“Beri hati ruang agar kau dapat merasakan cinta. Beri pikiran jarak agar kau dapat memahami bahasa cinta”- @dian_ismyama-
Genre: Drama
Duration: 110 minute
Sinopsis: Rahmat, seorang jurnalis di Majalah Republik. Sosoknya yang dingin dan cenderung sinis membuat ia tidak memiliki banyak teman, kecuali Adhin sang fotografer. Suatu ketika Rahmat mendapat kabar bahwa ibunya meninggal dunia, ia pun harus pulang ke Ciamis, setelah 10 tahun ia pergi dan belum pernah satu kalipun kembali karena persoalan di masa lalu. di Ciamis Rahmat bertemu kembali dengan Yasna, sahabat kecil yang diam-diam masih ia kagumi hingga saat ini.
Usai pemakaman ibunya, Rahmat bermaksud kembali ke Jakarta, namun ia mendapat informasi bahwa ayahnya Ki Zainal akan melakukan longmarch bersama para santri dari Ciamis untuk mengikuti aksi pada tanggal 2 Desember 2016. Hubungan Rahmat dan Ki Zainal diketahui sangat tidak harmonis, ia menganggap Rahmat seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab.
Rahmat berupaya menggagalkan niat ayahnya, karena khawatir aksi tersebut akan memicu kerusuhan serta menimbulkan korban jiwa seperti peristiwa aksi 98. Berhasilkah upaya Rahmat, atau ia justru terjebak dalam aksi tersebut ? lalu bagaimanakah akhir hubungan antara Rahmat, Ki Zainal dan Yasna?
Distributor: Warna Pictures
Producer: Helvy Tiana Rosa, Jastis Arimba
Director: Jastis Ari
Writer: Ali Eunoia, Jastis Arimba
Cast: Fauzi Baadila, Humaidi Abas, Adhin Abdul Hakim, Hamas Syahid, Meyda Sefira, Asma Nadia, Roni Dozer
#PutihkanBioskop! Merupakan tagline untuk mengajak alumni 212, orang muslim, dan penikmat film untuk menonton 212, The Power of Love. Saya dan suami tak ketinggalan untuk memutihkan bioskop. Didorong dari rasa penasaran karena salah satu pemeran filmnya adalah teman dari adik saya. Dan pemeran utama cowok merupakan aktor kesukaan saya. Jadinya saya dan suami bela-belain meninggalkan anak-anak di malam hari buat kencan berdua.
Apakah Film 212 cocok untuk pasangan suami istri? Jelas dong. Ini film keluarga. Tentang hubungan anak dan orangtua. Suami istri kudu nonton film ini deh.
Jadi kalau ada yang mengira film ini mengajak untuk demo, mengajarkan untuk radikal, ups salah besar! Coba deh nonton dulu filmnya, baru komentar.
Terus terang saya sendiri nggak ikut aksi 212 di Jakarta. Saya hanya melihat beritanya dari televisi. Tapi saya salut dan bangga terhadap umat Islam yang konsisten dan berhasil menjaga kedamaian selama aksi. Makanya saya mengapresiasi Film 212 ini. Saya ingin melihat bagaimana pandangan umat Muslim yang melakukan aksi 212 mengenai iman. Mengenai apa alasan dibalik keikutsertaan mereka dalam aksi 212. Dan semuanya terjawab di film ini:)
Lanjut ke review Film 212 yuk.
Akting Aktor dan Aktris di Film 212
Fauzi Baadila memang akting sengaknya dapat banget. Dia tipe yang cocok jadi pemeran antagonis. Tapi di film ini, Fauzi alias Rahmat menjadi antagonis karena ada sebabnya. Saya sampai membayangkan kalau ketemu jurnalis yang gayanya ngeselin dan jutek begitu. Buset deh, sebagai blogger, saya lebih baik ngumpet.
Tokoh Rahmat memang cocok menjadi jurnalis di Jakarta. Jakarta itu keras bro! Kalau kamu nggak sama kerasnya, bisa ditindas orang. Rahmat yang sekeras itu aja masih sempat jadi korban pemukulan, hiks (semoga nggak spoiler ya).
