Sahabat ismi pernah mendengar tentang fast fashion? Bagi yang belum, saya jabarkan ya. Fast fashion merupakan istilah yang menggambarkan produksi cepat pakaian murah dan berkualitas rendah yang sering kali meniru gaya populer label fesyen, merek ternama, dan desainer independen. Tentu saja fast fashion memiliki banyak masalah. Saya bahkan pernah membaca berita bagaimana buruh fast fashion diperah tenaganya dengan upah murah dan kondisi yang tidak manusiawi.

Cara Agar Tidak Terjebak Fast Fashion
Lalu bagaimana caranya agar kita tidak terjebak pada fast fashion? Saya sudah mempraktekkan beberapa cara antara lain lebih memilih pakaian yang timeless. Baik dari segi warna maupun model. Tujuannya agar bisa dipakai hingga puluhan tahun kemudian. Cara kedua adalah dengan rutin declutering, supaya baju yang sudah tidak dipakai dapat diberikan kepada orang lain yang membutuhkan.
Cara ketiga adalah dengan memakai apa yang ada di lemari. Manfaatkan sebaik mungkin. Bila sudah tidak dipakai, baru hibahkan/ donasikan. Cara keempat adalah dengan menggunakan kembali baju-baju lama. Misalnya pakaian milik orangtua. Jangan salah, fashion itu seringkali kembali ke zaman dulu lho. Lihat saja model baju tahun 80-an sering viral lagi.
Cara kelima adalah recycled. Recycled ini maksudnya adalah mendaur ulang baju bekas menjadi bentuk yang benar-benar berbeda. Jadi bentuk lamanya harus dihancurkan terlebih dahulu. Recycle itu harus ada tambahan lain sehingga bisa jadi produk baru. Misalnya baju bekas digunting-gunting untuk dibuat menjadi keset.
Nah, cara berikutnya yang mungkin belum diketahui sahabat ismi adalah upcycling. Apa sih upcycling itu? Upcycling adalah proses daur ulang yang mengubah barang lama menjadi barang yang memiliki manfaat baru tanpa menghilangkan bentuk aslinya. Jika upcycling diterapkan pada fashion, maka sahabatismi dapat mengubah baju lama menjadi baju yang tampak baru. Contoh upcycling fashion antara lain perpaduan kain perca untuk menjadi tas/totebag (dijahit menjadi satu), ecoprint pakaian bekas dari second hand shop.
5 Langkah Upcycling Limbah Kain Menjadi Lebih Bernilai
Lalu langkah apa saja yang diperlukan untuk upcycling limbah kain?
-
Mencari material
Di Ubud, terdapat Cinta Bumi Artisans yang berfokus pada edukasi dan penciptaan karya dari limbah fashion. Kak Novieta Tourisia, founder @cintabumiartisans bercerita bahwa mereka mencari material di toko baju secondhand. Di Bali, memang ada toko secondhand yang menjual baju-baju dari para traveler, yang memang pakaian tersebut ditinggal, tidak dibawa pulang ke negaranya. Kondisi baju-baju tersebut masih sangat bagus dan layak.
-
Proses mendesain
Untuk desainnya sendiri tentu perlu brainstorming, karena harus menyesuaikan dengan model baju, dan memilih hiasan serta pewarna alami apa yang cocok. Misalnya saja untuk ecoprint bisa menggunakan daun jambu, daun jati, kayu putih, hingga bunga marigold.
-
Pewarnaan alami
Cinta Bumi Artisans menggunakan pewarna alami dari kebun WarnaBhumi, limbah dapur seperti kulit bawang merah, dan dari tumbuhan sekitar. Percaya enggak percaya, saya baru tahu kalau banyak tumbuhan yang dapat menjadi pewarna alami. Misalnya saja merah dari secang, pink dari biji alpukat, biru dari tarum, kuning dari bunga gumitir (marigold) dan kulit bawang merah.
-
Mencari rumah baru
Setelah limbah kain/ baju bekas di upcycling, saatnya mencari pemilik barunya. Tentunya nilai baju lama sudah meningkat dengan berbagai treatment yang dilakukan.
-
Menanam kembali
Jangan lupa untuk tetap berkelanjutan dengan menanam kembali tanaman untuk ecoprint ataupun tumbuhan yang dijadikan pewarna alami.
Oh ya, saat online gathering yang diadakan oleh eco blogger squad, saya praktek bikin ecoprint lho. Dulunya saya kira ecoprint itu daunnya harus dipukul-pukul terlebih dahulu agar warnanya nempel di kain. Ternyata tidak harus seperti itu, cukup dengan disusun saja, lalu kainnya dikukus/rebus. Tapi sebelumnya menyusun daun, kain yang digunakan harus dipersiapkan dengan beberapa perawatan terlebih dahulu. Cek gambar di bawah ini ya.
