Jika anak dibesarkan dengan celaan, mereka belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, mereka belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, mereka belajar cemas.
Jika anak dibesarkan dengan dikasihani, mereka belajar mengasihani dirinya sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan ejekan, mereka belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan kecemburuan, mereka belajar iri hati.
Jika anak dibesarkan dengan rasa malu, mereka belajar rasa bersalah.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan semangat, mereka belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, mereka belajar sabar.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, mereka belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, mereka belajar mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan persetujuan, mereka belajar menyukai dirinya sendiri.
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, mereka belajar baiknya memiliki tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, mereka belajar jujur.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakukan, mereka belajar adil.
Jika anak dibesarkan dengan kebajikan dan tenggang rasa, mereka belajar hormat.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, mereka belajar yakin pada diri sendiri dan orang lain.
Jika anak-anak dibesarkan dengan keramahan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang menyenangkan untuk ditinggali.
(Anak Belajar dari Kehidupannya- Dorothy Law Nolte)
Saya pertama kali mengenal puisi klasik di atas ketika duduk di bangku SMP. Tentu saja, seperti teman-teman lain seusia saya, masa SMP di tahun 1990-an penuh dengan ketertarikan pada kertas tulis warna-warni nan wangi. Book organizer yang nge- hits dizamannya, berhasil membuat saya sering menulis larik-larik puisi, atau baris-baris lagu yang sesuai suasana hati.
Kala itu, puisi Anak Belajar dari Kehidupannya, atau Children Learn What They Live adalah barisan puisi yang mewakili perasaan saya sebagai seorang anak. Ingin rasanya mendiskusikan kalimat-kalimat tersebut dengan orangtua saya, terutama Mama, tapi saya tidak menemukan cara dan waktu yang tepat.
Hingga puluhan tahun kemudian, saya menjadi ibu dari dua orang putri. Saya sadar, bahwa menjadi ibu tidak mudah, sama tidak mudahnya ketika saya menjadi anak. Saat putri pertama saya lahir, seketika saya juga lahir menjadi pribadi yang baru. Seharusnya baru dalam artian yang bagus, tapi waktu itu tidak demikian. Seiring berjalannya waktu, saya justru menjadi pribadi yang lebih emosional, tidak dapat mengendalikan diri, mudah stres, dan kehilangan minat pada banyak hal. Yang paling mengerikan adalah ada saat dimana saya merasa memori melemah. Mudah lupa, tidak dapat berpikir dengan baik dan tidak dapat memahami persoalan pelik yang seharusnya bisa diselesaikan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi seperti saya.
Ya, ternyata ibu berpendidikan tinggi belum tentu dapat mengurai benang kusut pola pengasuhan dan pendidikan pada anak. Mengapa? Seperti kata Jack Canfield (Co-author Chicken Soup for the Soul dan Chicken Soup for the Mother’s Soul) dalam kata pengantar buku “Anak-Anak Belajar dari Kehidupannya, Nilai-Nilai Parenting Klasik Dunia”, bahwa kebanyakan orangtua belum pernah mendapatkan pelajaran di bidang metode dan teknik khusus tentang interaksi, komunikasi, dan disiplin yang menghasilkan parenting yang welas asih, penuh perhatian, jujur dan adil.
Itulah yang saya alami. Ingin menjadi ibu sempurna, tetapi tidak mempunyai bekal yang cukup. Saya suka membaca, maka saya belajar secara otodidak mengenai pengasuhan dan pendidikan anak. Kalimat yang dimaksud oleh penulis, dengan yang saya ditangkap belum tentu sama. Mungkin saja pengasuhan saya unggul di bagian tertentu, tetapi lemah di bagian lain. Bahkan ternyata, saya melakukan banyak kesalahan yang di kemudian hari baru ketahuan ketika ada masalah yang dialami oleh anak.