Saya pertama kali melihat akting Hamas Syahid di film Duka Sedalam Cinta. Di film tersebut, saya merasa aktingnya kurang maksimal. Atau mungkin karena perannya yang kurang menantang. Tapi di Film 212, saya berpikir sebaliknya. Abrar diperankan oleh Hamas dengan baik. Karakternya pun kuat.
Bagaimana dengan Meyda Sefira? Karakter Yasna juga dibawakan dengan bagus. Akting Meyda benar-benar bertumbuh dibanding film pertamanya. Ada satu adegan yang saya sukai yaitu ketika Yasna mencegah pengeroyokan terhadap Rahmat. Totalitas Meyda dalam memerankan Yasna terlihat di situ.
Nah, sekarang saya mau komentar tentang aktor baru Adhin Abdul Hakim yang dikenal melalui debut iklan Google “Dia”. Adhin didaulat sebagai Adin (wehehe namanya sama dengan nama aslinya). Penampilan Adhin memang sangar. Terutama karena rambut dan jenggot gondrongnya. Tapi begitu dia bersuara, glodak, kurang ngebas:D.
Untung perannya sebagai fotografer memang berkarakter seperti itu. Penampakan kayak preman, tapi hati selembut kapas. Meminjam istilah dari Film 212, Adin itu menganggap dirinya RADIKALIS ROMANTIS:).
Plot (Alur Cerita)
Awalnya, saya nggak berani berekspektasi tinggi, karena saya pikir jalan ceritanya bakal datar-datar aja. Ternyata nggak lho! Ada momen dimana saya ketawa, mengernyitkan dahi, sampai menangis!
Biasanya film drama itu plotnya cenderung lambat. Memang sih Film 212 ini tidak memberikan ketegangan sepanjang cerita. Tapi menurut saya alurnya sudah rapi dan tiap adegan sarat makna.
Film 212 juga dibuka dengan konflik. Rahmat yang jurnalis menulis artikel bahwa agama ditunggangi politik. Rahmat apatis terhadap Islam. Dan itu tercermin dari tulisan-tulisan dan kalimat-kalimat yang dilontarkannya. Saya jadi ingat sebuah teori psikologi bahwa emosi dan perilaku seseorang itu dipengaruhi oleh kognitif yaitu pikirannya. Jadi kalau ingin mengontrol emosi dan perilaku kita, ya pikiran dulu yang dikontrol. Ya pikiran dulu yang dibenahi.
Adegan Paling Berkesan
Ada banyak adegan yang menancap di benak saya (semoga nggak spoiler). Misalnya saat Ibunda Rahmat meninggal dunia. Rahmat datang ke rumah, memasuki ruangan dimana ibunya sudah terbujur kaku. Adegan itu semakin dramatis dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibawakan oleh Hilya Qonita, hafizah cilik. Ayat tersebut berisi kepastian kematian. Ayat tersebut mengingatkan bahwa tiap jiwa akan merasakan mati. Merinding banget deh pokoknya.
Adegan kedua yang berkesan adalah saat Abrar mau memukul Rahmat. Sama halnya ketika Rahmat mau dikeroyok oknum aksi 212 karena dituduh munafik. Setiap kalimat yang dilontarkan oleh Yasna (Meyda Sefira) begitu menohok. Bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap kepada saudaranya sesama muslim. Bagaimana seharusnya menyikapi keadaan marah, yaitu mengucap istighfar. Kalimat Yasna adalah nasehat yang harus diresapi bagi tiap orang yang mengaku Islam.
Adegan yang paling bikin nangis adalah saat Rahmat menemukan bukti bahwa abahnya Rahmat yaitu Ki Zainal, sesungguhnya bangga kepada Rahmat. Wah sentrap-sentrup deh hidung saya menahan meler.
Sinematografi
Sebenarnya saya nggak terlalu mengerti soal sinematografi. Makanya saya bertanya ke suami, bagaimana review Film 212 menurut beliau. Jawabannya adalah, “Bagus, sayang suasana ramainya kurang tergambarkan. Nggak kayak film-film Hollywood yang pakai massa benar-benar seperti kejadian aslinya.” Dengan kata lain, suasana aksi 212 yang tumpah ruah jutaan manusia itu kurang terlihat di film ini. Mungkin pemeran figurannya kurang banyak, hoho.
