Bila Janur Kuning Belum Melengkung

Facebooktwitterredditmail

janur-kuning

Namanya Debur Ombak Selatan.

Oke, orangtua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan. Mungkin orangtua penyuka pantai, atau bahkan peselancar?

Well, perawakannya biasa saja, tidak tinggi tidak pendek. Kulitnya sawo matang. Rambutnya bergelombang, persis ombak. Wajahnya juga tidak terlalu tampan, matanya besar, hidungnya mancung, sama seperti makhluk lainnya bukan? Hehe. Yang luar biasa adalah senyumnya, manis menurutku.

Aku mengenalnya sejak hari pertama berseragam putih abu-abu. Dia maju di depan kelas, memperkenalkan dirinya. Dan dapat dipastikan, sejurus kemudian gelak tawa membahana di kelas kami. Belum cukup sampai disitu. Seakan ingin membuat perut kami mulas, ketika ditanya apa hobinya, dia langsung menyanyi. Bukan lagu remaja, tapi lagu Diobok-oboknya Joshua, fals pula.

“Huahahah..hahahha,” tawaku nyaris sepanjang kereta api.

Ombak sukses mengkempotkan pipiku sekaligus mengeringkan tenggorokanku.

Apakah kalian tahu? Kisah kocak dihari itu, belum usai.
Ketika tiba saat pulang sekolah, aku menuju parkiran bersama Sofi, sahabatku sejak SMP. Taraaa..kami melihat dua sosok berwajah sama sedang menyapa anak-anak lain yang sedang melongo.

What?! Satu sosok Ombak saja sudah fenomenal, ini ada dua? Bisa pingsan aku. Mereka benar-benar identik, tasnya sama, sepatunya juga sama. Seragamnya apalagi, haha, ya iyalah seragamnya sama, kan satu sekolahan. Maksudku, selain wajahnya yang serupa, perawakannya pun setipe. Ketika bicara, suaranya tak bisa kubedakan, benar-benar persis. Hmm, ada satu pembeda, menurutku senyum Ombak lebih manis, hihi, menurutku lho.

Owh ya, sampai lupa, kembaran Ombak menyebut dirinya Petir, Petir Langit Selatan. Keren ya namanya. Sebelas-dua belas dengan namaku, Dewi Langit Selatan. Haha, kaya nama suami istri aja, ya nggaklah, namaku nggak ada Langit Selatannya. Cukup Dewi Aurora saja. Biasa dipanggil Dewira. Namaku bagus? Tentu saja, ayahku yang memberinya. Beliau adalah seorang Astronom, pengagum alam semesta. Mungkin beliau juga akan menyukai Ombak, dan Petir tentunya. Sekali lagi, ini menurutku lho.

Hmm, sudah dulu ya, besok disambung lagi ceritanya. Malam ini harus tidur cepat. Soalnya besok MOS dimulai, siap-siap ketawa lagi deh. So excited.
***

“Hoahem..Jam berapa sih? Hah, jam 12?”, kataku ketika melirik jam dinding di kamarku.

Kututup buku diary di depanku. Bernostalgia halaman demi halaman, dari belakang kedepan, benar-benar membunuh waktu. Tawaku paling heboh ketika membaca halaman pertama, tertanggal 14 Juli 2008, hampir lima tahun lalu. Bercerita tentang calon suamiku, Ombak.

Ombak?

Ya, kuharap dia. Tapi nampaknya takdir berkehendak lain. Masihkah ada waktu untukku melegakan hati, melepaskan semua tanya tentangnya. Andai Tuhan memberiku kesempatan itu. Toh, janur kuning belum melengkung.

“Belum tidur Ra?”

“Duh Papa, ngagetin aja. Ya kalau udah tidur, mana mungkin bisa ngomong sama Papa donk, hehe.”

“Ah, anak kesayangan Papa ini, bisa saja. Tidur sana, besokkan mau revisi undangan, sama calon mantu Papa,” bujuk Papa dengan nada super menyindir.

“Iya, iya..ini juga udah mau merem. Tapi ke kasur dululah, masa merem di kursi,hehe,” balasku ikutan nyindir.

Kurebahkan tubuhku ke kasur kesayangan. Sprei bermotif Eifel yang menyala dalam gelap tampaknya mulai berbau menyengat.

“Arrgh, udah 2 bulan nggak dicuci nih!” kesalku pada diri sendiri.

