Apa yang ada di pikiran teman-teman ketika mendengar kata Japanese Village? Saya membayangkan perkampungan yang ditinggali oleh orang-orang Jepang. Hmm, singkirkan dulu bayangan tersebut ketika mendatangi Japanese Village di Malaysia.
Desa Jepang yang dimaksud merupakan perpaduan Japanese Tea House, Botanical Garden, Tatami Spa, Ume Tatami Suite dan Ryo Zan Tei Restaurant. Nanti akan saya jelaskan lebih lanjut apa yang saya temui di Japanese Village Malaysia.
Lokasi Japanese Village
Tempat ini terletak di ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut. Japanese Village didesain oleh seorang arsitek Jepang yaitu Mr Kaio Ariizumi. Jadi tahu ya kalau memang dibuat oleh orang Jepang asli.
Bagaimana Cara Mencapai Japanese Village
Japanese Village hanya berjarak sekitar 5-10 menit dari French Village di Colmar Tropicale. Disediakan shuttle gratis baik dari French Village maupun dari Animal Park. Perlu diperhatikan bahwa shuttle gratis tersebut hanya tersedia setiap satu jam.
Lengkapnya sudah saya tulis di sini. Intinya agar teman-teman bisa mengunjungi semua lokasi, sebaiknya manajemen waktunya diperhitungkan.
Review Japanese Village
Saya menaiki shuttle dari French Village ke Japanese Village. Sesampainya di sana, terlihat bahwa areanya penuh dengan pohon. Halaman parkirnya cukup luas. Menandakan teman-teman bisa kemari menggunakan kendaraan pribadi atau bus pariwisata.
Sejauh mata memandang, yang menarik perhatian pertama adalah patung berbentuk telapak tangan berwarna emas. Patung ini berada di bagian depan Japanese Village. Beberapa anak tangga harus dinaiki terlebih dahulu untuk mencapai patung tersebut.
Sementara itu, di sebelah kiri atau sebelum lokasi patung, terdapat undakan tangga yang lebih banyak. Tertulis sejumlah 88 anak tangga, sehingga tercantum pula larangan bagi wisatawan berusia lanjut atau yang memiliki penyakit jantung dan pernapasan untuk menaiki tangga tersebut.
Mertua saya yang sudah berusia lebih dari 50 tahun memilih menunggu dengan duduk di tempat pemberhentian bus, karena di area parkir Japanese Village enggak ada kursi lainnya. Hanya ada toilet saja.
Benar saja, saya, suami, kakak ipar dan dua anak saya lumayan tepar naik tangganya. Delapan puluh delapan anak tangga sih sebenarnya enggak terlalu terasa. Apalagi saya sudah pernah melalui tangga yang lebih banyak dan lebih terjal dari ini. Tapi ternyata untuk menuju spot lainnya, kami masih harus berjalan menanjak lagi.
Sama seperti di French Village, setelah anak tangga terakhir alias di gerbang masuk, ada dua orang yang memanggil kami. Lagi-lagi saya kira petugas pemeriksaan tiket, tapi ternyata mereka menawarkan jasa foto. Saya yang sudah sekali difoto di Colmar, kali ini menolak dengan halus:D. Tapi kalau teman-teman ingin punya kenang-kenangan sih nggak apa-apa boleh foto lagi.
Di bagian depan, terdapat plang spot-spot yang bisa dinikmati di Japanese Village. Sebenarnya dekat plang ada restoran dan tempat suvenir. Tapi ketika saya ajak suami ke sana malah dijawab nanti saya pas mau pulang. Ya sudah deh kami enggak jadi mampir. Akhirnya kami memutuskan untuk ke Japanese Tea House terlebih dahulu.
Pertama Kalinya Saya Pakai Kimono, di Japanese Tea House
Jalan yang kami lewati masih menanjak. Tapi kesejukan sangat terasa. Bukan hanya karena kami berada di ketinggian, tapi juga karena Japanese Tea House ini dikelilingi oleh hutan tropis.
Dalam perjalanan, saya bahkan melewati aliran sungai kecil dan air terjun kecil. Indah dan segar sekali. Banyak juga wisatawan yang berhenti dan berfoto di sini.
Akhirnya sampai juga, dari kejauhan terlihat sebuah rumah bergaya Jepang. Para wisatawan hilir mudik masuk ke dalam rumah tersebut. Ternyata mereka memakai kimono untuk berfoto. Wah, seru juga, pikir saya. Saya pun enggak ketinggalan untuk mencari tahu berapa biaya sewa kimononya.
Setelah bertanya, Mbak-mbak berwajah Jepang itu berkata 20 RM untuk penyewaan selama 10 menit berfoto di bagian dalam rumah, dan 10 menit di luar rumah. Hmm, harga yang wajar sih ya.
Kira-kira saya memilih kimono warna apa ya? Ada aneka warna dengan corak khas Jepang yaitu bunga-bunga. Kimono pria dan anak-anak juga tersedia lho. Sayang Pak Suami dan anak-anak saya tidak tertarik. Cuma emaknya saja yang berminat foto demi dokumentasi dan bekal konten blog:).
Ini pertama kalinya saya memakai kimono. Dulu di Jogja saya seringnya foto pakai hanbok pakaian ala Korea ketika ada acara perkenalan kebudayaan Korea dari Fakultas Sastra. Sementara kimono? Belum pernah! Cara pakai kimono ternyata enggak sesusah yang saya bayangkan.
Meskipun disertai tali temali yang membutuhkan bantuan orang lain. Mungkin karena ini kimono modern kali ya. Hiasan di bagian belakang yang seperti ransel itu juga sudah jadi, sehingga tinggal diikat saja.
Saya mencari spot-spot oke di dalam rumah Jepang tersebut. Ada area minum teh sesuai nama tempat ini. Sayang ritual minum teh tidak dapat saya lihat. Katanya sih seharusnya ada tapi tidak setiap saat.
Ternyata kalau kita mau, bisa mendaftar di meja bagian depan untuk kegiatan upacara minum teh. Cukup membayar 28 RM/ orang dan boleh memilih waktu, yaitu pukul 11.00-11.30, 12.00-12.30, 14.30-15.00, dan 16.00-16.30. Berarti sewaktu saya ke sini, enggak ada yang mendaftar untuk upacara minum teh:)
Forbidden Area!
Sebagai informasi, sewaktu di sana, saya enggak sengaja berfoto di sebuah ruangan yang ternyata merupakan area ibadah. Di bagian tersebut tidak diperkenankan mengambil foto, hoho. Karena saya enggak tahu dan enggak ada plang tulisannya juga, jadi saya minta maaf dong ya.
Spot di Halaman Japanese Tea House
Di halaman sekitar Japanese Tea House terdapat kolam ikan dengan aliran air yang mengalir menuju sungai. Jernih sekali sampai ikan-ikan koi warna-warninya terlihat. Kamu bisa berjalan dan berpose di setapak sembari seolah memberi makan ikan.
Di seberang setapak, kamu akan menemukan sebuah rumah lagi. Tapi kali ini rumahnya lebih kecil. Agak ke atas sedikit ada spot pohon-pohon rindang yang juga bisa dijadikan latar berfoto.
Anak-anak senang sekali bisa berlari-larian di sekitar sungai, dan memegang ikan koi. Najla dan Sara juga bermain tumpuk-tumpuk pasir di sini. Lihat deh gimana mereka bersenang-senang sendiri, ditemani Pakdhenya, karena saya dan suami sibuk foto-foto:D
Waktu ke sana kemarin, banyak wisatawan dari Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Barat. Saya termasuk penasaran nih kok turis Asia Barat banyak ya yang mengunjungi Malaysia?
Berbeda dengan Indonesia, jarang banget kayaknya lihat turis dari negara-negara tersebut. Banyakan malah dari Eropa. Mungkin ada hubungannya dengan penerbangan yang cepat dan lebih murah kah? Atau promosi Malaysia yang lebih gencar di Asia Barat? Hehe intermezo nih ngomongin soal turis.
Bagaimana dengan Tatami Spa dan Botanical Gardennya? Sayang seribu sayang, kami bahkan enggak menengoknya. Kelamaan di Japanese Tea House membuat kami tidak menyadari sudah nyaris satu jam berada di sana. Padahal harusnya kalau mau naik shuttle lagi ya pas sejam berikutnya. Jadi Pak Suami sudah memburu-buru saya nih.
Saat turun dari Japanese Tea House, kami melewati restoran dan toko suvenir. Saya ngotot mampir ke sana, perut sudah keroncongan euy. Eh ternyata malah restonya enggak buka.
Padahal di buku menu tertulis aneka camilan kayak bakpao. Sedyih deh! Kata yang jaga kasir, tinggal es krim saja. Setiap hari mereka buka, kecuali hari itu, Kamis sedang libur. Enggak ngerti juga kenapa hari Kamis libur? Random kah? Atau tiap Kamis? Mungkin ada yang tahu bisa coment di bawah ya.