Untuk penggabungan adegan asli aksi 212 ditambah adegan film sih nggak masalah menurut saya. Karena film ini berasal dari kisah nyata, keberadaan cuplikan adegan asli yang memang bisa dimasukkan ke film jelas memperkuat suasana. Saya sampai terharu melihat para laskar 212 jalan kaki beneran di cuplikan rekaman kisah nyatanya.
Tatapan mereka berbeda. Ada semangat dan cinta pada Al Qur’an yang berkobar di mata.
Oh ya, tambahan dari adik saya mengenai sinematografi. Ada sekitar dua adegan di Film 212 yang menurut dia masih kurang smooth editannya. Sampai-sampai adik saya menyadarinya. Meski begitu, saya nggak sadar kok. Jadi kalau menurut saya sih its oke, nggak parah.
Pesan yang Disampaikan Oleh Film 212
Dari judulnya, tadinya saya kira kisah percintaan antar lawan jenis akan kental di film ini. Walaupun saya ragu karena Film 212 kan bergenre drama religi. Ternyata film ini bermakna lebih dari yang saya bayangkan. Cinta anak kepada orangtua. Cinta orangtua kepada anak. Cinta sesama muslim. Cinta antar manusia meski berbeda agama. Hingga cinta hakiki kepada Tuhan, yaitu Allah.
Perwujudan cinta di atas kadang tidak kasatmata. Di dalamnya ada kegigihan, kerelaan, keikhlasan, dan keyakinan. Ah, banyak sekali yang bisa dipetik dari film ini.
Kalau boleh dirangkum, saya akan membaginya dalam beberapa poin, yaitu:
1. Hubungan anak dan orangtua
Saya tersentil sekali di bagian ini. Rahmat kecil menganggap bapaknya terlalu sibuk berdakwah. Hingga melupakan anaknya. Sementara itu, Kiai Zainal (Abah dari Rahmat) menganggap Rahmat kecil nakal, nggak bisa dinasehati.
Padahal dua-duanya saling sayang. Tapi yang terlihat hanya kebencian. Kurangnya kedekatan diantara mereka berdualah yang mungkin menjadi sebab komunikasi macet. Akibatnya ya saling curiga, saling menyalahkan dan menyakiti.
Pada akhirnya, anak tetap membutuhkan orangtua. Begitu juga sebaliknya, orangtua membutuhkan anak. Kalaupun tidak bisa bertemu raga, paling nggak dekat secara jiwa.
Hubungan mutualisme ini bukan berarti harus balas jasa lho. Karena sampai kapanpun anak tidak bisa membalas jasa orangtua.
Anak hanya ingin orangtuanya bangga terhadap dirinya. Sedangkan orangtua ingin anaknya menghormati dan menghargai mereka. Kedua kebutuhan ini yang tidak didapatkan oleh Rahmat dan Ki Zainal sehingga konflik muncul selama film.
Orangtua tidak dapat memaksakan masa depan anak. Apapun jalan yang dipilih oleh anak, selama tidak bertentangan dengan agama, norma dan hukum, seharusnya orangtua selalu mendukung. Anak yang mendapat dukungan secara nyata, akan menghargai orangtuanya dan lebih percaya diri.
Dari poin ini saya belajar banyak hal. Bahwa sehebat dan sesibuk apapun orangtua, anak tetaplah membutuhkan kehadiran orangtua sehingga anak merasa dicintai. Dan semarah apapun orangtua kepada anak, mereka tetap menginginkan anak tersebut kembali pulang. Sama halnya ketika anak sangat marah kepada orangtuanya, ia akan tetap khawatir dan berusaha menjaga orangtuanya sebisa mungkin.
Terus terang saya sempat membayangkan kalau nanti saya sudah tua. Apakah anak-anak saya akan sejutek dan semenyebalkan Rahmat? Ataukah mereka lembut dan santun pada saya? Jadi ngeri sendiri nih.
Makanya dari sekarang, perlakukan anak dengan istimewa. Sehingga saat mereka dewasa dan kita sudah tua. Mereka pun akan memperlakukan kita dengan baik.
2. Hargai diri sendiri, jangan jadikan masa lalu sebagai beban
Rahmat menanggung beban masa lalu. Kecelakaan yang menewaskan saudara-saudaranya membuat dia merasa bersalah selama 10 tahun lebih. Bahkan hal itu menjadikan abahnya mengambil keputusan besar yang bikin Rahmat semakin marah.