Semua proses treatment hingga pembilasan, menggunakan bahan alami. Lihat deh hasil ecoprint saya, lumayan kan? Sekarang masih saya jemur sampai 7 hari. Setelah itu baru dibilas deh.
Oh ya, sebagai informasi, selain menciptakan karya upcycling, Cinta Bumi Artisans juga mengedukasi warga sekitar. Mulai dari anak-anak sampai lansia usia 60 tahun yang sudah pensiun mengikuti lokakarya ecoprint. Cinta Bumi Artisans juga membangun kebun pewarna alami alami. Mereka berharap bisa sharing dan berkolaborasi dengan berbagai komunitas di Indonesia.

Melestarikan Tenun Iban, Upaya Konservasi Sustainability Fashion
Selain Kak Novieta dari @cintabumiartisans, Indonesia juga punya Kak Margaretha Mala yang tidak diragukan lagi nasionalismenya. Kak Margaretha melestarikan tenun dari Suku Dayak Iban yang sudah hampir punah. Kak Margaretha terpanggil untuk belajar menenun dari inai-inai di Dayak Iban dan mengajari orang-orang yang ingin menenun.
Awal mulanya adalah adanya tradisi menenun di Suku Dayak Iban, menggunakan benang yang diwarnai dengan pewarna alami. Ternyata anak-anak mudanya sudah banyak yang tidak bisa menenun. Padahal tradisi ini merupakan budaya yang selaras dengan timeless fashion.
Proses menenun memang panjang, apalagi menggunakan pewarna alami yang harus dipanen terlebih dahulu, baru dilakukan pembuatan pewarna, dilanjutkan dengan pewarnaan benang. Bahkan di Dusun Sadap, terdapat prosesi nakar/perminyakan khusus untuk motif-motif sakral. Nakar merupakan proses pemberian protein pada benang dengan tujuan untuk mengikat warna agar mampu bertahan lama dan memiliki warna lebih kuat pada kain serta membuat kain menjadi lebih tahan lama. Kak Margaretha bercerita bahwa akhirnya prosesi nakar dilakukan lagi setelah 30 tahun yang lalu.
Ada 4 jenis kain tenun yang sering dibuat oleh Suku Dayak Iban yaitu pile, songket, pilih dan sidan. Kalau dulu jenis dan motif disesuaikan dengan kepentingan yang dipakai di Suku Dayak, tapi sekarang lebih ke selera pasar. Karena sudah banyak permintaan di luar daerah. Kak Margaretha juga menjadi fasilitator ibu-ibu pengrajin tenun Dusun Sadap untuk mempromosikan dan menjual kain tenun pada pembeli dari luar. Harga kain tenunnya kalau mau diadopsi mulai dari 300 ribu rupiah-15 juta rupiah. Harga yang wajar mengingat proses menenun yang panjang.
Sahabat ismi bisa ikutan workshop -nya lho di Dusun Sadap, Kalimantan. Nantinya sahabat ismi akan belajar menenun mulai dari mewarnai benang sampai jadi kain. Pendaftaran workshop saat ini masih dari mulut ke mulut karena listrik saja baru masuk, media sosial belum ada. Dengan kata lain, tidak perlu daftar, cukup janjian untuk kedatangan. Yuks, yang tertarik langsung saja ke kontak di bawah ini.
Oh ya, karena tenun adalah bagian dari gaya hidup berkelanjutan, suku Dayak Iban juga menjaga tanaman pewarna alami. Mereka menanam tanaman pewarna alam di lahan seluas 1 ha dengan jenis tanaman seperti rengat akar, rengat padi, dan mengkudu akar. Mereka memanfaatkannya dengan memanen tanaman pewarna secara lestari jika diperlukan, menanam kembali, dan membersihkan gulma.
Tak hanya itu, Dusun Sadap juga memiliki kebun etnobotani dengan 160 tanaman di dalamnya. Keren, kan? Semuanya dijaga, dan dimanfaatkan dengan penuh kesadaran. Tidak ada eksploitasi tumbuhan, atau perusakan lahan. Dari dua srikandi di atas, saya belajar banyak hal. Bahwa sustainability fashion/ fashion berkesadaran dan berkelanjutan bisa dicapai dari usaha perseorangan di kampung halamannya. Tidak harus dalam skala besar atau kuantitas besar.