Kucoba mengurangi nafas sambil meringkuk di dalam selimut. Semenit, sepuluh menit, setengah jam, sejam, mataku masih terbelalak, lebar.

Oke, ternyata karena aku mengingat-ingat zaman SMA dulu. Awal perkenalanku dengan Ombak yang tak terlupakan, berlanjut dengan dekat dengannya karena aku jago kimia, sementara dia sangat frustasi dengan pelajaran tersebut. Piknik sekelas dilima pantai daerah Wonosari, sukses membuatku terlena dengan lantunan akustik dari gitarnya. Tumben waktu itu Ombak nyanyinya nggak fals. Ah, kalau diingat-ingat bikin deg-degan saja.

Hey Dewira, eling nduk, kamu tuh udah mau nikah. Ngapain inget masa lalu. Jangankan jadi mantan, kesampaian juga nggak.

Huh, suara hatiku memang menyebalkan, tapi ada benarnya.
***

Sinar mentari pagi menelisik di sela-sela tirai jendela. Hangat dan menyilaukan. Sayangnya, masih kalah sîlau dèngan bayangan perempuan berbalut kaos garis-garis bernuansa pelangi yang sedang mematut dirinya di depan cermin. Seorang perempuan beralis tebal, bermata redup dengan lesung pipi yang menggemaskan. Akulah perempuan pelangi itu, haha.

“Dewira…..tuh calon suamimu udah jemput. Kamu udah bangun kan?” Mama horor juga volume suaranya pol sampai ke kamarku.

“Udah cantik Ma, plus wangi dan memesona,” teriakku dari lantai dua.

Aku tergesa menuruni tangga, nyaris terpeleset, tapi dengan sigap bangkit kembali. Dewira gitu lho. Sering pula dalam hidupku nyaris gagal, dan nggak terjadi donk, karena aku dengan cepat membalikkan keadaan, menjadi sebuah kemenangan.

“Yeay Dewira menakjubkan!”

Apaan sih, narsis tahu, kali ini suara alam bawah sadarku lebih realistis.

Mendekati ruang tamu, langkahku tertahan, tertatih-tatih. Ingin rasanya nggak jadi pergi saja, pura-pura sakit mungkin? Tapi terlanjur sudah dandan cantik, sayang kalau dua pria itu pulang tanpa memujiku. Oh Tuhan, dua pria. Siapa lagi kalau bukan Ombak, dan Petir.

“Hey Ra, apa kabarmu?” Ombak mengulurkan tangannya.

“Eee, baik donk, dari dulu selalu baik. Kamu?”

Kok bisa kesini? Kapan balik dari Belanda? Udah nikah?

“Baik juga.”

“Woy, kaya pada ngeliat hantu. Udahan donk sapa-sapaaannya, aku cemburu tau.” Petir refleks melingkarkan tangannya di pundakku.

Ombak tersenyum, kecut, menurutku. Sekecut-kecutnya, tetap menawan.

“Yuk, kita langsung berangkat. Mumpung masih pagi. Biar cepet kelar revisi undangannya, terus dicetak deh. Terus disebar, terus nikah deh. Asik!”

Kalimat Petir sungguh menggelegar di hatiku.

Entah mengapa, terasa perih, ironis.

Setelah berpamitan dengan Mama-Papa, kami bertiga menaiki BMW milik keluarga “Selatan”. Aku lebih banyak diam, kubilang sedang sariawan. Padahal sedang ada debat, jejak pendapat di hatiku. Kalau tidak menemui musyawarah mufakat, maka voting pilihannya. Setiap sel-sel hati punya kesempatan memilih.

Apa benar masih ada kesempatan? Bukankah tanggal sudah ditetapkan. Dua keluarga besar telah bertemu. Ya, walaupun tanpa Ombak, karena saat itu dia tidak bisa pulang, sedang melangsungkan sidang skripsinya di Belanda. Lalu kenapa sekarang muncul? Aku tahu cepat atau lambat kami pasti bertemu. Calon adik ipar, bertemu calon kakak ipar. Tapi, siapa sangka secepat ini.

Sesampainya di tempat merevisi undangan, Ombak yang lebih banyak diam, mungkin sariawanku menular, entahlah. Aku dan Petir saling melontarkan argumen demi mengeluarkan ide-ide kami, merangkai desain undangan impian. Lalu tiba-tiba.

“Mas ke kamar mandi dulu ya Ra, kebelet pup nih.” Haduh, Petir ini memang ceplas-ceplos orangnya.

