Rumah-rumah panggung berusia ratusan tahun berjejer rapi. Kayunya berwarna cokelat tua, besar dan kuat. Bunga-bunga berwarna kuning, merah, pink dan ungu menghiasi tepian jalan di sepanjang Kampung Gedung Batin. Waktu seolah berhenti dan tak pernah berubah di tempat ini. Masa lalu, masa kini dan masa depan berjalan beriringan membentuk simfoni indah nan abadi.
Tabik Pun! Mungkin banyak yang nggak tahu kalau saya keturunan Lampung. Papa saya lahir di Teluk Betung, dan beliau berdarah Arab-Lampung (plis jangan tanya kenapa hidung saya nggak mancung ya, haha). Saya berkali-kali mudik ke Lampung saat lebaran. saudara saya dari pihak Papa tersebar seantero Bandar Lampung, Tanjung karang, Metro, Kalianda, Kotabumi, dan masih banyak lagi. Jadi kalau hari raya Idul Fitri, seminggu di Lampung masih kurang rasanya buat muterin rumah saudara. Oleh karena itu, ketika ke Lampung, jarang bisa mengunjungi tempat wisatanya. Apalagi musim libur gitu, wuih ramai sekali.
Sungguh beruntung, Desember lalu, saya dapat ikut dalam open trip Lampung bersama 11 traveler dari Jakarta, Bandung, Cilegon, hingga Palembang. Saya sih belum kenal sama mereka semua, cuma satu orang yang saya kenal yaitu Mbak Katerina, travel blogger hits, tapi berangkat tanpa clue akan teman-teman sama sekali nggak menyurutkan niat saya untuk eksplor Lampung. Justru makin bagus kalau banyak yang belum kenal, jadi nambah saudara kan? Saya berangkat dari Jogja tanggal 22 Desember penerbangan pukul 17.00 wib, dan ternyata delay bo, sampai 2 jam.
Pesawat baru berangkat jam 7 malam lebih, dan sampailah di Bandara Radin Inten II jam setengah 9 malam. Lumayan banget kan nunggu di bandaranya?
Untunglah nggak berapa lama, Kak Ijah, sepupu saya sudah menjemput bersama suami dan anaknya. Saya memang berencana akan menginap di rumah beliau di Bandar Lampung. Perjalanan dari bandara yang berlokasi di Natar, Lampung Selatan menuju Bandar Lampung membutuhkan waktu hampir 45 menit. Kami mampir terlebih dahulu ke penyetan pecel lele, tahu aja kalau saya kelaperan. Di bandara ada sih café yang buka, tapi coffee shop gitu sama cake (kalau roti sih saya bawa, dan dapat di pesawat juga), sementara warung yang isinya makan besar macam DFC (versi lokalnya KFC) udah tutup, hiks.
Nah, di pecel lele yang katanya terkenal itu, sayang menu bebeknya sudah habis. Menu burung dan ayam juga tinggal beberapa. Ternyata memang ramai banget lho, bahkan pengunjung setelah kami sudah nggak kebagian lauk apapun. Saya dan keluarga sepupu masih kebagian lele goreng, sambal, lalapan, dan terong goreng, yeay! Saya makan lahap sekali karena memang lapar, hehe.
Alhamdulillah setelah makan jadi lumayan bisa mikir dan mengantuk kembali. Ketika sampai di Bandar Lampung, Kak Ijah sempat membawa saya melihat-lihat beberapa kamar di Bait Sa’da, kos eksekutif dan hotel yang dimilikinya.
Saya terkesan dengan kepiawaian Kak Ijah dalam mendesain penginapan tersebut. Ya, saudara saya sendiri lho yang mendesain bangunan beserta setiap inci detailnya. Tadinya tempat tersebut adalah rumah dari papan yang biasa kami inapi ketika mudik, nggak sampai setahun sudah berubah menjadi penginapan yang elegan dan mewah. Teman-teman harus naik sampai ke roof top- nya nih, pemandangan malam harinya cantik banget. Katanya, saat sunrise juga indah banget kalau dilihat dari lantai atas. Seusai berkeliling hotel Bait Sa’da sayapun ke rumah Kak Ijah yang terletak di belakang hotel.