Misalnya saja saat anak saya mogok sekolah berbulan-bulan. Saya baru menyadari bahwa ternyata pola komunikasi kami tak sedekat yang saya bayangkan. Saya baru tahu kalau ia didorong temannya, setelah mengorek-ngorek cukup lama. Begitu pula dengan sikapnya yang pendiam di sekolah. Saya pikir tidak ada yang “aneh” dengan sikapnya di sekolah, karena di rumah baik-baik saja. Lancar berbicara, respon komunikasi baik, dan sebagainya. Tapi yang terjadi di sekolah justru sebaliknya, saya menemukan sisi lain, yaitu anak saya tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah.
Baca Cara Mengatasi Mogok Sekolah
Di kemudian hari, saya baru mengetahui bahwa mungkin salah satu pemicunya adalah komunikasi tradisional yang tanpa sengaja saya lakukan di rumah. Memintanya untuk patuh, disiplin, tetapi pada saat yang sama saya mengabaikan perasaannya.
Komunikasi, Kunci Penting Pelibatan Keluarga
Rani Razak Noe’man telah menuliskan dalam bukunya “Amazing Parenting” bahwa ketika berbicara dengan anak-anak, yang paling penting bukanlah apa yang kita katakan, tetapi bagaimana kita mengatakannya. Berhati-hatilah dalam mengeluarkan nada suara dan gerak tubuh saat berbicara dengan mereka. Mendidik adalah mengasuh. Mengasuh adalah berinteraksi dan berkomunikasi.
Cara berkomunikasi inilah yang sebenarnya menjadi kunci dalam pelibatan keluarga di pendidikan anak. Apalagi, saya sudah merasakan sendiri bagaimana kegagalan berkomunikasi mengakibatkan kegagalan dalam dalam pola asuh yang baik. Begitu juga bagaimana distorsi komunikasi menyebabkan distorsi perilaku.
Sebagai contoh, komunikasi tradisional yang saya lakukan (mungkin pula dilakukan oleh orangtua lainnya) adalah saat anak tidak mau makan atau tidur siang. Saya mempertanyakan kenapa anak saya tidak mau makan, dan tidak mau tidur siang. Ia akan menjawab, “Belum lapar.” Atau “Belum ngantuk.” Alih-alih menerima kejujurannya, saya justru berkata bahwa tidak mungkin dia tidak lapar dan tidak mengantuk, padahal sudah berjam-jam tidak makan, dan belum beristirahat. Dan hal tersebut terulang dalam banyak keadaan lainnya. Akibatnya apa? Anak merasa bahwa perasaannya pasti salah. Ia bisa tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, lemah, dan mudah terpengaruh oleh lingkungan.
Lebih parah lagi, bila perkataan saya tidak sejalan dengan perbuatan. Misalnya saja saya berkata bahwa meski sedang libur tetap harus mandi. Lalu ketika tanggal merah, eh saya sendiri malas mandi. Anak-anak akan mengamatinya, dan itu membuat mereka bingung. Orangtua yang dipercaya justru melakukan hal yang tidak konsisten dengan perkataannya. Bila kejadian ini sering terjadi pada hal lainnya, kebayang ya anak bakal sebingung apa.
Dulu, saya tidak mengerti dampaknya. Sampai akhirnya anak saya sering mengalami tantrum, dan kerap bingung sendiri dengan tindakannya. Satu detik mengatakan ingin A, di detik berikutnya mengatakan ingin B. Psikolog yang kami temui berkesimpulan, bahwa terjadi kebingungan dalam pikirannya☹
Baca Pengalaman Menghadapi Anak Tantrum
Terlalu banyak instruksi, larangan, juga membuat anak tidak percaya diri. Padahal saya melakukannya agar semua hal berjalan dengan lancar di rumah. Tetapi pada kenyataannya, di sisi lain instruksi dan larangan saya membuat anak menjadi kurang percaya diri dan kurang inisiatif.
Yang saya ceritakan di atas adalah beberapa hal negatif yang saya alami akibat cara berkomunikasi yang salah. Bukan berarti anak saya enggak ada kelebihan dan keunggulannya ya. Tentu saja ada, tetapi tidak saya masukkan dalam tulisan ini.