Petir menghilang dari pandanganku. Ombak mendekati.

Duh, Mati aku.

“Ra, kamu bahagia?”

Hey, pertanyaan macam apa itu.

“Maksudmu, persiapan pernikahanku dengan Petir?” sekalian saja aku balas dengan pertanyaan menohok.

“Hmm, iya. Aku sangat mengenal Petir. Dia dan aku bagai satu jiwa.”

Well, kalian tetap berbeda tahu. Wajah dan suara sih boleh sama. Tapi karakter? Berbeda hampir 180 derajat. Petir yang romantis dan sensitif, berbanding terbalik dengan kamu yang cuek, dan nggak peka. Mungkin itu sebabnya aku penasaran sama kamu, Ombak.

“Lalu, apa maumu, Ombak?”

“Tolong…Jangan sakiti hatinya, apapun yang terjadi kelak.”

Jadi, lebih baik hatiku yang sakit?

“Iya..iya, tenang saja. Kalau kamu sendiri, bahagia?” gantian aku melakukan pukulan telak.

“Eee, aku bahagia melihat dua orang yang kusayangi bahagia.”

“Hah, Aku? Kau sayangi?”

“Eh, bukan, maksudku, Ayah dan Bundaku. Mereka lagi bahagia-bahagianya nih. Aku akhirnya jadi Sarjana dan Petir akan menikah.”

Kenapa tak mengaku saja kalau kamu keceplosan, Ombak?

“Hayo..lagi pada ngomongin aku ya?” Petir benar-benar mengagetkan, persis namanya.

“Hahahaha, mau tahu aja,” kata kami berbarengan.

Aneh, bisa ngucapin kalimat yang sama. Huff, andai jodoh.

Kami melanjutkan perjalanan ke tempat pembuatan baju pengantin. Sebuah galeri sederhana yang memajang berbagai model gaun internasional, kebaya, dan baju adat. Gaun pernikahanku bernuansa modern tradisonal. Atasan kebaya putih tulang di padu dengan terusan satin berwarna senada yang menjuntai hingga semata kaki. Bordiran berpayet mutiara dan batu swarozki mengelilingi gaun bagian bawah. Sementara jas mempelai pria berwarna putih tulang juga dengan beberapa ornamen bercorak tradisional menyatu secara vertikal di bagian dada.

Lucunya, ketika fitting, jas tersebut pas di Ombak, kekecilan di Petir. Kata Petir, dia kebanyakan makan karena stres mempersiapkan pernikahan ini. Aku sih tersenyum simpul saja, dan Ombak….Matanya menyiratkan sesuatu. Entahlah, aku tak bisa membaca apa yang ada di balik pancaran matanya.

Setelah mampir makan siang, aku meminta Petir untuk pulang saja, kepalaku agak pusing. Sesampainya di rumah, Petir yang romantis bersikeras menggotongku ke kamar tidur. Bayangkan, ke lantai dua, padahal beratku 48 kg lho. Aku cuma bisa meringis, menahan tawa melihat wajahnya yang berkeringat kelelahan, lucu sekali. Ombak menunggu di lantai bawah.
***

“Hoahem…” ternyata aku tertidur, entah sudah berapa lama.

Mataku memandang ke sekeliling, buram, hingga sampai pada sosok pria yang duduk di kursi kamarku. Petir, tengah membaca sebuah buku bersampul batang-batang kayumanis berwarna coklat.

Ya Tuhan..itu diaryku!

Sontak aku berlari, kurebut diaryku.

“Lancang kamu Petir, kenapa enggak ijin dulu?”

“Memangnya bakal kamu ijinin?”

Aku tak bisa menjawab pertanyaannya.

“Aku..aku..”

“Kenapa kamu tak mengaku sejak dulu, Dewira?” kedua tangan Petir menggenggam lenganku. Matanya tajam mencari jawaban di mataku.

“Mengaku apa? Aku enggak ngerti apa yang kamu omongin.”

“Oke, kamu enggak ngerti? Jangan-jangan, kamu bahkan enggak sadar.”

“Enggak sadar gimana?”

“Enggak sadar kalau kamu cintanya sama Ombak, bukan aku!” suara Petir meninggi. Aku bergidik.