Yup, hotel ini besok akan dipenuhi oleh rombongan dari Jakarta, sehingga sudah mulai dibereskan. Saya pun tidur di kamar Shifa, anak Kak Ijah yang sedang kuliah di Jogja. Sebelum tidur saya sempatkan mandi terlebih dahulu karena berasa lengket banget. Begitu kepala menyentuh bantal, tiba-tiba saja saya sudah terlelap.
Pagi harinya, saya terbangun pukul 6.00 wib, sementara saya janjian dengan Mbak Ika (tour leader) jam 7 pagi di stasiun. Saya yang masih merasa segar memutuskan untuk nggak mandi, sehingga hanya cuci muka, sikat gigi dan ganti baju saja. Kak Ijah sudah memanggil-manggil saya untuk segera sarapan. Saya pun menyelesaikan packing terlebih dahulu baru turun untuk sarapan. Alhamdulillah secangkir teh manis dan sepiring nasi uduk terhidang di depan mata. Aroma gurih memancar dari nasi, yummy perut saya terasa kenyang sekali. Setelah itu, saya diantar oleh Kak Ijah dan suami menuju stasiun.
Sampai di stasiun, sudah ada Ega yang datang dari Palembang sejak sehari sebelumnya, kemudian ada Mbak Ika, dan ada Ardi yang nanti akan menyetir kendaraan kami, beserta dua sopir lainnya. Kamipun segera berangkat menuju bandara karena teman-teman sudah mulai sampai di Raden Inten II.
Mobil BKKBN melaju dengan gagahnya, perjalanan alhamdulillah ramai lancar dan kami sampai di bandara kurang lebih 45 menit kemudian. Ternyata traveler lainnya sudah duduk santai di salah satu restoran bandara. Mereka sempat sarapan terlebih dahulu.
Seharusnya kami langsung menuju Way Kanan, tapi ada musibah yang menghampiri salah satu peserta, yaitu Mbak Rien. Pesawatnya baru siap-siap mau terbang, mesin sudah menyala, baling-baling sudah berputar, eh tiba-tiba dimatikan dan penumpang diminta turun. Ada kendala teknis sehingga pesawat harus dicek terlebih dahulu. Mbak Rien dijadwalkan sampai di Lampung pukul 8.40 wib, tetapi akhirnya baru bisa tiba pukul 10.45 wib.
Sambil menunggu Mbak Rien, kami menyempatkan foto-foto terlebih dahulu di spot terkenal di Radin Inten II.
Begitu beliau sampai, mobil kami pun segera melaju dengan kecepatan penuh. Jarak dari bandara ke Way Kanan lumayan jauh, kabarnya memakan waktu 4-5 jam. Benar saja, kami tiba di gerbang Way Kanan pukul 15.00 wib, dan masih belum sampai di homestay Gedung Batin. Kurang lebih jam setengah 4 sore, tibalah kami di Kampung Wisata Gedung Batin. Saya terkagum-kagum dengan arsitektur rumah tua berusia ratusan tahun yang berada di Gedung Batin.
Setiap rumah terbuat dari kayu yang dari jauh saja sudah terlihat kokoh. Kayunya berwarna cokelat tua, dan kehitaman, menandakan memang kayu yang kuat dan tidak ringkih. Bentuk rumahnya berupa panggung, dengan palang dan tiang yang besar. Anak tangga bersusun di sebelah kanan rumah, tampak anggun untuk dilewati.
Saat turun dari mobil, gerimis menyambut. Kami langsung menaruh ransel dan barang bawaan ke rumah Pak Ali. Tak berapa lama, Mbak Ika dan Mbak Rien sudah mengomando untuk ke rumah seberang menyantap makan siang kami yang molor.