Berkomunikasi dengan Generasi Milenial
Saya sepakat dengan kesimpulan Rani Razak Noe’man bahwa era revolusi komunikasi atau yang biasa kita sebut era digital, telah mengubah pola komunikasi. Tadinya, setiap individu berkomunikasi dengan melihat ekspresi dan gerak tubuh, sekarang sebaliknya. Komunikasi bertatap muka telah tergantikan oleh telepon, SMS, Whatsapp, dan via aplikasi lainnya. Tak hanya menghilangkan bahasa nonverbal, tapi penggunaan handphone juga memunculkan ancaman baru, yaitu komunikasi beragam arah.
Perempuan yang katanya jago nyambi (multitasking), tentu dengan mudahnya mengobrol dengan orang di depannya, tetapi di saat bersamaan juga mengetik di sosial media. Dan saya akui, hal tersebut juga terjadi saat saya mengasuh anak. Apa yang terjadi? Komunikasi yang terpecah, mengakibatkan pesan yang ingin kita sampaikan, menjadi tidak diterima dengan baik oleh anak. Dampaknya bermacam-macam. Selain jarak antara orangtua dan anak menjadi lebar, kita pun akan kesulitan, ketika nantinya ingin berdiskusi atau menjadi teman bagi anak.
Saya yakin kita tidak ingin hal itu terjadi bukan?
Generasi milenial tumbuh dengan komunikasi beragam arah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi orangtua, untuk memberikan contoh cara berkomunikasi yang baik, yang penuh perhatian.
5 Cara Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan Generasi Milenial
Saya sudah membaca Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017 mengenai Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Ada tiga bentuk pelibatan keluarga yang dimaksud yaitu pada satuan pendidikan (sekolah), keluarga, dan masyarakat. Kali ini saya akan membahas mengenai cara pelibatan keluarga pada lingkungan keluarga.
Bentuk-bentuk pelibatan keluarga di lingkungan keluarga menurut Permendikbud dapat berupa menumbuhkan nilai-nilai karakter anak di lingkungan keluarga, memotivasi semangat belajar anak, mendorong budaya literasi, memfasilitasi kebutuhan belajar anak.
Bagaimana cara pelibatan keluarga yang aktif dan mendasar? Saya rangkum dalam 5 tips, yaitu:
-
Perbaiki Cara Komunikasi
Mengubah cara komunikasi tradisional yang sudah mendarah daging tentu tidaklah mudah. Ada cara komunikasi otoriter seperti memerintah dan mengancam seringkali kita lakukan. Misalnya saja ketika anak pulang sekolah, maka kita kadang mengatakan, “ Taruh sepatu di tempatnya, kalau enggak nanti Mama buang sepatumu.” Anak mungkin akan menaruh sepatunya, tetapi ia melakukannya karena takut.
Begitu juga dengan cara berkomunikasi permisif seperti mengalihkan dan memberi solusi, juga tidak baik bagi perkembangan anak. Contohnya ketika buku PR anak ketinggalan, lalu kita mengantarkan buku tersebut ke sekolah. Sebenarnya hal ini jadi perdebatan ya. Di satu sisi kita kasian pada anak. Tetapi di sisi lain, anak harus belajar bertanggung jawab. Tentu saja sebelumnya kita sudah mengajari apa saja tanggung jawab anak terkait sekolah. Lain halnya ketika yang ketinggalan adalah bekal atau air minum anak PAUD dan enggak ada kantin, boleh saja mengantar bekalnya. Tapi bila sudah besar, membawa uang saku, anak pasti bisa mencari solusi, entah jajan, atau minta bekal temannya:D
Lalu bagaimana cara berkomunikasi yang sebaiknya kita lakukan? Ada tiga hal penting dalam komunikasi yaitu verbal, voice, dan visual. Percaya tidak percaya, visual yaitu bahasa tubuh dan ekspresi wajah merupakan faktor paling berpengaruh yaitu sebanyak 55%. Diikuti oleh voice (cara mengucapkan kata-kata) sebesar 38%, dan verbal (kata-kata yang disampaikan) hanya 7%.
Kaget enggak? Padahal selama ini saya kira yang paling berperan adalah kalimat yang kita rangkai. Ternyata bukan. Oleh karena itu, sangat penting memahami bahasa tubuh anak. Saat menyampaikan pesan, kita harus melihat suasana hati anak, sampaikan dengan tidak tergesa-gesa, dan dengan perhatian penuh. Saya bahkan bertanya dulu pada anak, “Bunda mau ngomong tentang hal penting X, menurut Najla enaknya kita ngobrol kapan? Sekarang atau nanti malam?” Dan biasanya anak saya justru lebih terbuka dan menerima apa yang saya sampaikan.