“Apa kamu sadar? Semua cerita di diarymu, tak pernah ada namaku. Yang kamu tulis adalah, saudaranya Ombak, adiknya Ombak, kembarannya Ombak. Well, cuma sekali namaku kamu tulis, di halaman pertama doank.”

“Kamu cemburu? Itu sama sekali enggak menjelaskan apapun, termasuk perasaanku ke kamu!” suaraku bergetar.

Sungguh, aku benar-benar tak menyadari tak ada nama Petir di diaryku. Dan ini berarti masalah. Masalah besar.

“Lalu jelaskan padaku, apa arti puisi ini?” Petir menyodorkan secarik kertas, ternyata puisiku yang dia robek dari dalam diary.

Debur ombak nan tenang tapi menghanyutkan
Entah dimana keberadaanmu kini
Biaskan rasaku
Urungkan asa
Rahasia terdalam kotak pandora, terbukalah.
Oh, perasaan apa ini
Malam-malam penantian tanpa dermaga
Bibirku tak mampu lagi berikrar
Akankah kau jemput?
Kita, bukan aku atau kamu.

“Itu puisi yang kamu tulis tadi malam kan?”

Aku tercekat, sama sekali tak bisa berfikir dengan jernih.

“Cukup Petir, beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya.”

“Tak perlu. Dewira ingin mengatakan langsung pada Ombak, atau Aku saja?”

“Ombak masih ada di bawah?”

“Enggak, dia udah pulang duluan, aku yang minta begitu.”

Lega, setidaknya hari ini tak bakal tambah runyam.

Petir menghela nafas panjang, wajahnya kusut masai. “Tidurlah Ra, Aku pulang saja.”

“Lalu..Pernikahan kita?” buru-buru kutambahkan, ” Maafkan Aku, Petir.”

“Pernikahan kita, biar Aku yang urus.” Petir berlalu, kudengar langkahnya menuruni tangga, menjauh dan hilang.

Apa maksudnya dia yang urus? Marah padaku lalu membatalkan pernikahan? Atau tetap melanjutkan seolah tak ada yang terjadi? Ah, entahlah. Sangat buntu otakku.
***

Sepertinya, mentari sedang sakit. Tak ada lagi pancaran sinar yang menyusup melalui sela-sela ventilasi. Sang surya berganti dengan gerimis basah yang menimbulkan bau tanah. Sebenarnya, aku pecinta hujan. Tapi, seminggu tanpa kabar dari Petir, sungguh membuatku malas beraktivitas. Akibatnya, pekerjàañku sebagai seorang Apoteker di Rumah Sakit Swasta di Yogya ini, rasanya menjadi lebih berat dua kali lipat. Bayangkan, SMSku tak dibalas, telepon tak diañgkat, semua sosial media Petir tak aktif.

Aku coba menghubungi Ombak, dan dia hanya menjawab, “Sabarlah Dewira, aku masih berusaha membujuk Petir.”

Ah, Ombak..kenapa baru sekarang aku menghubungimu, bukankah Belanda-Yogya bisa ditempuh dalam sekejap melalui facebook, tweeter ataupun email. Bodohnya, aku justru menuliskan semuanya di diary, yang dengan cerobohnya tergeletak di meja kamarku. Dewira keren yang bodoh!

“Dewira, ada yang mencarimu…Turunlah.” Papa berteriak memanggilku.

Siapa? Ombak, atau Petir? Jangan-jangan Ayah-Bunda Petir..

Kububuhkan bedak ke wajahku yang kusam, aslinya kulitku cerah dan bersinar. Kusam ini karena aku banyak menangis, seminggu lamanya aku malas mencuci muka.

“Arggh..ternyata wajahku mengerikan.”

Hatiku tak keruan. Antara membayangkan pernikahanku yang batal, pertengkaran yang mungkin terjadi antara Ombak dan Petir. Ditambah perasaan lega karena pada akhirnya aku dan Petir menyadari apa yang hatiku sembunyikan.

Dengan wajah menunduk, kutelusuri karpet Persia bercorak leopard di ruang tamu.

“Dewira?”

Sontak daguku terangkat. “Lho, Ombak, kok kamu yang kemari?”

“Bukan aku ya, yang kamu harapkan datang, Ra?”

“Eh, enggak, bukan gitu.”

“Nih, undangan pernikahanmu.” Ombak menyodorkan undangan berwarna keemasan yang kutahu adalah pilihanku.

Salah tingkah aku menerima undangan tersebut. Tanganku bergetar, hebat.