Makan siang istimewa dengan Pijok-pijok
Ketika di perjalanan, Mbak Rien sudah beberapa kali menceritakan soal tradisi pijok-pijok, yaitu membuat sambal dengan cara diulek menggunakan tangan. Resep awalnya adalah cabai, tomat, rampai (mirip tomat tetapi bundar dan endemik di Sumatera/Kalimantan/Semenanjung Malaka saja), garam, dan asam kandis.
Tetapi karena asam kandis mulai jarang ditemukan dan kurang praktis, maka dapat diganti dengan tempoyak (fermentasi durian). Oleh karena itu, kemarin isi sambal untuk kami ada tomat, garam, cabai, sambal terasi, tempoyak, terong, dan ikan.
Rasanya gimana? Kalau menurut saya sih rasanya enak. Perpaduan pedas, gurih, dan ada satu rasa yang tidak dapat digambarkan=D. Ibu pemilik rumah mengulek sendiri sambal tersebut dengan tangannya. Begitu terampil ia mengambil satu per satu bahan, meletakkannya dalam piring, lalu mulai meremas-remasnya perlahan menggunakan ujung jari-jarinya. Kadang ia menambahkan sedikit air, lalu sejumput garam, agar sambal lebih mudah di lumatkan. Air memang keluar dari tomat dan terong, tapi tetap saja butuh tambahan dari luar.
Setelah sambalnya jadi, kami diminta mencicipinya. Tentu saja sebelumnya, perut saya yang keroncongan, sudah terlebih dahulu mengisyaratkan tangan untuk mengambil nasi, lauk, sayur dan lalapan.
Lauknya berupa ikan, dan sayurnya adalah lodeh. Ikan di sini diambil langsung dari sungai sebelah lho. Ikannya kecil-kecil, dan mempunyai banyak duri. Meski hanya di goreng, tapi, sama sekali nggak amis lho. Yang tak kalah seru adalah lalapannya. Ada beberapa jenis lalap yang baru saya lihat sekarang, yaitu rebusan jantung pisang, dan daun kencur. Saya sih suka banget sama jantung pisangnya, rasanya mirip dengan rebusan gori (nangka), sayur kesukaan saya.
Untuk daun kencurnya di lidah saya kurang cocok, berasa makan kencur gitu tapi lebih pahit, kayak makan daun beneran lah, hehe. Lodeh sendiri merupakan salah satu sayur kegemaran saya, tak tanggung-tanggung saya mengambil banyak jagung, kacang dan gori untuk disantap bersama ikan dan pijok-pijok. Semuanya bercampur dengan istimewa di lidah saya. Pijok-pijok sendiri sambalnya terasa pedas di lidah, sehingga mudah hilang. Tidak seperti jenis sambal lain yang terasa hingga ke perut atau tenggorokan.
Oh ya, katanya zaman dahulu, pijok-pijok merupakan tradisi yang hanya dilakukan oleh bangsawan. Tak sembarang orang dapat membuat pijok-pijok, hanya mereka yang berdarah biru saja. Mengapa? Berdasar informasi dari Wan Yazed (Sekretaris Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Way Kanan), pijok-pijok dalam perkembangannya memang menjadi ekslusif, dikarenakan dibutuhkan banyak piring untuk melengkapi menunya.
Nah, zaman dulu, piring keramik didapat dari pedagang China, sehingga harganya mahal. Oleh sebab itu, hanya bangsawan sajalah yang mampu membelinya, sekaligus sanggup menjamu tamu dengan menu pijok-pijok beserta varian lainnya. Tapi kini semua lapisan masyarakat sudah dapat menikmatinya, makanya saya dan teman-teman merasa beruntung sekali ya bisa sampai di Way Kanan dan menyantap sambal dari pijok-pijok.
