Bali, sebuah pulau yang menyimpan berjuta potensi wisata. Bali, daerah yang budayanya penuh makna. Bali, negeri yang arus modernitas nya sangat cepat. Bali, saya tak pernah puas menjelajahinya.
Saya ingin melihat Bali tempo dulu, Bali yang warganya masih memegang erat budaya. Saya ingin menyelami kehidupan Bali masa lalu, Bali yang jauh dari hingar bingar kehidupan modern.
Makanya saat berada di Bali beberapa bulan lalu, saya dan suami mengunjungi Desa Panglipuran. Sebuah desa yang masih memegang erat budaya leluhur. Sebuah desa yang masih mempertahankan arsitektur bangunan dan tata kota Bali masa lampau.
Tak hanya itu, Desa Panglipuran juga mendapatkan penghargaan karena kebersihannya. Desa Panglipuran dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia bersama desa Desa Terapung Giethoorn di Provinsi Overijssel Belanda, dan Desa Mawlynnong yang ada di India. Wah, sebersih apa ya desanya?
Rindangnya Hutan Bambu Menuju Desa Panglipuran
Desa Penglipuran berasal dari akronim kata pengeling dan pura yang berarti mengingat tempat suci (para leluhur). Saya dan suami merental motor selama lima hari di Bali. Berbekal gmaps, kami berangkat dari Ubud menuju Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Tak sampai satu jam, kendaraan kami mulai mendekati Desa Panglipuran.
Jalan yang kami lewati sudah diaspal, mulus dan lebar. Sekitar 1 km dari Desa Panglipuran, terbentanglah hutan bambu yang rindang. Saya meminta Pak Suami untuk berhenti sejenak. Pohon bambu berwarna hijau menjulang ke atas.
Sebuah spot swafoto berupa panggung kecil berdiri di pojokan. Undakan mini terbuat dari semen mengarah menuju bagian atas panggung yang berwarna merah. Rakitan bambu berwarna coklat muda dengan bolongan berbentuk love ditengahnya mengundang untuk didatangi. Beberapa tangkai bunga warna-warni tersampir di kanan dan kiri love. Sebaris kalimat “Smile, Dewi Panglipuran” menambah cantik spot swafoto tersebut.
Saya turun dari motor, lalu berjalan kaki menyusuri hutan bambu. Bambu-bambu tumbuh di kanan dan kiri jalan, seperti sebuah gerbang. Pak suami mengeluarkan kamera handphone nya. Saya memencet tombol timer. Lalu memejamkan mata. Ciuman mendarat di pipinya. Cekrek!
Masih belum puas, saya berjalan ke arah bambu yang lebih lebat. Pak suami menginstruksikan untuk pura-pura menoleh ke belakang. Cekrek!
Desa Panglipuran pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru pada tahun 1995 karena berhasil merawat 75 hektar hutan bambu dan 10 hektar vegetasi lainnya. Salut, karena sampai tahun 2018 ini, hutan bambu tersebut masih lebat.
Puas berfoto, saya dan suami menaiki motor kembali. Kami mengikuti rute gmaps dan sampailah di Desa Panglipuran. Sepetak halaman parkir terbentang di hadapan. Saya melihat beberapa motor dan mobil terparkir di sana. Kaki saya menjejak konblok abu-abu. Suami mencari tempat teduh untuk memarkir motor.
Melihat Lebih Dekat Desa Panglipuran
Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah kantor lurah berdiri dengan gagah. Ada beberapa bangunan lain di sana. Temboknya berwarna kuning tua. Mata saya berhenti pada peta Desa Wisata Panglipuran. Suami mengambil foto peta. Seulas senyum dilempar oleh Bli penjaga lahan parkir.
Loket tiket terletak tak jauh dari peta. Suami membeli tiket masuk untuk dua orang. Kami melangkahkan kaki ke arah gerbang masuk. Sebuah spanduk bertuliskan ” Selamat Datang di Desa Panglipuran” menyambut kami. Di bawahnya terdapat batu peresmian Desa Panglipuran, desa berbasis masyarakat. Pada tanggal 15 Desember 2012, Ir.Firmansyah Rahim, Dirjen Pengembangan Pariwisata membubuhkan tanda tangannya menggunakan tinta emas di batu tersebut.