Petir sudah memaafkanku? Apakah Ombak tahu penyebab pertengkaranku dengan Petir?

Perlahan kubuka plastik undangan tersebut, mengamati sampulnya, D dan O?

Kueja halaman pertama,

“Menikah
Dewi Aurora, S.Farm., Apt.(Dewira)

Putri pertama dari
(H. Rommy Widyawan, S.Si) & (drg. Maharani Salim)

dengan

Debur Ombak Selatan, B. Eng (Ombak)

Putra pertama dari
(H.Ir. Bramukti Afrizal, M.Ba ) & (Hj. Kanita Indriani, S.Si)

Tanganku lemas, undangan terjatuh, air mataku menetes. Air mata bahagia. Aku tak percaya dengan apa yang mataku baca, ilusikah? Kupandangi Papa, lalu Ombak, lalu Papa lagi.

Beliau memelukku erat, erat sekali, Papa berbisik, “Jodoh sudah tertulis di Lauh Mahfuds putriku, tak akan tertukar, walau kembar sekalipun.”

Kalimat Papa menambah keras isakku. Ditepuknya punggungku berkali-kali, diusapnya rambutku penuh kelembutan. Perlahan, Papa melepas pelukannya. Ditinggalkannya kami berdua, Papa bilang akan bicara dengan Mama tentang hal ini. Papa melangkah ke arah dapur.

Ombak mendekat, duduk di sampingku, “Bukankah sudah kukatakan padamu, aku menyayangi kalian berdua.”

“Hiks, maksudnya Ayah-Bundamu?”

“Hahaha, benar kata Petir, Dewira itu lucu. Entah beneran enggak merasa, atau pura-pura enggak tahu, hahaha.”

“Ih..menyebalkan, orang lagi nangis kok malah diketawain,” gerutuku seraya mencubit pinggang Ombak.

“Aduh, sakit tahu. Kalau tentang cubit-cubit, kok Petir nggak cerita ya? Hahahahha.”

“Benar-benar menyebalkan, Petir cerita apa lagi ke Ombak? Dewira ileran, tidurnya ngorok dan makannya banyak kaya kuli?” cecarku.

“Aih, beneran Dewira kaya gitu? Wah, nyesel donk saya mau aja gantiin Petir nikah sama kamu,hahaha,” tawa Ombak menggema dalam relungku.

Hari itu adalah hari terindah. Bunga-bunga bermekaran di halaman, kupu-kupu beterbangan mengelilingi kami. Eh, itu hanya bayanganku lho, hihi. Yang terjadi adalah, kami saling mengolok dengan mesra, saling bernostalgia masa-masa SMA, dan mengenang bagaimana kami merindukan satu sama lain kala jarak memisahkan.

Kata Ombak, Bundanya lah yang meredakan amarah Petir. Bunda Kanita membeberkan rahasia terbesarnya, menyimpan rasa pada Rommy Widyawan semasa kuliah dulu.

Ya, Rommy, Papaku.

Kemudian Bunda menasehati Ombak dan Petir, meminta mereka bertanya pada hati masing-masing, siapakah yang hatinya paling condong kepadaku. Entah bagaimana, Petir dan Bunda pun mengakui bahwa mata Ombak lebih berbinar ketika berbîcara tentangku.

Lega rasanya.

Tapi, kalau Bunda jadi menikah dengan Papaku, bisa-bisa aku dan Ombak bersaudara. Lebih ekstrim lagi, bisa-bisa kami berdua nggak ada di dunia ini. Iihh ngeri aku bayanginnya.
***

Namanya Debur Ombak Selatan.
Oke, orangtua macam apa yang menamai anaknya Debur Ombak Selatan. Ternyata Bunda yang memberi nama itu. Bagus bukan? Tentu saja, Bunda Kanita seorang penyuka laut, dan ahli astronomi, persis Papaku. Arghhhh, Papa…bisa-bisanya menyimpan rahasia seperti ini. Penasaran plus ingin kupukul lengan Papa, pukulan mesra tentunya, hehe.

Kembali ke laptop, eh, ke Ombak.

Aku mengenalnya tanggal 14 Juli, lima tahun yang lalu. Tanggal yang sama dengan pernikahanku, hari ini, tadi pagi. Ah, akhirnya, janur kuning melengkung jua.

2337 kata.

Tulisan ini diikutsertakan dalam #tantangannulis Ombak by @JiaEffendie

(Visited 695 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan