Review Film Bumi Manusia, 3 Jam Lama Enggak?

Facebooktwitterredditmail

Sebelumnya mau disclaimer dulu kalau review ini ditulis oleh penikmat film yang belum baca buku Bumi Manusia. Jadi ketika nonton filmnya, saya tidak berekspektasi bahwa film mirip bukunya, baik isi cerita, penokohan, dan sebagainya. Tentu saja hasil review bakal berbeda jika yang menulis adalah orang yang sudah membaca buku Pram yang luar biasa ini.

Sinopsis:

film bumi manusia

Ini adalah kisah dua anak manusia yang meramu cinta di atas pentas pergelutan tanah kolonial awal abad 20.Inilah kisah Minke dan Annelies. Cinta yang hadir di hati Minke untuk Annelies, membuatnya mengalami pergulatan batin tak berkesudahan. Dia, pemuda pribumi, Jawa totok. Sementara Annelies, gadis Indo Belanda anak seorang Nyai.Bapak Minke yang baru saja diangkat jadi Bupati, tak pernah setuju Minke dekat dengan keluarga Nyai, sebab posisi Nyai di masa itu dianggap sama rendah dengan binatang peliharaan.Namun Nyai yang satu ini, Nyai Ontosoroh, ibunda Annelies, berbeda. Minke mengagumi segala pemikiran dan perjuangannya melawan keangkuhan hegemoni bangsa kolonial.Bagi Minke, Nyai Ontosoroh adalah cerminan modernisasi yang kala itu sedang memulai geliatnya. Ketika keangkuhan hukum kolonial mencoba merenggut paksa Annelies dari sisi Minke, Nyai Ontosoroh pula yang meletupkan semangat agar Minke terus maju dan memekikkan satu kata, “Lawan!”

Producer:

Frederica

Director:

Hanung Bramantyo

Writer:

Salman Aristo

Cast:

Iqbaal Ramadhan, Mawar De Jongh, Ine Febriyanti, Donny Damara, Ayu Laksmi, Bryan Domani, Giorgino Abraham, Chew Kin Wah

Distributor:

Falcon Pictures

Sumber : 21cineplex.com

Saya pertama kali mendengar tentang buku Bumi Manusia sekitar empat tahun yang lalu yaitu tahun 2015. Waktu itu, saya mengikuti les IELTS di Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia. Di sana, saya bertemu dengan teman-teman dari berbagai usia dan profesi. Ada yang masih single, ada yang sudah menikah. 

Suatu hari saat istirahat, salah seorang teman yang masih single membuka obrolan tentang pernikahan dan rumah tangga. Lalu teman lainnya, laki – laki yang sudah menikah dan mempunyai anak berkata, “Coba deh baca novelnya Pram, Bumi Manusia, bagus.” 

Saya yang mendengar percakapan tersebut spontan menimpali, “Kok referensinya buku fiksi? Karya Pram sih memang enggak perlu diragukan lagi. Tapi apa benar sebagus itu sampai harus dibaca sama laki-laki yang ingin berkeluarga?” 

Seorang ayah merekomendasikan buku Bumi Manusia untuk temannya yang masih single. Wah, berarti isi ceritanya bisa menyentuh sisi kemaskulinan, kebapakan, ego, sekaligus harga diri laki-laki nih, batin saya kala itu. 

Saya sempat mencari Bumi Manusia, tapi tak kunjung dapat. Pernah juga ada yang melelang tapi harganya cukup tinggi. Hingga akhirnya bertahun-tahun kemudian, ada wacana bahwa Bumi Manusia akan difilmkan.

Novel Bumi Manusia dicetak ulang ketika akan dijadikan film. Sebagai informasi, novel ini merupakan bagian pertama dari Roman Tetralogi Buru dengan latar belakang keadaan di Indonesia awal abad ke-20.

Pada akhirnya saya belum sempat membaca novel Bumi Manusia dikarenakan beberapa hal. Hamil, pindahan, dan segala kehebohan yang menyertainya. Sampai film Bumi Manusia tayang. Maka yang saya lakukan adalah menonton filmnya, tanpa clue satupun.

Ulasan dari teman-teman pembaca novel sudah tentu melintasi lini masa media sosial saya. Ada yang memuji, tak sedikit yang kecewa di beberapa bagian atau penokohan. Kalau soal banyak yang kontra saat Iqbal menjadi Minke sih saya sudah dengar sejak dulu. Image Dilan yang rekat dengan Iqbal menjadi salah satu alasannya. Saya paham banget, penggemar novel Pram pasti tidak ingin Minke diperankan sembarangan. Mereka punya imajinasi sendiri tentang bagaimana sosok Minke.