Begitu juga ketika anak ingin berkomunikasi dengan kita. Orangtua perlu memberikan bahasa tubuh yang menyenangkan, seperti menghadap anak, mendengar dengan seksama, tidak disambi, dan berempati pada perasaan anak. Dengan mendengar secara aktif (menggunakan mata, telinga, dan jiwa), maka kita dapat memahami perasaan anak, bukan sekadar opini kita.
Dengan komunikasi yang efektif, orangtua dapat memotivasi semangat belajar anak, tanpa harus berteriak-teriak atau mengancam. Begitu juga dengan menumbuhkan nilai-nilai karakter, akan lebih mudah dilakukan, bila terjadi komunikasi yang baik antara orangtua dan anak.
Lebih lanjut, orangtua tidak perlu terlalu khawatir terhadap generasi milenial yang teralihkan oleh banyak hal, baik dari internet maupun dari pergaulan. Bila anak terbiasa berkomunikasi dengan orangtuanya, maka mereka akan membicarakan masalah-masalah yang dialaminya karena tidak takut dihakimi.
-
Jadi Teladan (Anak Belajar dari Orangtuanya)
Seperti puisi di awal tulisan ini, anak-anak belajar dari kehidupannya, dan kehidupan pertama seorang anak adalah di sekitar orangtuanya. Artinya, apapun yang dilakukan orangtuanya lah yang dianggap benar.
Saya mengambil dua poin sebagai contoh menjadi teladan untuk anak di era kekinian, yaitu “Jika anak dibesarkan dengan ejekan, mereka belajar rendah diri dan jika anak dibesarkan dengan pengakuan, mereka belajar baiknya memiliki tujuan.”
Yang pertama terkait dengan rendah diri, anak yang rendah diri dapat mudah terpengaruh hal buruk. Anak yang rendah diri rentan di- bully baik oleh teman-teman sekolahnya, lingkungannya, maupun keluarganya. Atau bisa jadi, anak menjadi rendah diri diawali oleh ejeken yang dianggap wajar.
Di era derasnya arus informasi melalui internet, anak yang rendah diri akan mencari cara agar diterima di lingkungan lain, dan mereka dengan mudah menemukannya di internet. Entah mereka berselancar dimana, dan terdampar dimana, dunia maya sangat luas untuk menampung mereka. Seharusnya, rumah menjadi tempat teraman dan ternyaman, bukan dunia maya. Seharusnya, orangtua menjadi sahabat terdekat, bukan media sosial.
Beri teladan pada anak contohnya adalah dengan tidak mengeluarkan kata-kata ejekan, meskipun sifatnya lelucon, seperti “Lihatlah, anak itu kurus kayak lidi. Enggak pernah dikasih makan apa ya oleh orangtuanya.” Bila kalimat tadi didengar anak, ia akan mengira bahwa boleh menghina orang lain. Meski merupakan fakta sekalipun, ejekan tidak dapat diterima. Karena bila anak anda belajar untuk mengejek dari anda, di kemudian hari ia bisa mengejek temannya, dan ia berkontribusi dalam membuat anak lain menjadi rendah diri.
Baris puisi kedua adalah tentang pengakuan. Kebalikan dari ejekan, pengakuan membuat anak percaya diri. Orangtua yang memberikan teladan mengapresiasi apa yang dilakukan anak, akan membuat anak merasa diakui dan diterima apa adanya.
Pengakuan di sini bukan pada hasil ya, tidak serta merta mengatakan anak hebat, tetapi apresiasi pada proses. Mengapresiasi proses akan menjadi mudah, bila orangtua meluangkan waktu untuk benar-benar melihat anak, menyimak apa yang mereka katakan, mengamati apa yang mereka lalukan, dan mencari tahu perasaan mereka. Hal di atas akan membantu orangtua dalam menentukan kapan kita membiarkan mereka melakukan sesuatu sendiri, dan kapan kita perlu membantunya.
Keteladanan seperti ini baik untuk anak. Orangtua mengembangkan kepercayaan diri anak, sehingga akan muncul sikap berani dalam menggapai sebuah tujuan. Anak-anak yang memiliki tujuan dalam hidup (tentunya tujuan yang baik), akan fokus untuk mencapainya, daripada menghabiskan waktu dengan hal yang tidak ada manfaatnya.
Masih banyak keteladanan lainnya yang bisa dipelajari oleh orangtua. Tentu saja bukan hal yang mudah, karena orangtua juga harus berubah. Tapi, bukankah semua orangtua mau berubah menjadi lebih baik demi anak-anaknya?:) Dengan teladan yang baik, maka orangtua secara tidak langsung menumbuhkan nilai-nilai karakter baik pada anak.
-
Fasilitasi, Bukan Mendikte
Salah satu bentuk pelibatan keluarga menurut Kemendikbud adalah memfasilitasi kebutuhan belajar anak. Memfasilitasi di sini tidak hanya dari sisi materi. Iya, orangtua perlu memilih sekolah terbaik untuk anak. Orangtua perlu memastikan anak tidak perlu pusing dalam pembiayaan sekolah. Tapi ada hal lain yang sama pentingnya, yaitu suasana kondusif keluarga.
Anak dapat belajar dengan baik, bila kondisi keluarga juga baik. Apa gunanya sekolah mahal, jika sampai rumah, anak mendengar orangtuanya terus bertengkar? Apa fungsinya pembelajaran agama di sekolah, bila anak melihat orangtuanya sekadar omong doang tanpa contoh nyata? Ya, memfasilitasi berarti juga memberikan teladan.
Memfasilitasi bukan mendikte, karena merasa sudah membiayai semua kebutuhan anak. Kadang kita lupa, bahwa anak juga punya hak untuk memilih sekolah sendiri. Pada anak yang lebih besar, pemilihan jurusan saat kuliah seharusnya menjadi wewenang anak (dengan bimbingan orangtua). Tapi pada kenyataannya, justru orangtua yang ngotot anak harus masuk jurusan apa.
Bila hal ini juga terjadi pada momen lainnya, anak bukan saja menjadi tidak percaya diri. Ia bahkan bisa menjauh dari orangtuanya. Pelibatan keluarga menjadi sia-sia bila anak sudah menarik diri dari orangtuanya.
-
Beri Kepercayaan Pada Anak
Dalam buku “The Danish Way of Parenting (Rahasia Orang Denmark Membesarkan Anak)”, terdapat sebuah filosofi pengasuhan Denmark yaitu sebuah konsep yang disebut proximal development (perkembangan optimal) yang dikenalkan pertama kali oleh Lev Vygotsky, seorang psikolog perkembangan dari Rusia. Inti dari konsep tersebut adalah anak memerlukan ruang dalam jumlah yang tepat untuk belajar dan tumbuh dalam zona dan jumlah bantuan yang tepat pula.
Sebagai contoh, di awal anak berlatih makan, orangtua boleh saja menyuapi mereka. Tetapi selanjutnya, kita sesekali membantu mereka (misalnya dengan memotongkan lauk menjadi bagian kecil). Dan ketika sudah tiba saatnya, kita tinggal melihat saja, makan bersama mereka, membiarkan mereka makan sendiri.
Itulah yang dilakukan oleh orang Denmark. Orangtua tidak terlalu mencampuri urusan anak, kecuali benar-benar dibutuhkan. Orang Denmark percaya bahwa anak-anak bisa melakukan dan mencoba hal-hal baru, dan hal tersebut memberi ruang pada anak untuk membangun kepercayaan diri mereka sendiri.
Memberi kepercayaan pada anak, tidak sama dengan terlalu banyak mendorong atau menekan. Ketika orangtua terlalu sering memberikan instruksi atau larangan, yang terjadi adalah faktor eksternal lah yang mengontrol perkembangan anak, sehingga fondasi harga diri anak bisa goyah. Fondasi yang mudah goyah, berakibat dengan mudahnya anak ikut arus sesuai dengan lingkungannya. Tidak masalah jika lingkungannya baik, tapi bila sebaliknya? Tentu sebagai orangtua, kita tidak ingin anak terlibat hal-hal negatif hanya karena mudah dipengaruhi, bukan?
Saya dulu berpikir bahwa melindungi anak dari ancaman, stres berarti menjaga kehidupan mereka. Nyatanya, alih-alih terus melindungi mereka, seharusnya orangtua membangun kepercayaan diri dan membuat anak merasa istimewa.
Bila saya melihat ke dalam diri, saya termasuk orang yang lebih suka menghindari konflik dan menghindari stres. Padahal ternyata ketangguhan bukan terbentuk karena menghindari stres, tetapi belajar menjinakkan dan menguasai keadaan. Hmm, mungkin dulu, karena kurangnya pengetahuan parenting orangtua saya, mereka tidak memberikan kepercayaan yang cukup sehingga saya tidak belajar untuk benar-benar menjadi tangguh.
Saya tidak ingin hal itu terulang kembali ke anak, dan ini tidak mudah. Sebagai seorang ibu, naluri untuk melindungi anak dari “kesulitan” menjadi alasan utama. Ya, saya juga masih belajar memberi kepercayaan yang lebih banyak pada anak-anak saya.
Dengan memberi kepercayaan pada anak, maka semangat belajar anak dan budaya literasi pun lebih mudah tumbuh. Beri dorongan yang sesuai dan tepat jumlahnya, sehingga semangat belajar tumbuh dari dalam diri anak. Bukan karena diancam, disuruh, atau karena tidak tega melihat orangtuanya sedih.
Sebuah artikel di sahabatkeluarga yaitu Drone Parenting Pola Asuh Orangtua Milenial menyatakan bahwa generasi milenial diasuh dengan pola baru yang disebut drone parenting. Drone parenting berarti lebih memberi kebebasan pada anak, memberi anak-anak ruang untuk mengeksplorasi hal-hal baru, namun orangtua tetap mengawasi dan mengendalikan melalui jarak jauh. Tentunya orangtua milenial perlu mempelajari pola pengasuhan baru ini. Memaksimalkan kelebihan drone parenting dan meniminalkan kekurangannya, agar anak tumbuh tetap sesuai dengan fitrahnya.
-
Kuatkan Dengan Doa
Tips terpenting dari empat tips lainnya, yaitu doa. Ada sebuah kisah di buku Ayah Edy (pakar parenting Indonesia), yaitu tentang seorang guru yang sedih dan mengeluhkan keadaan salah seorang muridnya. Murid tersebut dianggap tidak mengalami perkembangan terutama dalam hal bahasa, literasi, motorik dan sebagainya. Beragam cara dan teknik pengajaran telah dipraktekkan oleh guru tersebut. Tetapi hasilnya nihil. Saat ia berkonsultasi dengan Ayah Edy, guru tersebut bingung.
Lalu suatu hari, guru tadi bertemu lagi dengan Ayah Edy, dan menceritakan bahwa muridnya telah berkembang pesat. Hal apa yang dilakukannya? Ternyata sang guru mendoakan muridnya dengan tulus dan intens.
Ya, kadang kita lupa untuk mendoakan anak kita secara tulus. Bukan hanya mendoakan keberhasilan karirnya, tapi juga kebahagiaannya, kepercayaan dirinya. Bukan hanya berdoa agar nilainya 100 di sekolah, tapi juga berdoa agar anak kita mengerjakan soal dengan jujur, belajar dengan semangat dari dalam, dan sebagainya.
Pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan generasi milenial, membutuhkan lebih banyak pendekatan yang sifatnya tulus. Pendekatan tersebut sebaiknya dilakukan sejak anak masih kecil, sehingga kelak ketika dewasa, orangtua tidak repot berpikir bagaimana caranya menjadi teman untuk anak. Ketika cara berkomunikasi kita bagus dengan anak, keteladanan kita oke, dan kepercayaan diri anak baik, maka akan lebih mudah dalam menghadapi zaman digital yang serba instan dan cepat.