Rahmat berusaha melupakan, tapi selama dirinya belum mengikhlaskan maka akan terasa sulit. Dari film ini, saya belajar untuk tidak berlarut-larut dengan masa lalu. Yang sudah berlalu tidak dapat diubah lagi. Kita hanya bisa bergerak maju dengan pikiran sepositif mungkin.
Dengan menghargai diri sendiri, orang lain juga akan menghargai kita. Dengan percaya dan yakin pada dirinya sendiri, maka orang lain pun akan yakin pada kita.
3. Cinta pada sesama
Ada beberapa scene yang menggambarkan bahwa Islam itu damai. Jutaan muslim berkumpul di Monas, tetapi umat non muslim tetap bisa beraktivitas normal di sekitar Monas. Orang Islam menjunjung toleransi pada sesama manusia. Selama agama mereka tidak diinjak-injak, maka kesantunan akan selalu hadir dalam perilaku kaum muslim.
Sekalipun agamanya diinjak-injak, umat muslim akan melawan dengan cara yang damai, yang menenangkan. Cinta pada sesama di film ini digambarkan dengan para penjual yang menggratiskan barang dagangannya untuk laskar aksi 212. Begitu juga masyarakat umum yang memberikan makanan dan minuman secara cuma-cuma dengan membagikannya di jalan-jalan.
Cinta pada sesama juga berarti cinta pada umat yang agamanya berbeda. Sebagai sesama manusia, sesama WNI, sudah seharusnya saling tolong-menolong. Film ini mendeskripsikan cinta pada sesama yang tulus, terealisasi dalam bentuk hal tak terduga. Bahkan tak diduga oleh akal.
4. Allah tidak pernah meninggalkan hambaNya
Bukan Allah yang meninggalkan hambaNya, melainkan sebaliknya. Kita yang melalaikan hal-hal yang dimintaNya untuk dikerjakan. Maka kerjakanlah perintahNya dengan sungguh-sungguh.
Sekalipun kita sedang terpuruk dan jauh hatinya dari Allah. Tapi Dia mengirim orang-orang yang menunjukkan jalan pulang. Allah menunjukkan peristiwa-peristiwa yang membuat kita tangguh.
Seperti itulah yang dialami oleh Rahmat. Memang ada orang-orang yang merendahkannya, membencinya. Tapi di sisi lain, ada orang-orang yang dikirim untuk menjadi perpanjangan hidayah dari Allah.
5. Cinta tertinggi adalah cinta yang hakiki.
Hanya cinta yang hakikilah yang dapat menggerakkan hati dan badan manusia untuk serempak melakukan aksi 212. Mengutip kalimat Yasna, “Kita ke Jakarta bukan karena dendam. Bukan karena marah dan ingin membalas. Tapi kita ke sini karena dorongan cinta. Cinta yang membuktikan bahwa Islam itu damai.” Kurang lebih intinya begitu, karena saya lupa kalimat persisnya kayak apa:D.
Kekuatan cintalah yang dapat memberi tenaga pada Ki Zainal yang sudah sepuh dan sakit-sakitan untuk terus berjalan dari Ciamis ke Jakarta. Nggak main-main lho jarak yang ditempuh mencapai 300 km. Kalau saya, belum tentu seberani dan sekuat Ki Zainal.
Jalan damai yang dipilih oleh umat Islam menunjukkan bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin. Aksi 212 bukan demo radikal. Aksi 212 tidak bermaksud memperkeruh suasana. Sebaliknya, aksi ini menunjukkan sikap tegas kaum muslim terhadap kecintaan mereka pada Al Qur’an dan agamanya.
Ya, kurang lebih itulah beberapa pesan atau hikmah yang dapat ditangkap dari film 212 ini.
Sekali lagi, saya percaya bahwa apa yang kita tabur maka itulah yang kita tuai. Ketika kita menanam benih kebaikan, kebaikan itulah yang akan berbalik mendatangi kita.
Ketika kita berada di jalan Allah, maka hati dan anggota tubuh lainnya senantiasa tunduk pada petunjuk Allah.
Oleh karena itu, tak perlu ada rasa risau, karena tak ada yang abadi di dunia ini. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Yang abadi adalah amal saleh yang senantiasa mengalir meski kita sudah dalam kubur.