjadi konsumen cerdas di era digital, tidak hanya dengan mengetahui hak-hak dan kewajiban sebagai konsumen. Ada hal lain yang lebih penting, yaitu etika di era digital. Konsumen cerdas yang berani bicara pun perlu memperhatikan etika ini agar tercipta suasana yang kondusif. Seperti yang digaungkan oleh harkonas.id, peringatan Hari Konsumen Nasional yang jatuh pada tanggal 20 April dapat menjadi titik balik untuk refleksi diri. Sudahkan kita menjadi konsumen cerdas di era digital? Karena konsumen cerdas di era digital, secara tidak langsung melindungi dirinya sendiri sehingga merasa aman dan nyaman ketika bertransaksi di dunia digital. Selain itu, konsumen yang cerdas dan berdaya, akan meningkatkan kepatuhan dan kualitas pelaku usaha.

(Visited 749 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

41 thoughts on “Pentingnya Menjadi Konsumen Cerdas dan Bijak di Era Digital

  1. Mudrikah stories Reply

    Harus cerdas ya jadi konsumen, aku jg pernah belanja online dan produknya ga sesuai sebel bgt, salahny aku gk komplen krna memang masih bisa dipakai produknya.

  2. marfa Reply

    Bener sih untuk menghindari ketidakpuasan atau penipuan, sebagai konsumen memang perlu ngereview dulu penjual online dengan lihat track recordnya dulu, makan waktu agak lama sih tapidaripada nanti nggak bisa digunakan kan

  3. Nina Reply

    Wah ga nyaman banget kalau barang yang diterima ga sesuai ya mbk. Tapi daripada ribet, saya juga lebih memilih ikhlaskan aja.

  4. April Hamsa Reply

    Waks itu nyebelin banget baju yg dikirim gak sesuai aslinya.
    Kalau aku biasanya beli onlen di marketplace atau OS rerkomendasi tmn jd insyaAllah sudah terpercaya gtu.
    Kalau yg beli2 perorangan gak aku kenal masih agak2 ragu 😀

    • dian.ismyama Post authorReply

      Iya aq biasanya juga gitu Mbak. Ndilalah ini temen yang aku pikir ya dia biasa jualan online to. Niatnya nolong padahal

  5. zefy Reply

    Penting banget tuh jadi konsumen cerdas, apalagi kalau online. Kalau sudah dapat seperti foto di atas kan rugi bandar 😀

  6. Anita Makarame Reply

    Yang bikin miris, saya beli buku di teman yang kenal di salah satu acara literasi. Dan saat sampai ternyata palsu. Saya beli buku Ainun Habibie. Pas dikomplain dia bilang ga tau. Kok bisa sih? Ya udahlah karena males ribut & yang penting bisa dibaca, akhirnya ya udahlah.

    Trus kalau baju, saya jarang bgt beli online. Krn pernah beberapa kali beli dengan penjual yang banyak review positifnya. Barang yg dtg tetap saja tak sesuai gambaran. Kok tp reviewnya bagus2? Sampai dpt star seller atau ******* mall.
    Dikomplain bilangnya “kita ga akan nipu kak, harga juga kan cuma ****”
    Bukan hanya masalah harga, tapi kan ga sama kayak di foto & deskripsi.

    Semoga ke depan bisa lebih cerdas berbelanja. Makasih tipsnya kak.

    Eh, kok jadi curcol. Haha

  7. William Giovanni Reply

    Pernah juga mengalami pengalaman serupa, mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan yang tertera. Juga pernah antara kualitas yang dijanjinkan, ternyata baru beberapa kali penggunaan sudah tak bisa dipakai. Perlu cerdas dalam berbelanja dan memahami hak-hak sebagai konsumen.