Tak jauh dari batu peresmian, saya melihat dua buah patung dengan telapak tangan menyatu di depan perut. Posisi tangan mereka seolah mengucapkan selamat datang. Kain kotak-kotak hitam putih khas Bali, dibalut kain polos berwarna merah menyelimuti bagian bawah kedua patung tadi.
Saya dan suami berjalan di atas konblok bermotif. Sebuah balai berbentuk panggung dengan atap rumbai kelapa berada di kiri jalan. Di bagian kanan, terhampar taman mungil dengan beberapa tempat duduk mengelilingi pohon-pohon. Maju sedikit, terdapat menara pengawas dengan arsitektur Bali. Tiga buah kentongan tergantung di atas menara tersebut. Kentongan sendiri merupakan alat komunikasi zaman dahulu.
Saat kecil dulu, kentongan dibunyikan di desa saya, ketika ada hal-hal genting terjadi, seperti huru-hara, bencana alam, kebakaran, atau ada maling. Dengan kata lain, kentongan digunakan untuk menyampaikan sebuah berita. Wah, ternyata Desa Panglipuran masih menjunjung budaya masyarakat zaman dahulu.
Kaki terus melangkah, hingga saya sampai di sebuah plang bertuliskan Temple 150 m dan Bamboo Forest 250 m ke arah kanan. Sedangkan Monument 250 m dan Karang Memadu 150 m ke arah kiri. Belum sempat memutuskan akan ke arah mana, seorang Mbok dengan pakaian kasual memanggil untuk masuk ke rumahnya.
Rumah itu bernomor 36, letaknya tepat di belakang plang. Setelah melewati gapura rumah, saya melihat sebuah meja panjang dengan makanan dan minuman tradisional di sebelah kiri.
“Masuk, darimana asalnya?” tanya ibu berkaos merah dan bercelana pendek putih.
“Jogja, Bu,” jawab saya.
“Oh Jogja. Ayo silakan lihat-lihat.” Ibu tersebut menggiring kami untuk terus masuk ke dalam.
Tatanan rumah begitu unik. Jadi, ada beberapa bangunan yang dimiliki oleh setiap kepala keluarga. Di bagian depan kiri, terlihat sebuah balai atau gazebo mungil dengan atap rumbia. Sedangkan kanannya berdiri pura kecil yang tampaknya digunakan oleh pemilik rumah untuk beribadah.
Bangunan utama berada di bagian dalam. Bentuknya sudah agak modern dengan teras berlantai keramik. Di depan teras, saya melihat bangunan kecil yang masih tradisional.
“Ini apa ya, Bu?” tanya saya sembari menunjuk ke arah bangunan kecil.
“O itu dapur, masuk saja ke dalam. Boleh.”
“Wah, ternyata dapur,” batin saya.
Pintu dapur sangat kecil, untung badan saya yang mungil muat. Saya melongok ke dalam dapur berukuran kurang lebih 2×3 m. Kayu bakar menumpuk di tengah. Teko air berada di atas tungku tradisional. Lemari cokelat tua menempel di dinding.
Keluar dari dapur, mata saya terpaku pada aneka suvenir khas Bali. Mulai dari kerajinan tangan, lukisan, hingga sandal Bali. Ibu pemilik rumah mengajak saya melihat-lihat kain songket Bali. Motifnya unik, warna-warni. Saya membolak-balik tumpukan kain, lalu mengambil satu yang berwarna marun tua. Hiasan berwarna emas menambah cantik songket Bali ini.
“Coba dulu saya,” ujar ibu tersebut.
Saya membuka lembaran kain. Kaki kanan saya masuk ke sejenis lubang di sebelah kanan. Sedangkan kaki kiri masuk ke lubang kiri. Sang ibu menarik kain ke arah belakang lalu membawa bagian ujungnya ke atas dan mengikatnya dengan tali yang berada di kain bagian depan. Kain seketika berbentuk celana.
“Berapa ini, Bu?” tanya saya.
“110 ribu.”