Sejarah Rumah Tradisional Lampung di Gedung Batin
Kembali ke Gedung Batin, saya penasaran dengan sejarah rumah adat Lampung di sini. Menurut Wan Yazed, arsitektur original rumah tradisional Lampung, khususnya Way Kanan, berbentuk panggung, berupa kubus berukuran 12×12 meter. Pada bagian dasarnya terdapat palang mendatar 12 meter yang tidak terputus dan berbentuk heksagonal. Rumah paling tua di Gedung Batin berdiri pada tahun 1741.
Untuk rumah Bu Lurah sendiri, sudah ada sejak tahun 1910, sementara rumah Pak Ali Bakri yang kami tempati, berdiri di tahun 1810. Rumah Pak Ali sudah dua kali diperluas, yaitu pada tahun 1900-an ke arah depan menambah teras (kurang lebih 2 meter) dan ke belakang menambah kamar serta beranda kecil. Perluasan dilakukan dengan menambah 1 tiang kecil ke depan (lihat sambungan palang datar hexagonal dengan palang persegi empat yang lebih kecil di depannya).
Rumah Pak Ali Bakri. Foto by @rinto_macho
Mengapa rumah tradisional Lampung di Gedung Batin dapat bertahan selama ratusan tahun? Kayunya bahkan tidak lapuk dan dimakan rayap lho. Hal ini dikarenakan kayu yang digunakan bagus, hingga dapat bertahan beberapa generasi. Tiang kayu yang hitam berasal dari kayu “Tampang”.
Menurut informasi dari Wan Yazed, kandungan mineral dan logamnya lah yang mengakibatkan kayu Tampang keras, tidak dapat dibentuk, tetapi tahan ratusan tahun di dalam tanah. Oleh karena itu, pilihan terbaik untuk tiang rumah tradisional Lampung jatuh pada kayu Tampang hitam tersebut.
Sedangkan palang datar 12 meternya berasal dari kayu Bnatan. Zaman dulu sebelum ada beton, bantalan rel kereta api sebagian besar merupakan kayu Bnatan, dan sebagian lainnya dari kayu Trembesu. Jadi, untuk palang panjang 12×12 meter ini selalu menggunakan kayu Bnatan, karena kekuatannya juga terjamin.
Setiap rumah di sini memiliki nama, seperti rumah Pak Ali, disebut sebagai “Numa Benawa” (Rumah Kapal). Unik ya? Kalau menilik bagian dalam rumah di Gedung Batin, sangat luas lho. Ya iyalah 12×12 meter gitu.
Bagian depan sendiri terdiri dari ruang tamu merangkap teras, yang kanan kirinya bolong gitu, semacam balkon dengan ukuran yang besar. Di bagian depan, ada satu kamar yang kemarin digunakan oleh para traveler laki-laki.
Sementara itu, yang perempuan tidur beramai-ramai di ruangan dalam yang luasnya hampir dua kali ruang tamu. Di sana seperti ruang keluarga, merangkap ada musalanya juga.
Di bagian belakang ada dapur dan ruang makan. Ada juga kamar mandi di dekat dapur (semacam tempat penampungan air untuk keperluan memasak dan mencuci. Cmiiw), dan beranda lagi untuk menjemur baju. Untuk kamar mandi yang lebih luas dan ada closetnya, letaknya terpisah dari rumah utama, yaitu di belakang rumah Pak Ali, sehingga jika kami ingin ke kemar mandi ya keluar dulu lewat pintu depan, atau lewat pintu belakang.
Kalau malam hari lumayan horror juga sih, hehe, tapi kamar mandinya bersih dan luas kok. Ya, memang rumah Pak Ali sudah ditunjuk menjadi homestay bila ada wisatawan datang menginap di Gedung Batin, sehingga fasilitasnya pun sudah dibuat layak. Bu Ali bahkan menyiapkan teh, kopi, dan sarapan pagi untuk kami.
Mari sarapan
Jadi, semuanya sudah disepakati sebagai bagian dari trip ke Gedung Batin. Saya senangnya karena Pak Ali, Bu Ali, dan Ayu (penggiat wisata yang aktif, khususnya di Gedung Batin sekaligus pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) ramah kepada kami.
