Masih lekat diingatan kala putri saya berusia 1,5 tahun. Badannya demam, rewel, sebentar-sebentar tidur lalu terbangun lagi minta digendong. Saya memang tidak membawanya ke dokter selama masih bisa ditangani di rumah dan tidak terdapat tanda kegawatdaruratan. Cek suhu minimal tiap 4 jam untuk menentukan perlu diberi paracetamol atau tidak. Kompres terus, dan tawarkan makan dan minum sesering mungkin serta waspada tanda-tanda dehidrasi menjadi pertolongan pertama dan swamedikasi yang saya lakukan saat anak demam.
Alhamdulillah pada hari ketiga, demamnya memang turun. Dan besok adalah jadwal penerbangan kami untuk merantau pindah rumah ke Depok Jawa Barat. Tapi siapa sangka, paginya di hari keempat, putri saya demam tinggi lagi, agak aneh pikir saya. Belum pernah saya mendapati seharian penuh demam turun dan anak sudah ceria, tapi tiba-tiba esok harinya mendadak panas lagi dengan suhu tinggi dan rewel. ‘Wah, jangan-jangan pelana kuda nih!”, batin saya. Saat itu juga saya hubungi dokter anak najla dan berkonsultasi, masihkah kami dapat terbang pagi ini? Alhamdulillah dokter mengijinkan untuk terbang dengan syarat sampai di tempat tujuan langsung ke IGD bila gejala masih menetap, karena memang dikhawatirkan DBD. Deg-degan dan sedih, pertama kalinya putri saya bakalan rawat inap kalau begini.
Akhirnya kami berangkat dengan perasaan campur aduk selama di bandara dan di pesawat. Sampai Jakarta sudah disambut oleh keluarga besar. Sesekali anak saya ceria, sesekali lemas lagi lalu tidur. Demamnya masih naik turun. Begitu sampai depok, diputuskanlah kami langsung meluncur ke rumah sakit swasta terdekat dari rumah. Masuk IGD, cek lab ternyata trombosit sudah turun, dan mulai muncul bintik-bintik merah di perut putri saya. Suspect DBD, begitulah diagnose dokter, menyarankan agar anak saya di rawat inap agar mendapatkan cairan yang cukup lewat infus. Hari itu jadilah kami bertiga (saya, suami, dan anak) menginap di rumah sakit. Bahkan belum sempat menginjakkan kaki di rumah baru kami.
Selama kurang lebih 5 hari, anak saya dirawat. Terapinya hanya infus cairan dan elektrolit saja. Lalu setelah pemeriksaan oleh dokter dan hasil lab menyatakan trombosit sudah normal, putri saya diijinkan pulang.
Kisah di atas hanyalah satu dari beberapa kisah demam berdarah yang saya ketahui. Ada lagi kisah tetangga saya, berusia 24 tahunan, dan tidak sadar terkena virus DB hingga perdarahan vagina. Masuk rumah sakit dalam kondisi lemas, setelah di cek trombosit tinggal 20 ribu, hematocrit rendah (lupa berapa). Seram kan, untung masih tertolong.
Tahukah teman-teman bahwa Indonesia termasuk negara endemik DBD, kasus yang pertama kali dilaporkan hanya 2 dari 29 propinsi pada tahun 1968. Tapi sekarang, DBD sudah tersebar di semua propinsi.
Seperti kita ketahui bahwa program-program yang ada untuk mencegah DBD saat ini cukup bervariasi. Mulai dari 3M, ikanisasi, hingga pemberian bubuk ABATE dan fogging. Tapi pada kenyataannya, kasus DBD tetap tinggi, meskipun jumlah mortalitas/kematian pasiennya berkurang. Selama ini, program di atas berfokus pada penurunan populasi nyamuk aedes aegypti. Padahal, nyamuk ini berkembang biak dengan mudah sekali. Asalkan ada genangan, baik hanya kecil misal dari tutup botol air mineral/ bahkan genangan di pelepah pisang, sudah lebih dari cukup sebagai tempat menetas telur-telur nyamuk aedes aegypti. Wah, mencengangkan bukan?
Lalu, tidak mungkin donk Indonesia dapat bebas dari DBD? Hmm, mungkin saja!