  8. Ruli retno Reply

    Duh beda banget ya baju yg di pesan dengan yg dtg. Saya kalo lagi senggang biasanya saya ngadu. Tapi kalo sibuk. Mau gak mau nrimo. Tapi dalam hati kzl banget dan jelas gak akan mau balik order lagi. Semoga tulisan ini banyak yang baca dan jadi berani ngadu

  9. Tomi Purba Reply

    benar nih mba.. sekarang harus menjadi konsumen yang cerdas. harus waspada dan teliti saat berbelanja online apalagi waktu di Harbolnas hehe.. Mantab juga nih pemerintah ikut turun serta dalam pelayanan hak konsumen

  10. ruziana ina Reply

    baca ttg buku bajakan jd ingat saat acara bedah buku ayat ayat cinta di kota saya
    itu orang perpustakaan daerah malah tertipu buku palsu
    jadi buku ayat ayat cinta yg disodori ke kang abik buku bajakan
    kang abik bilang..itu palsu krn ga ada hologram
    duh..malunya panitia

  11. lendyagasshi Reply

    Mengenai salah model, aku kemariiin baru mengalami.
    Tapi ke penjahit langganan ssih..karena beliaunya ada uzur sehingga urusan menjahit, diserahkan pada tukang jahit kepercayaannya.

    Ternyata pas datang, eng-ing-eeng…gak kaya biasanya.
    Tangan kependekan, dan bagian bawahnya agak miring (gak simetris)

    Kecewa rasanya…

    Tapi mashaAllah…karena penjualnya amanah, jadi beliau menawarkan uang saya dikembalikan.
    Saya gak enak, tapi penjahitnya keukeuh.

    Aku doakan penjual yang amanah makin sukses usahanya.
    Aamiin.

  12. Tukang Jalan Jajan Reply

    Jangan beli kucing dalem karung dwh. Biasanya juga ada yang bisa pesen kalau ngga cocok ya dibalikin. Tapi yang paling penting, kudu rajin baca testimoni dan ricek ulang sih ya

  13. Diah Kusumastuti Reply

    Mbak Dian… Maaf aku kok ngakak ya liat foto baju yg di olshop sama yg dikiim itu. Jauh bangetttt bedanya. Hihihi. Iya emang rasa malas nih yg bikin gagal ngadu. Semoga ke depannya konsumen di Indonesia makin cerdas ya.

    • dian.ismyama Post authorReply

      Aduh Mbak aq bukan ngakak lagi, gemes pakai banget. Yang salah siapa kan sudah jelas ya. Untung berakhir dengan case closed

  14. Jiah Reply

    Sebagai konsumen kita memang harus bijak, berani komplain krn barang yg diterima tidak sesuai atau catat. Tapi yg kadang bikin sebel itu beli di toko offline dan ada tulisan barang yg dibeli tidak bisa dikembalikan/tukar. Asem ini

    • dian.ismyama Post authorReply

      Di toko offline mbak? Iya memang begitu ya seringnya.maksudnya ketika sudah memutuskan membeli ya berarti ga bisa diretur. Soalnya aku kejadian nih pas jaga apotek pernah gitu, udah beli salep eh minta dibalikin padahal udah dibuka salepnya:( akhirnya bikin kebijakan ga bisa retur

  15. lizafathia Reply

    Iiih, aku pernah juga kejadian kek gitu mbak ismy, yang aku pesan beda banget sama yang dipajang di olshop itu. Yup, kita haarus menjadi konsumen bijak

  16. Dwi Ananta Reply

    Kunci belanja online memang kudu teliti, kalau perlu ditelusuri dulu rekam jejaknya (apaan! Hehehe). Terus kalau pesanan tidak sesuai kudu berani protes jangan dipendam dalam hati nanti jadi penyakit ?

  17. Nova Violita Reply

    Selain konsumennya yang harus cerdas..menjadi penjual juga harus bisa dipercaya konsumen.

    Deskripsi barang juga harus sesuai..real..

    Nah ..pembeli juga cerdas..kalo kebanyakan diskon atau harga terlalu murah..patut dicurigai..jangB2 ada cacat dan kw

  18. Nurul Fitri Fatkhani Reply

    Nyesek banget ya, kalau sampe barang yang kita pesan tidak sesuai dengan pesanan. Buku bajakan sama baju yang datang, bedanya jauh sekali ya…
    Seharusnya penjual mau bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published.