Ulasan Bumi Manusia, 3 Jam Terasa Cepat atau Lama?

Saya nonton sendirian di Pesona Square, Depok. Ambil yang pukul 18.10 biar enggak kemalaman pulangnya. Konsekuensinya bakal telat datang karena harus magriban dulu. Mau magriban di Pesona Square kok nanggung, suami juga belum pulang kalau saya berangkat cepat. Akhirnya memutuskan salat magrib di rumah, terus langsung kabur naik mobil online. Secepat-cepatnya naik mobil, tetap saja saya baru masuk bioskop pukul 18.25.

Lumayan lama kan telat ya? =D. Jadi enggak ikutan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang kabarnya jadi saya tarik karena cukup sentimentil. Kapan lagi menyanyikan lagu tersebut di bioskop?

Saya datang ketika adegan Minke bertemu Annelies. Hal yang saya kagumi untuk pertama kalinya adalah sinematografinya. Pengambilan gambar yang bagus, lengkap dengan setting film yang mumpuni. Saya juga terpesona dengan dialek Bahasa Belanda, Bahasa Jawa, dan Bahasa Indonesia yang diucapkan dengan medok oleh para pemeran film.

Saya jadi membayangkan, wah zaman dulu orang Indonesia pada bisa Bahasa Belanda ya. Memang terlihat keren-keren gimana gitu. Padahal kita lagi dijajah.

Pemandangan di sekitar setting film juga bagus banget. Pedesaan, danau, laut, semuanya indah. Tak nampak suasana penjajahan. Lagi-lagi, padahal kita sedang dijajah. Minke dan Nyai Ontosoroh menyadarinya, dan mereka berusaha melawan.

Akting Para Pemeran

Saya salut dengan akting Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh. Ada adegan-adegan di mana aktingnya terlihat sangat matang. Teriakan yang mantap dan menggema. Bahkan raut wajah saja sudah menggambarkan isi hatinya. Berhasil membuat saya menangis. Saya seolah merasakan penderitaannya sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu.

Annelies? Cantik, lugu, dan rapuh. Sebenarnya, jika hanya melihat filmnya, menurut saya Annelies kurang berkarakter. Saya yakin novel Bumi Manusia menggambarkan Annelies yang lebih menarik, karena Minke saja tertarik padanya, bukan?

Akting Ayah dan Ibunya Minke (Ayu Laksmi) sangat pas. Menjiwai, terutama sang Ibu. Terasa sekali bahwa apapun yang terjadi, ia selalu mendoakan yang terbaik untuk anak – anaknya. Percaya pada anaknya, yakin anaknya bisa melewati berbagai cobaan, dan tentu saja selalu memotivasi. Duh jadb mewek lagi. Kalau saya jadi ibunya Minke, belum tentu sebijak itu. 

Bagaimana dengan Iqbal sebagai Minke? Sebagai penonton film Bumi Manusia yang belum membaca novelnya, menurut saya akting Iqbal lumayanlah. Meski di beberapa adegan, pancaran mata Minke kurang tajam. 

Tentang pelafalan, aksen, vokal, saya kasih dua jempol untuk Iqbal. Ekspresi dan karakter Minke yang sepertinya masih bisa dieksplor. Saya yakin Iqbal sudah berusaha keras untuk itu. Secara garis besar, oke lah ketika lawan mainnya Annelies. Tapi ketika beradu akting dengan Ine Febriyanti dan Donny Damara, ya agak kebanting sih:). Tapi saya masih bisa menikmati film Bumi Manusia dong.

Alur Cerita Film Bumi Manusia

Tadinya saya kira 3 jam akan terasa lama. Nyatanya tidak. Justru saya berharap ada lanjutannya. Alur cerita cukup cepat, terutama saat konflik di peradilan mual mencuat. Bahkan saya menemukan banyak klimaks di film ini. Keren! Novelnya jelas mengaduk-aduk emosi karena konflik pasti lebih intens dibanding film.

Banyak kebijakan di zaman Belanda yang baru saya tahu, karena di pelajaran sejarah saat sekolah dulu tidak sampai sedetail itu. Kami anak-anak Indonesia hanya tahu tanggal dan permukaan sebuah peristiwa. Padahal nyatanya, begitu dalam akibat yang bisa ditimbulkan dari sebuah hukum atau kebijakan.