Saya mengeluarkan selembar seratus ribuan dan sepuluh ribu lalu menyerahkannya pada ibu tersebut. Celana tradisional Bali tetap melekat di kaki saya. Langkahpun semakin mantap menyusuri Desa Panglipuran.
Saya dan suami berbelok ke arah kanan, yaitu ke arah temple. Jalan konblok dengan berbagai motif terbentang panjang. Di kanan dan kirinya terdapat rumput hijau. Tiap rumah di Desa Panglipuran memiliki arsitektur yang serupa tapi tak sama. Arsitektur bangunan sejak zaman leluhur masih dipertahankan.
Gapura kecil beratap rumbai kelapa di bagian depan. Terdapat nomor rumah di sebelah kanan. Tatanan bagian dalam rumah mirip dengan rumah Mbok tempat saya membeli kain. Ada tempat ibadah (pura) kecil dan balai di depan. Lalu rumah utama dan dapur.
Mata saya menangkap lukisan indah lagi dan makanan khas Desa Panglipuran. Warnanya ungu, bentuknya bulat kecil. Satu boks mika berisi 10 butir. Sewaktu saya gigit, gula jawanya keluar. Ternyata ini klepon versi Bali, dari ubi ungu.
Rasanya enak, kenyal, persis klepon. Parutan kelapanya dipisah, jadi untuk cocolan. Satu porsi dihargai 5000 rupiah.
Selain klepon ubi ungu, ada juga kopi Bali dalam bentuk bubuk, dan minuman tradisional khas Desa Panglipuran, yaitu Loloh Cemcem. Warna Loloh Cemcem hijau lumut. Di kemasannya tertulis komposisi daun cemcem/daun dapdap, buah asam, gula, garam dan ada kelapa mudanya.
Saat saya mencicipinya, rasanya sedikit pahit (rasa daun), asam, manis dan gurih. Nano-nano gitulah. Kalau menurut saya mirip rasa minuman gula asam, tapi ada pahitnya. Tenggorokan saya menjadi segar. Apalagi minumnya pas haus dan panas terik setelah berkeliling Desa Panglipuran.
Saya dan suami berjalan sampai ke ujung. Sebuah pura berdiri dengan gagah. Namanya Pura Penataran. Kami menaiki beberapa anak tangga. Di kanan dan kiri kami terdapat dua buah patung yang disarungi kotak-kotak hitam putih.
Patung itu dinaungi oleh payung polos berwarna merah berumbai. Gagang payun terbuat dari bambu panjang yang dicat merah-putih, sedangkan ujungnya diberi hiasan berwarna emas.
Suami meminta saya untuk berfoto di depan pura. Pintu pura ditutup dan memang sepengetahuan saya tidak bisa dimasuki. Ada undakan kecil untuk menuju pura, dengan patung di kanan dan kirinya, serta payung berwarna kuning dan ungu.
Beberapa turis mancanegara juga berfoto di depan pura. Lokasi ini memang spot foto yang populer. Beberapa anjing hitam hilir mudik di depan saya dan suami. Sebenarnya saya agak takut, tapi sepertinya anjing tersebut tidak galak. Mungkin sudah terbiasa bertemu orang asing.
Di samping pura terdapat sebuah pendopo yang cukup besar. Saya sempat membaca bawah di Desa Panglipuran ada aktivitas kursus menari Bali, mempelajari kehidupan sosial dan kebudayaan Bali zaman dulu, dan sebagainya. Tapi saat ke sana, sedang tidak alda aktivitas tersebut.
Ada yang bilang jika ingin melihat keseharian unik penduduk di Desa Panglipuran, datanglah saat Galungan. Maka penjor akan dipasang di kanan dan kiri jalan. Lalu masyarakat berbondong-bondong keluar rumah memakai pakaian adat dan membawa sesaji untuk melaksanakan tradisi Galungan.
Saya dan suami memang tidak berkeliling sampai ke Monumen dan Karang Memadu, karena kami harus mengejar check out hotel dan mengejar penerbangan kembali ke Jogja. Ngomong-ngomong tentang tiket pesawat ke Bali saya ingin cerita sedikit.