Cewek-cewek traveler bersama Ayu (jilbab abu-abu). Foto by @rinto_macho
Oh ya, di rumah Pak Ali dan rumah lainnya di Gedung Batin juga banyak kucing lho, hehe, kata Ayu orang sana memang suka memelihara kucing. Saya sebenarnya tidak begitu suka kucing (dulunya pernah trauma dicakar kucing), tapi kucing-kucing di Gedung Batin kucu-lucu, bersih, dan nggak nakal kok. Anak kucingnya bahkan ada yang tidur di tengah-tengah traveler perempuan, haha.
Yang menarik, ternyata rumah di Gedung Batin diturunkan dari ayah ke anak laki-laki pertama. Artinya, Pak Ali adalah anak laki-laki pertama di keluarganya. Kalau nggak ada anak laki-laki, maka rumah tersebut diturunkan ke anak paman, boleh juga adopsi anak.
Di Way Kanan, ada istilah sesan, kalo anak laki-laki menikah maka ada sesan, kayak seserahan gitu. Misal calon mempelai pria memberikan 50 juta yang akan dibelanjakan perabot oleh si calon istri. Kemudian nanti perabotnya di bawa lagi ke rumah mertuanya tadi, atau rumah anak pertama laki-laki. Intinya sih, kalau di rumah mertua banyak perabot, biasanya rumah tersebut sudah menjadi milik anak laki-laki pertamanya.
Bertemu dengan Wakil Bupati Way Kanan dan Menikmati Pisaan (Puisi Lampung)
Dari kiri ke kanan: Wan Yazed (@rinto_macho), Bapak Edward Antony Wakil Bupati Way Kanan, Mbak Katerina (@travelerien)
Saat menginap di Gedung Batin, ndilalah Pak Wakil Bupati Way Kanan DR. Drs. H. Edward Antony, M. M. datang untuk berbincang tentang sejarah, budaya dan pariwisata dengan kami, sungguh sebuah kehormatan. Beliau sempat menjelaskan mengenai sejarah Gedung Batin, dan Way Kanan. Beliau juga menceritakan harapan-harapannya terkait pariwisata di Way Kanan, serta Gedung Batin pada khususnya.
Mata pencaharian utama penduduk Way Kanan adalah bertani dan berkebun, tapi akhir-akhir ini memang nilai karet (sebagai salah satu hasil perkebunan) turun. Mau tak mau, pemerintah mulai melirik sektor lain, dan dengan potensi Way Kanan dalam bidang pariwisata, maka pemerintah bersama dengan masyarakat Way Kanan perlahan meningkatkan potensi ini. Termasuk memperbaiki fasilitas, serta SDM yang ada di Way Kanan. Beliau sangat senang ketika kami datang, karena diharapkan secara tidak langsung akan mempromosikan Way Kanan ke orang luar.
Alhamdulillah mulai banyak wisatawan yang datang ke Gedung Batin, baik dari manca negara maupun domestik. Pak Wakil Bupati juga menerima masukan dari teman-teman para traveler mengenai hal-hal apa saja yang dapat ditingkatkan untuk mendukung wisata di Way Kanan, termasuk Gedung Batin.
Sebelum mengobrol dengan beliau, kami sempat menikmati Pisaan yaitu puisi Lampung. Puisi ini menggunakan bahasa asli Lampung dan diiringi dengan gitar tunggal. Nada puisi begitu sendu dan menyayat hati, entahlah apa artinya.
Dalam sesi ramah-tamah ini, kami dijamu dengan cemilan tradisional seperti jagung rebus, kacang rebus, lepet, dan yang pasti kopi Lampung. Sungguh suasana yang nyaman, akrab dan menyenangkan.
Makam Tua sejak Tahun 1305
Di belakang rumah Pak Ali, terdapat sebuah makam tua. Makam ini ditemukan secara tak sengaja melalui mimpi seorang warga Gedung Batin. Ia diberitahu bahwa ada makam di sekitar tempat yang ditunjukkan dalam mimpi. Ketika ditelusuri dan digali, ditemukan lah nisan di atas.