Sinematografi, Setting, dan Properti

Ada yang bilang bahwa pengambilan gambar pada film Bumi Manusia khas Hanung banget. Shoot jarak dekat di adegan klimaks yang memperlihatkan ekspresi. Baju-baju yang bagus, dan sebagainya. Terus terang, saya tidak terlalu memperhatikan sepak terjang atau ciri khas film karya Hanung. Bagi saya, memang properti pada film Bumi Manusia terkesan rapi, bersih, baru. Entah memang digambarkan seperti itu di novelnya, atau seharusnya tidak seperti itu.

Setting tempat yang saya ketahui salah satunya di Desa Wisata Gamplong di Sleman, Yogyakarta. Rumah Nyai Ontosoroh berada di lokasi ini. Wah, jadi memang settingnya sampai dibuat segala. Sebuah usaha yang Patut diacungi jempol. Tebing-tebing, pantai, dan danau yang indah di film Bumi Manusia jadi saksi dan bukti bahwa alam Indonesia memang indah. 

Kesimpulan

Kesimpulan saya, film Bumi Manusia recomended untuk ditonton. Bukan hanya bagi kaum muda saja, tapi juga keluarga (pasangan suami-istri). Saya cukup menyoroti tentang ikatan Ayah dan anak laki-laki, ikatan Ibu dengan anak laki-lakinya. Duh ternyata sosok Ayah punya pengaruh besar terhadap sifat dan perilaku anak laki-laki.

Kasih bintang 8 deh dari 10 bintang. Good job Bumi Manusia:)

(Visited 753 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

17 thoughts on “Review Film Bumi Manusia, 3 Jam Lama Enggak?

  1. Sri Widiyastuti Reply

    Mbak, aku belum nonton bumi manusia dan tadinya gak begitu tertarik nonton. Tapi setelah baca review mbak, jadi penasaran juga hihi entahlah, aku suka dengan wanita wanita yang berkarakter dan pejuang. Ingin menyerap inspirasinya.

  2. Nefertite Fatriyanti Reply

    Memang sebaiknya justru nonton filmnya dulu, baru baca novelnya.
    Atau kalau udah baca novelnya, nonton jangan terbebani ekspetasi. Asyik nontonya kan ya.
    Novel-novel Pram memang kuat, justru salut sama Hanung yang mengangkatnya ke layar lebar.

  3. Memez Heidy Prameswari Reply

    Aku sudah nonton nih Mbak, 3 jam memang berasa lama banget. Trapi… luar biasa ya filmnya. Puas banget… kagum sama Minke, menangis karena Annelies dan ikutan kesal sama apa yang dirasakan Nyai Ontosoroh. Buatku sih… bravo deh buat tim pembuat dan aktor-aktrisnyaaa

  4. Nurul Sufitri Reply

    Wah, pas bener nih aku lagi searching film Bumi Manusia loh. Penasaran sama teman2 yang udah nonton. Katanya bagus, lama banget sampai 3 jam ada kisah apa aja tuh? Kudu beli popcorn dan minuman yang banyak ya di bioskop hehehe. Sangat mengapresiasi semua pemain film ini deh..berusaha mendekati karakter, bahasa, dll. Patut ditonton nih. Biarkan aja yang bilang si DIlan kok main di sini? hehehehe 😀

  5. Ade UFi Reply

    Kemarin pas nonton Mahasiswi Baru, ada trailernya, langsung saya bookmark di hati. Waah ini wajib nonton nih. Saya juga mau lihat peran Iqbal yg sudah identik dengan Dilannya. Tapi kayaknya sad ending ya? Kasih spoi dong happy atau sad ending?

  6. Rach Alida Reply

    Tiga jam tapi klu filmnya bagus kayaknya emang nggak berasa lama deh. Aku udah lam nggak nonton film selama ini dan penasaran mau mencoba nonton ah 🙂

  7. Gita Siwi Reply

    Kalau ditanya lama atau nggak ya nggaklah kak karena banyak juga kan film film dengan durasi jam.yang sama. Belum nonton nih. Dan tertarik juga sama film ini.