Jika kita dekat dengan anak, kita tidak perlu takut bila anak bersosialisasi atau mencari informasi menggunakan gawai. Kita mempercayai mereka, karena kita yakin fondasi yang dibangun dari dalam sangat tangguh. Pelibatan keluarga dimulai dari membangun fondasi tersebut. Ibarat rumah, tiang penyangganya harus kuat dulu. Ketika ada angin besar, badai, ataupun gempa, rumah tersebut tetap berdiri tegak.
Bila fondasi sudah kuat, maka manfaat keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak seperti terangkum dalam gambar di atas, dapat lebih mudah tercapai. Anak yang percaya diri akan semangat sekolah,dan perilakunya juga positif di sekolah. Bila semua perilaku anak-anak positif, maka tidak ada lagi bully -an yang dapat membuat anak lain rendah diri. Kalaupun ada, maka kepercayaan diri yang dimiliki oleh anak, bisa menaklukkan dan menghilangkan bullying.
Dengan begitu, anak-anak belajar dengan nyaman sehingga pencapaian di sekolah pun bagus. Atau dalam kata lain, kepuasan orangtua terhadap sekolah juga meningkat.
Saya jadi teringat ketika akhirnya putri saya pindah sekolah. Saya merasa komunikasi dengan gurunya sudah tidak sevisi lagi. Daripada anak menjadi korban, lebih baik pindah. Alhamdulillah, sekarang pencapaian dan perkembangan anak di sekolah sudah lebih baik.
Saya berterima kasih pada pihak sekolah terutama wali kelas yang secara intens membicarakan setiap kejadian yang dialami oleh anak saya di sekolah. Begitu juga dengan kehadiran psikolog yang melibatkan tiga sisi, yaitu anak, orangtua dan guru.
Di sekolah sebelumnya, saya menemui psikolog hanya dengan anak saja, tanpa kehadiran guru. Padahal, para guru juga bisa mendapatkan ilmu dari psikolog.
Dengan komunikasi yang baik antara orangtua-anak-guru, maka iklim sekolah menjadi lebih baik sehingga mendukung kemajuan sekolah. Bukankah tujuan tersebut yang ingin dicapai semua orang yang terlibat dalam pendidikan anak?
Semoga 5 tips pelibatan keluarga di atas dapat dipraktekkan oleh kita semua secara konsisten, termasuk saya. Saya yakin semua orangtua ingin yang terbaik bagi anak.
Jadi, mulailah dari sekarang untuk lebih terlibat dalam pendidikan anak, yaitu dengan cara perhatian penuh terhadap pengasuhan anak. Sejatinya, mendidik adalah mengasuh. Mengasuh adalah berinteraksi dan berkomunikasi. Maka, perbaikilah interaksi dan komunikasi kita dengan anak?
#sahabatkeluarga
Referensi:
Nolte, Dorothy Law dan Harris, Rachel. 2016. Anak-Anak Belajar dari Kehidupannya. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Noe’man, Rani Razak. 2014. Amazing Parenting: Menjadi Orangtua Asyik, Membentuk Anak Hebat! Jakarta: Noura Books (PT Mizan Publika).
Alexander, Jessica Joelle dan Sandahl, Iben Dissing. 2018. The Danish Way of Parenting (Rahasia Orang Denmark Membesarkan Anak). Yogyakarta: Penerbit B first (PT. Bentang Pustaka).
Permendikbud Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan
Drone Parenting, Pola Asuh Orangtua Milenial. https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4923
Aku juga sepakat sih bahwa komunikasi adalah hal utama untuk membentuk karakter anak. Aku juga udah bayang2in, gimana nanti aku berkomunikasi dgn anak. Belajar dulu. Mikir dulu sebelum bertindak. Soalnya anak adalah titipan yg harus dijaga bener2. Aset untuk masa depan.
Aku terbayang. Nanti kalau udah punya anak, tiap kali dia mau tidur, kubisikin kata2 motivasi dll, supaya terekam di memori alam bawah sadarnya. Doa2 juga akan kuselipkan di sana
Aish. Berat bener mikirnya
Wah, keren Mbak! Dulu aku blas enggak ada bayangan punya anak itu bakal gimana, haha. Bayanginnya cuma pas udah gede bisa diajak main bareng:D
Makasih tips-tipsnya mba Dia, sebagai ibu saya pun masih belajar berkomunikasi dengan anak-anak, semoga dimudahkan dalam mendidik mereka
Aamiin, saling mendoakan ya
Huhuu…malu sendiri abis baca tulisan ini.