Saat ini ada metode terbaru untuk mengendalikan penyebaran virus DBD, yaitu melalui penyebaran bakteri Wolbachia pada tubuh nyamuk aedes aegypti. Metode ini sedang dilaksanakan oleh EDP (Eliminate Dengua Project). EDP? Wolbachia? Apaan sih itu? Saya juga baru dengar beberapa minggu yang lalu, hehe.

Pada hari Selasa, 1 Desember 2015, saya bersama teman-teman blogger dari KBJ (Komunitas Blogger Jogja), mendapat kesempatan untuk hadir memenuhi undangan sosialisasi EDP dan kunjungan insektariumnya. Sebuah hal yang saya sambut dengan senang hati, karena kesehatan masyakarat termasuk salah satu concern saya.
Jadi, apa sih EDP itu?
EDP adalah sebuah penelitian yang berkolaborasi antara Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran UGM, Monash University, Melbourne, Australia dan Yayasan Tahija (The Tahija Foundation), Jakarta Indonesia. Program ini melibatkan peneliti dari Indonesia dan dari Australia. Peneliti utama EDP-Jogja adalah Prof.Dr. Adi Utarini, MPH., Ph.D. EDP sendiri aslinya tidak hanya di Indonesia, tapi ada EDP Global yang merupakan kerjasama antar Negara yang bersifat non profit. Yaitu Australia, Vietnam, Indonesia, Brazil, Singapura dan Colombia. Saat ini penelitian yang sudah selesai ada di Australia, kemudian menyusul Vietnam dan Indonesia masih sedang dalam tahap penelitian.
Kalau Wolbachia itu apa?
Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat dalam tubuh serangga yang diturunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Wolbachia ditemukan hamper 60% pada berbagai serangga seperti lalat buah, capung, ngengat, kumbang, termasuk nyamuk. Sayangnya wolbachia ini tidak ditemukan pada nyamuk aedes aegypti. Padahal, ternyata setelah di teliti, wolbachia dapat memblok virus DBD sehingga nyamuk tidak dapat mengcopy virus tersebut.
Tapi, amankah Wolbachia?
Penelitian sejak tahun 1920-an dan hasil analisis resiko terhadap Wolbachia yang dilakukan oleh lembaga penelitian independen Australia di tahun 2011 menyatakan bahwa wolbachia aman bagi manusia, hewan dan lingkungan. Jadi kita tidak perlu khawatir nyamuknya jadi mutan atau berubah, baik berubah bentuk maupun sifat-sifatnya. Karena pada dasarnya yang berubah hanyalah imunitas nyamuk aedes aegypti terhadap virus DBD.
Dari video di bawah ini, kita akan lihat proses pengembangbiakan nyamuk ber-wolbachia
Nah, intinya, wolbachia ini di masukkan dalam nyamuk aedes aegypti, kemudian nyamuk aedes aegypti berwolbachia dilepaskan agar berkembang biak, sehingga keturunannya juga menjadi ber-wolbachia dan bebas dari penularan virus DBD. Semoga teman-teman jelas ya..
Lalu, wolbachia sudah dilepaskan di mana saja?
Sebelum pelepasan nyamuk ber-wolbachia, EDP telah melaksanakan beberapa tahap awal, yaitu:
1. Fase 1:Persiapan dan kelayakan penilaian keamanan (oktober 2011- September 2013)
2. Fase 2: Penyebaran skala terbatas nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia (Oktober 2014- Desember 2015)
Sesuai data di atas, pada Desember 2014- pertengahan Januari 2015, nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia sudah dilepaskan di dua desa di Bantul, yaitu Singosaren dan Jomblangan. Pelepasannya dalam bentuk telur (sesuai yang diminta warga) karena ada efek psikologis tertentu pada warga bila dilepaskan dalam bentuk nyamuk berwolbachia. Secara stabilitaspun, nyamuk dari telur lebih bisa beradaptasi pada lingkungan karena sejak dini berada di sana. Hasil dari penelitian tahap ini, nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia di Singosaren dan Jomblangan dapat berkembang biak dengan baik dan populasinya juga meningkat bahkan sudah mencapai 60%.

Selain Bantul, nyamuk ber-wolbachia juga dilepaskan seminggu sekali di Sleman, yaitu pada Januari- Juni 2014 di Kronggahan dan Nogotirto. Hasilnya, sekarang sudah 80% nyamuk aedes aegypti di sana yang mengandung wolbachia. Harapannya, jika populasi nyamuk ber-wolbachia sudah tinggi, maka dapat mengurangi resiko penyebaran DBD secara lokal.