  8. Eskaning Arum P. Reply

    Makasih udah kasih review mba. Aku pun belum baca novelnya dan udah banyaj review berseliweran tentang filmnya. Aku jadi ingin nonton juga deh. Jadi 3 jam gak terlalu lama ya karena suguhan filmnya memukau

  9. April Hamsa Reply

    Gak lama sih kalau diniatin nonton haha, sayang gak ada waktunya jd ntr nunggu dia tayang di manaaa gtu 😀
    Sementara ini aku takbaca2 dulu novelnya aja. Aku kangen eh baca novel kyk gtu, keinget zaman SMP SMA suka sekali baca novel genre gtu, mbayangin sejarah saat kita msh dijajah bangsa asing…
    Btw tengkyu reviewnya, tapi gak ada bocoran jalan ceritanya nih mbak haha

  10. Shine Reply

    Mbaaa, aku baca reviewmu ga berkedip dari awal sampai akhir… Aaak, jadi mupeng nonton, tapi anak bayi sama siapa ya? *lha, malah nanya wkwk… Reviewmu membuatku sungguh penasaran mbaaa

  11. Mira Utami Reply

    Serius aku baca ini reviewnya ampe abis. Karena agak pemilih untuk nonton film Indonesia. Bukannya gak cinta sama perfilman Indonesia sih tapi agak kecewa saja beberapa kali nonton film Indonesia yg dibintangin papan atas dan sutradara terkenal juga tetep aja bikin kapok.

    Terakhir nonton Film Indonesia si Doel karena udah tau aja karakternya kuat dan mainnya gak lebay.

    Untuk bumi dan manusia belum tertarik untuk nonton sih baca2 dan liat reviewnya dulu. Biasanya klo Ibuku mau nonton baru deh aku berangkat.

    Tapu suka sih reviewnya gak sebatas bagus2in atau jelek2in kayaknya pas deh buat review film selanjutnya

  12. Lisdha Reply

    duluuu bgt pas kuliah ngebut baca novel ini..kayaknya hanya dalam bbrp hari tamat karena mmg menarik jd ga mau menunda2 menyelesaikan bacanya (dan lanjut sampai tetraloginya). biasanya kalau uda baca novelnya saya nggak kepengin nonton filmnya krn takut kecewa (eaaaa). tapi di film ini saya kepengiiin tp sekaligus sulit buat nonton kalau sama anak2. jd TFs ya mbak 🙂

  13. Evita fitriani Reply

    Akhirnya nonton filem ini. Saya udah lam baca bukunya bahkan udah sering diulang2.

    Para pecinta karya Pram garis keras berpikir Pram sedih dengan adanya adaptasi yg dianggap gagal. Pram berduka karena sosok Minke diserahkan pada aktor kemarin sore. Pram akan marah karena pesan novelny tak disampaikan dengn baik.

    Tapi sebagai pembaca setianya, aku bukan bagian dari mereka. Mencintai karya sastranya tanpa harus mensakralkannya, sehingga tetap bisa mengapresiasi segala usaha dalam filem ini.

    Nyai Ontosoroh (Ine febrianti) telah menjadi nyai yg sesuai bayanganku di novel, bahkan melebih ekspektasiku dari versi teaternya. Annelis (mawar Eva), meski sifat kekanakannya kurang keluar, tapi sorot mata dukanya tersampaikan dengan baik. Dan, Minke (Ikbal ramadhan) yg juga pernah saya sangsikan, 65% emosi (sisi pyhlogynic, perayu, sisi labil, cerdas dan rapuh) Minke bisa disampaikan dan 35% (sisi kokohnya terimpit Ama sisi kokohnya nyai) tidak gagal memang, hanya butuh lebih banyak pengalaman apalagi lawan mainnya aktor teatrical semua, dan mengingat Minke memang sosok yg kompleks di novelnya. Tapi kepiawaiannya berbahasa Belanda, Jawa dan Prancis patut diapresiasi.

    Oya, karena selama ini saya terpapar sosok Minke yg selalu dewasa dan mapan seperti Reza Rahadian atau versi teater lain yg bisa dilihat di YouTube, rasanya Minke versi Ikbal ini seolah mengantarkan kembali ke versi novelnya, dimana Minke hanyalah seorang remaja 18 tahun yg tidak sengaja masuk ke dalam serentetan masalah dimana remaja lain seusianya tidak mengalami hal tersebut.

    Worth untuk ditonton, minimal sekali saja:)

  14. Raja Lubis Reply

    Durasi 3 jam terasa tidak lama berkat penyuntingan yang dinamis. Saya menempatkan Bumi Manusia sebagai Film Indonesia Paling Keren 2019 No. 1 di blogku mbak.

Leave a Reply

Your email address will not be published.