Semoga doa yang dikuatkan setelah mendapatkan ilmu.
Idem Mbak, saat menuliskannya pun saya berkaca lagi ke diri sendiri, masih jauh dari ideal
Tulisan ini keren banget,aku baru ngeh kalo selama ini ternyata masih banyak yang harus ku perbaiki dalam mengasuh anak. Terimakasih ya
Sama Mbak, aku pun memperbaiki diri terus
Intinya sih harus saling menjaga komunikasi ya mba antara orang tua dan juga anak supaya tidak terjadi hal hal yang miss komunikasi atau hal hal yg tidak diinginkan.
Iya benar Mas, dan komunikasi dengan ortu itu juga enggak mudah, karena beda usia to. Jadi harus menyelaraskan bahasa agar lebih bisa dipahami oleh anak
wahh,, setuju nih mbak, 5 point yang kadang diabaikan saja sama orang tua, karena dianggap gak penting. mendidik dan mengasuh ya mbak. muancap..
Iya benar, makanya jadi ortu juga perlu belajar menurunkan ego
Mungkin krn anakku baru 1, aku jadi agak over protective kak. Apalagi berita2 kejahatan ke anak makin banyak. Nambah khawatir.
Poin 5 ini penting bgt ya. Allah sebaik-baik penjaga.
Iya Mbak, aku yakin hampir semua ortu protektif ke anak. Asal enggak kebablasan enggak papa sih
Mendidik anak ternyata susah² gampang ya mba.. Saya juga baru belajar untuk menjadi seorang bapak nih mba.. terima kasih atas informasinya dan ini sangat bermanfaat banget.. Saya kemarin juga baca di IG bahwa anak itu belajar dengan cara meniru bukan mendengar,, Jadi jadilah orang baik maka anak kelak akan mengikuti menjadi orang yang baik juga
Benar Mas, bagai terlahir kembali lah intinya, hehe
Wah catatan parentingnya bagus banget mbaaakkk… Iyaaa nih cara komunikasi dan interaksi yg penting ya saat ngajak bicara anak. Well noted mbak, makasih sharingnya 😀
Makasih Mbak, ini rangkuman yang kupelajari dan kubaca. Sambil dipraktekkan juga
Saya belum menjadi ibu, (doakan cepat nikah yah#eh) tapi saya punya keponakan. Dan dwngan adanya mereka saya belajar menjadi ibu, dan ternyata susah menjadi seorang ibu, setiap perkaan itu dia ingat, jadi dousahakan jangan salah ngomong kalau nggak bakalan tertanaam sampai dewasa. Saya paling susah menghilangkan kata jangan, pada anak-anak, hehee.
Mengasuh anak sekarang memang lebih keras ya, kadang aja aku dibawa emosi sama ponakan-ponakan aku huhu
Hihi, sabar Mas. Ayo momong anak-anakku
Keteladanan itu emang penting banget ya Mbak, dan saya masih punya banyakkkk pe-er untuk meneladani anak sebaik-baiknya. 4 cara yang lain juga enggak kalah penting sih. Apalagi doa, ya.
TFS Mbak 🙂
makasih Mbak
Akhir orang tua adalah contoh terbaik sang anak. Apa yang dilihat mereka akan dijadikan pedoman karena anak adalah peniru yang baik dan cepat. Harus sejalan banget apa yang diperintahkan orang tua harus dilakukan juga sebagai contoh
Benar Mas, anak belajar dari orangtuanya
mungkin kesalahan yang kebanyakan orang tua lakukan dalam pendidikan bagi anak-anaknya seperti terlalu mendikte dan kurangnya komunikasi ya mbak
Iya Mbak, dan terus terang memang susah, butuh latihan
Ah iya..doa itu yg plg penting, krn penjagaan n kuasa Allah yg bisa memudahkan kita mendidik anak. Mksh insightnya mak..