Suvenir Kece Ala Japanese Village
Saya pun beralih mencari suvenir. Waktu di Central Market berasa masih kurang oleh-oleh untuk Mama. Untung nemu pouch kosmetik cantik bergambar Colmar Tropicale, jadi deh saya membelinya. Ada juga magnet kulkas bentuk gelas yang unyu banget. Sara (anak kedua saya) yang milih, dan saya juga suka:)
Oh ya, ada suvenir kece yang sebenarnya pingin saya beli buat hiasan rumah. Yaitu gantungan ? gitu yang kayak saya lihat di Colmar. Sumpah lucu banget kalau dipasang di halaman rumah. Andai rumah saya sudah jadi, eh sudah dibangun:)
Penting, jangan Lupa Bawa Bekal!
Ketika saya menanyakan apa ada restoran lainnya ke Mbak kasir, ia menjawab ada Ryo Zan Tei Restaurant agak ke bawah sedikit. Restoran itu menjual aneka sushi. Wuih saya sudah membayangkan betapa enaknya makan sushi di Japanese Village. Tapi ternyata restoran tersebut juga tutup. Hiks, apa lagi ada perayaan tertentu ya pada tanggal 10 Juli tersebut?
Ya sudah, akhirnya kami kembali menuruni 88 anak tangga dan berjalan ke tempat Mbahti (mertua saya) menunggu shuttle. Ndilalah benar, shuttle sudah berangkat sekitar 15 menit yang lalu. Masa kami harus menunggu sejam lagi? Membayangkan saya tak sanggup. Apalagi belum makan siang dan enggak ada penjual satu pun:(.
Saya jadi kangen wisata di Indonesia. Meski kadang merusak pemandangan, tapi banyak pedagang makanan, hoho. Sebelum berangkat saya sempat Googling dan salah satu blog mengatakan dia bawa bekal karena makanan di Colmar mahal. Tapi enggak ada yang bilang sedikit penjual makanan, wkkka. Tahu gitu kami bawa bekal sebanyak-banyaknya ya:D
Alhamdulillah enggak sampai 7 menit, ada shuttle tambahan yang berhenti di Japanese Village. Saking banyaknya wisatawan hari itu, sampai-sampai shuttle -nya berangkat tanpa menunggu satu jam kemudian.
Anyway tadinya saya ingin ke Animal Park, tapi Pak Suami bilang enggak akan nyandak waktunya. Lebih baik balik ke French Village buat makan siang dan salat. Iya sih, daripada kami ditinggal shuttle service Colmar dan enggak bisa balik ke KL kan ya.
Sesampainya di French Village, kami langsung mencari restoran mana yang halal dan sesuai selera. Ketemu deh yang namanya “Ele Poulet Roti”. Saya kira menjual roti doang. Ternyata enggak lho. Ada menu ayam panggang dengan berbagai pilihan karbohidrat, termasuk nasi. Cuzz deh kami langsung masuk restoran ini. Bagaimana pengalaman makan saya? Nantikan di tulisan berikutnya:)
Nuansanya Jepang bangetttt
Aku blm pernah tuh pakai Kimono, kelihatannya bisa bergaya juga walau pakaian tradisional. Bagiku PR banget kalau tempat banyak anak tangganya
Bagus banget japanese village nya ya mbk. Rapih bersih tertata, Jepang banget.
Wah ada area yang terlarang tapi ga ada tanda tulisannya ya mbk. Bahaya juga. Saya harus waspada kalau ke sana brarti.
senangnya yang jalan bareng keluarga , mupeng aku mbak, suer.
Eh itu pas pake kimono udah rasa-rasa ada di Tokyo kan ya? heheheee
Tempat wisata Japanese Village areanya luas juga ya… untuk menuju ke sana saja, harus menaiki tangga yang banyak itu hihihi…
Pengalaman Mbak Dian akan saya jadikan pelajaran. Jadi, kalau mau ke sana, harus bawa bekel yang banyak hihihi…
Whuaaa..pemandangannya bagus banget, banyak spot foto oke, yang paling penting foto pakai kimono, kece banget mba Dian, hihihi…bener kalau di Indonesia banyak pedagang makanan, nggak bakal kelaperan kalau wisata
Duh. menarik banget lokasinya. udah berasa jadi warga negara Jepang juga kali ye kalo maen kesana. Sepertinya lokasi wisatanya juga aman buat ngebawa anak anak nih. mantap
Senangnya berada di Japanese villlage…
Tenang dan adem rasanya.
Pastii sibuk popotoan…pemandangannya kece pissan.
Adem asri gitu ya mbak, seneng banget dengan view kolam dan ikan di halaman belakangnya. Bisa nggak ya liburan kesana ðŸ¤