Berdasar tulisan yang ada di makam, pemilik nisan bernama Siti Fatimah. Dikabarkan, Siti Fatimah adalah mualaf keturunan Belanda. Katanya, disekitar makam Siti Fatimah, masih banyak makam pengikutnya, tetapi masyarakat Gedung Batin tidak tahu di sebelah mana saja lokasinya. Wah saya jadi merinding disko nih, hehe. Nisannya saja menggunakan huruf arab gundul lho. Baru kali ini saya melihat makam tua dari jarak sedekat ini.
Berfoto Menggunakan Tapis Lampung
Foto by @travelerien
Tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung dan terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak, atau benang emas dengan sistem sulam.
Jenis tapis ini bermacam-macam menurut asal pemakainya dan siapa pemakainya. Motif dan warna keemasannya memang indah dipandang, dan saat dipakai lumayan berat lho, hehe. Tapis Lampung yang saya pakai dalam foto bermotif Pucuk Rebung. Teman-teman dapat berfoto memakai Tapis di rumah tradisional Gedung Batin, ataupun di rakit bambu di lokasi rafting. Seru banget kan?
Menikmati kabut pagi di Gedung Batin. Foto by @travelerien
Pengalaman menginap di rumah tradisional Lampung memang membuat saya jatuh hati. Banyak perabotan yang bersejarah juga. Oh ya, selain menikmati rumah tua, menyantap pijok-pijok dan melihat makam tua, di Gedung Batin teman-teman dapat berpetualang di Sungai Way Besay, yaitu ber- bamboo rafting.
Open trip yang saya ikuti ini lamanya tiga hari dua malam, dengan biaya sebesar 767.000 rupiah/orang, terdiri dari 467.000 rupiah/orang untuk paket wisata di Way Kanan (Gedung Batin, bamboo rafting, menyusuri mini Bali di Desa Bali Sadhar, trail adventure air terjun Putri Malu). Sisanya merupakan biaya sewa mobil 3 hari, makan, penginapan dan paket wisata di Lampung Timur (Taman Nasional Way Kambas, Desa Wisata Braja Harjosari). Semuanya dikelola oleh Pokdarwis, masyarakat, dan Dinas Pariwisata Way Kanan dan Lampung Timur.
Kalau boleh memberi saran, mungkin ke depannya bisa disiapkan leaflet berupa penjelasan lengkap mengenai sejarah, dan budaya di Gedung Batin, termasuk tradisi di Way Kanan, sehingga wisatawan bisa membaca langsung dari leaflet tersebut. Lebih bagus lagi kalau dibuat dalam bilingual, dengan kata lain ada Bahasa Inggrisnya juga.
Selain itu, untuk penggiat wisata atau tour leader -nya juga memahami hingga di luar kepala tentang sejarah dan tradisi tadi, sehingga ketika ada pelancong yang bertanya, maka mereka mampu menjawab dengan baik. Bisa sih Pokdarwis melatih beberapa tour guide seperti yang saya temui saat menjelajahi kawasan Petungkriyono di Pekalongan. Jadi, tour guide memang khusus mendampingi tamu baik domestik maupun dari mancanegara.
Saya berharap wisata di Gedung Batin dapat terus berkembang, dan gaungnya hingga keluar Indonesia. Aamiin:)
Keseruan bamboo rafting akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya ya:)
wiihh seru bangett…
kemarin itu ada trip barengan atau ambil trip di agen tour gitu mba di?
trip rame2 dari pokdarwis way kanan
Saya membayangkan membuat pijok-pijok, apa gak panas tangannya ya, Mbak? Tapi saya penasaran juga sama rasanya 🙂
iya aku juga penasaran panas nggak ya tangannya, kemarin nggak nanya euy sama ibunya
Wah seru banget nih explore lampungnya.. Selalu penasaran sama rasa tempoyak, dan abis baca ini jadi pengen cobain sambel pijok pijok juga.. Khas lampung banget berarti yaaaa
Hihi, seru kan kulinernya, moga berkesempatan ke sini ya
aku sellau penasaarn dengan rumah adat di indonesia selalu punay filosofinya
Benar Mbak, ada tradisi tertentu
Aku belom pernah coba nih. Jadi pengen
Ayok nabung dulu, terus rame-rame
Kangen ngetrip rame-rame ey..wah rumahnya unik dan antik bangeet..
Saya saja masih mau lagi ke sana..:)
Mbak, itu kalo mau jalan-jalan ke sana sendirian, maksudnya, nggak pakai travel agent bisa, gak? Tempatnya asik kayaknya buat relaksasi.
Ini kerjasama sama Pokdarwisnya, jadi langsung sama pemerintah
Lampung merupakan salah sstu propinsi menarikkk..
Bahasnaya agak melayu melayu kan yah Mbak hehrhehe..
Kopi Lampung terkenal juga kann..
Duh makanannya bikin laparrrr
iya memang ada melayunya. banyak kebun kopinya di sana:)
Wah… Keren banget mbak…. Rasanya pengen pergi ke sana….
ayo open trip juga lebih murmer
Boleh… Hehehe
mantap dah bu…. mudah-mudahan ada kesempatan
Aamiin moga bisa ke sana ya
Kebetulan nenek aku tinggal di lampung, dulu sering mudik ke lampung tapi sayang nggak pernah explore lampung. Duh, kok jd merasa merugi sekarang hahaha
Sama Mbak, akupun berkali-kali mudik ke Lampung ga pernah eksplor, baru kesampaian kemarin
Mungkin kalau di masyarakat bugis ini dikenal sebagai rumah panggung ya mbak..
Sungguh pengalaman yang menarik bisa menginap di rumah tradisional Lampung ^^
benar ini rumah panggung Mas
Tulisan yg luar biasa rinci. Mbaca ini jadi kangen sama Gedung Batin
Yuk Annie, ayo kesna lagi=)
Aku suka dengan foto-fotonya mbak, bagus ih. Tulisan mbak yang keren jadi makin keren. Aku ada teman dari Lampung, dia dipanggil batin, eh ternyata itu nama gedung toh
Ngomong-ngomong kenapa hidungnya ga mancung mbak? ehheheeeee
hehe thanks Mbak.. itu ada foto2 Mbak Katerina juga sama ada foto dari Dinas Pariwisata nya sana. iya, karena idungku niru idung ibuku yang dari Bangka. haha
Sambal pijok-pijoknya bijin aku galfok, hebat bgt ibu yg buatnya, duh tangannya apa gak panas ya pas ngulek cabainy.
Wah aku blm pernah ke Lampung, hrus coba nih wisata lampung, gedung batinnya juga menarik bgt, khas banget ya rumahnya, desainnya masih dipertahankan untuk melestarikan kebudayaan daerah .
haha iya entahlah panas ga tangannya Mbak. Benar Mbak, tahu ga kalau tadinya udah nyaris dirobohkan lho, untung nggak jadi karena bisa buat potensi wisata
Waah ..senangnya yang bisa jalan-jalan ke Lampung.
Penasaran dengan rasa pijok-pijoknya, kayaknya enak banget ya….soalnya ada tempoyaknya juga…heem..yummy, deh!
Bangunan disana awet-awet juga ya…bisa sampai ratusan tahun. Kayunya kuat sekali.
iya aku juga penasaran pas dikasih tahu ada tempoyaknya, tapi suer ga berasa durian lho
Sebelumnya kukira Gedung Batin itu nama bangunannya, ternyata kaya nama tempat wisata gitu ya? Keren banget Mbak bisa jalan2 ke sini. Wisata sejarah ke rumah tradisional seperti ini berasa ke museum hidup. Semoga Lampung terus mempertahankan warisan budaya ini.