Kenapa yang dipilih adalah keempat desa di atas ya?
Ternyata, dilihat dari kondisi geografisnya lho. Singosaren, Jomblangan, Kronggahan dan Nogotirto terdiri dari 300-1200 rumah yang secara fisik terpisah dari area lain dengan batas jalan, hutan atau lahan pertanian. Selain itu, area tersebut juga dipilih karena besaran populasi nyamuk, dan penerimaan masyarakat terhadap rencana penelitian. Wah support yang cukup besar ya untuk EDP.
Setiap bulan selama penelitian, selalu dilakukan monitoring penyebaran nyamuk ber-wolbachia, serta pihak EDP berkomunikasi dengan tokoh masyarakat dan warga. Bahkan apabila ada warga yang mengalami demam, EDP memastikan apakah demam tersebut akibat DBD atau bukan.
Di bawah ini dapat kita lihat kegiatan yang dilakukan EDP dalam hal monitoring populasi nyamuk ber-wolbachia.
Perlu teman-teman ketahui, pelepasan nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia sudah melalui prosedur persetujuan dari warga dan pemerintah. Persetujuan dari Pemerintah Propinsi Yogyakarta, serta ethical clearance dari IRB (Institutional Review Board) UGM sebagai satu dari empat institusi pengriew etik berakreditasi internasional di Indonesia.
Apakah penelitian ini sukses?
Saat ini EDP akan memasuki fase 3, yaitu penyebaran nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia dalam skala luas (2016-2019), di mana akan dilakukan persiapan seperti:
- Studi riwayat infeksi dengue pada anak-anak usia 1-10 tahun di kota Yogyakarta.
- Studi aktivitas harian anak-anak usia 1-10 tahun di kota Yogyakarta.
- Pemantauan populasi nyamuk aedes aegypti di kota Yogyakarta menggunakan perangkap nyamuk BGTrap.
- Pemetaan situasi sosial kemasyarakatan di kota Yogyakarta.
- Mengajukan rencana kegiatan fase 3 untuk mendapat persetujuan dari Komisi Etik Kedokteran- Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM.
Kita lihat rangkuman dari penjelasan di atas yuk
Harapannya, dengan penyebaran skala luas nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia, maka dapat menurunkan angka kejadian penularan dengue dengan efektif, murah dan berkesinambungan, khususnya di Yogyakarta, dan semoga ke depannya dapat di lakukan pada skala yang lebih besar, yaitu Indonesia.
Yuk kita dukung EDP dalam menurunkan angka kejadian DBD di Yogyakarta dengan menyebarkan informasi mengenai EDP dan nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia.
Indonesia bebas DBD? Mungkin saja!:)


wedan , artikelnya , lengkap tenan mak ..haha punyaku aja gak selengkap ini xixix
Saingan berat iki broh…
Wew..smg kita semua lolos 🙂
Wah dapat pengetahuan baru nih. Baru tahu kalo ada semacam bakteri yang bisa memblok virus DBD. Penjelasannya lengkap pula, udah di bookmark 🙂
Makasih banget udah share 😀
Saya jg baru tahu pas sosialisasi kemarin mbak. Smg bermanfaat ya:)
Ya ampuuunn, ini infonya lengkap banget 😀 Terimakasih banyak Mak. Saya bener-bener baru tau tentang Wolbachia 😀
Thanks mba..silakan dibagi infonya ke teman2 ya..
wiihhh appikk, mantaapp liputannyaa.. semoga menang ya mak! makan-makan yaa…
Aamiin.mak ima jg semoga menang..nanti kita mkn2 bareng:)
mantep artikelnya lengkap dari awal. Semoga menang dan sukses
Aamiin..tetua KBJ nih sungkem dulu
… dan harapannya, tentu, semoga Jogja bisa segera bebas denguefever, ya, Mak Ima. Trims sudah berbagi. 🙂
Saya siap mendukung dan mensosialisasikan program EDP Jogja. Nice post mbak Dian ^_^
Woo cocok dah jadi jurnalis nova mantep keren artikel komplet
artikelnya bermanfaat. salam kenal dari jogja
Salam kenal juga. Terimakasih