bener, itu nama desanya. Ayok Rindang ksni lah
rumah kayu adem banget ya
apalagi yg udah ratusan tahun
dulu nenek buyut punya rumah kayu
ga perlu kipas angin
karena tidur di lantai aja udah nyaman dan ga bikin rematik
beberapa kali baca ttg gedung batin jd penasaran jg pengin ke sana
iya kayunya bikin adem mba.. ga kerasa panas lah pokoknya
Rumah panggung gitu…adem loh..walau tanpa AC sirkulasi udara lancar..jadi lebih sehat…
Hmmm jadi pengen nyicipi ..sambal pijok2..
benar Mbak, ga pakai AC tapi malam dingin. pagi hari juga dingin, hawanya masih bersih.
Kepingin nyoba pijok pijoknya. Tapi lebih ingin dapet suasana ‘lokal’ kaya gitu. Rumah kayu, jalan sepi. Aduhh.
hihi seru kan? Ayok kesni deh sama keluarga atau teman-teman. Bisa kukasih kontaknya
DAri lama banget aku pengen ke Lampung, jalan-jalan ke Lampung tapi sekarang cuma bisa baca post Mbak-nya mudah-mudahan nanti-nanti bisa ikutan ke Lampung juga! Terus itu kain tapisnya bagus banget kusukaa! AAAAA Hotelnya juga oke :”)
hihi, semoga manfaat ya. Ikutan senang, iya langsung cuzz ke sini, agendakan
wah ternyata di lampung masih ada rumah tradisional yang terjaga dengan rapih ya apalagi disana ada juga makam tua yang umurnya sudah sangat lama banget penasaran kalo kesana langsung kayanya seru
bener, menjejakkan kaki langsung di rumah tua, bahkan tidur di dalamnya, seru:)
Beneerr..
Pengalaman tak terlupakan bila bisa travelling mengenal kebudayaan Indonesia Kaya.
Dan yang unik tentu selain kebudayaan, juga kulinerannya yaa..
((sambil membayangkan kencur jadi lalap…kalo di Bandung, jadi bumbu seblak?))
iya unik, kan? Indonesia itu kaya lho budayanya. Haha bumbu seblak ya
Sambal diulek pake tangan, gak panas apa tangannya. Aku mgkn gak nyoba deh soalnya sering pegang mata, hehehe
Rumah adatnya bneran awetnya pdhal dari kayu. Kalo bkn kayu pilihan, cepet ambruk itu mah
haha, cobain nguleknya juga kalau ke sini, Jiah. Iya awet bener lah, kayu zaman dulu
duh, pijok2nya jadi kepengen cobain ih. waktu ke sana gak sempet cobain makanan khasnya. sedih :((((
berarti harus ke sana lagi nih:)
Seru banget bisa menikmati suasana kampung dan alamnya. Menikmati interaksi warga dan belajar adat budaya pasti menyenangkan. Semoga makin banyak desa wisata yang tumbuh dan berkembang di Indonesia
Seru, nggak bisa digambarkan lah, yang jelas jauh dari suara bising kendaraan, hingar bingar kota. Aamiin semoga makin banyak desa wisata kayak gini ya
Seru banget ya Mbak jalan-jalannya ke Lampung. Sambal pijok-pijoknya bikin penasaran, giamana ya rasanya? Trus daun kencur, hihihi… saya ngebayanginnya juga gak enak 😀
Btw rumah-rumah dan nisannya itu tambah bikin penasaran. Suasananya pasti beda banget ya kalau berdiam di rumah-rumah tradisional itu. Hemm… budaya Indonesia memang kaya banget, ya.
Iya Mbak semuanya berkesan nih, serba tradsional. Anyway ada yang doyan lho daun kencurnya, hehe
Terimakasih berkenan berkunjung ke kampung kami… semoga berkesan tak terlupakan 🙂
Padahal kakek nenek saya tinggal di Lampung.. Tpi belum pernah menginjakkan kaki kesana.. Jadi semakin kepengen berkunjung ke Lampung nih..