Kamu bisa mendapatkan tiket pesawat murah jika jeli melihat promo tiket pesawat. Saya mengecek harga tiket pesawat untuk bulan Januari 2019 ya. Persis ketika saya ke Bali, saya juga berangkat di bulan Januari. Harga paling murah adalah 452.210 rupiah. Tapi harga ini bisa lebih murah bila memesan lewat aplikasi PegiPegi.
Caranya instal dulu aplikasi PegiPegi melalui Play Store. Isi data lengkap, nanti kamu akan menerima e-mail verifikasi. Setelah itu langsung cari tiket pesawat ke Bali.
Sedang ada promo tiket pesawat, tanggal 12- 14 Desember kemarin promo 212 (8% maksimal 212.000 rupiah). Sedangkan dua hari ini yaitu tanggal 15-16 Desember diskon 110.000 rupiah terbang ke sema rute domestik, termasuk ke Bali. Periode keberangkatan boleh kapan saja. Wah, menarik sekali, bukan?
Langkah pertama adalah memilih gambar pesawat (flight) lalu mengisi kolom yang tersedia, antara lain bandara asal dan tujuan, tanggal keberangkatan, jumlah penumpang, dan lain-lain.
Ikuti tahap berikutnya yaitu konfirmasi isian kolom.
Kemudian akan keluar pilihan maskapai. Teman-teman dapat memfilter, misal dari harga termurah. Saya memilih yang paling atas karena sudah saya urutkan harganya.
Kemudian muncul halaman Konfirmasi. Pastikan pilihan dan data penerbangan sudah benar ya.
Langkah selanjutnya adalar pembayaran. Di tahap inilah teman-teman dapat memasukkan promo tiket pesawat.
Isi kode promo yang sudah diberikan di awal pemesanan tiket. Selanjutnya akan keluar total harga setelah diskon.
Lumayan banget, kan? Sebelum menggunakan promo tiket pesawat, jangan lupa membaca syarat dan ketentuannya ya. Asyiknya memesin tiket pesawat ke Bali via PegiPegi ya begini, banyak promonya. Teman-teman dapat melihat sendiri detailnya di aplikasi ya.
Bali tidak hanya tentang pantai-pantainya yang indah, atau kehidupan malamnya yang hingar-bingar. Warga Bali juga masih memegang teguh budayanya. Salah satu saksinya adalah Desa Panglipuran. Rasakanlah Bali tempo dulu di Desa Panglipuran, niscaya teman-teman akan takjub dengan keramahan dan uniknya tradisi Bali.
Sebenernya apik spot2nya foto, tapi ku kesini dan ramainya poll, kudu balik lagi kayaknya ya.
iya kalau ramai banget jadi bocor ya fotonya
Sumpah asri banget sih t4nya mbk, mupeng banget pengen ksni. Smg next time bs mampir Penglipuran. Buat foto2 keren nih bersihhhhhh bgt.
aamiin, iya bersih nit
aamiin, iya bersih nih
Kapan gitu ya bisa ke sana dengan pak suami dan anak, mupeng anget sih mbak aku jadinya
insyaallah secepatnya Mbak
Menikmati tempat ini seperti terlempar ke masa lampau. Menikmati makanan otentik semakin memperkaya pemahaman kuliner ya kak, belum lagi keadaan desanya yang sangat mendukung. indah dan nikmat
Lah..jadi pengen nyicip klepon ungu itu. Hahahaha
Kudu ke Bali dulu donk ya…,
Bali emang destinasi Wisata impian semua orang.
DEsa panglipuran nya , suasana desanya tanpak sejuk dan damai.
Dapurnya bersih dan rapi meskipun menggunakan tungku dan kayu bakar ya Mbak.
Dan Klepon dari ubi ungunya sukses bikin saya mupeng
Desa Panglipuran ini benar2 menggambarkan kondisi Bali tradisional ya. Suasana Bali keseluruhan bisa terasa di sini.
Klepon bali sungguh unik ya warnanya ungu, jadi pengen icip-icip juga, Desa Panglipuran masih sangat khas pedesaan tempo dulu ya, unik banget
Suasananya klasik banget ya mbak, trus juga nih kalau mau ke destinasi yang serupa kan gak ribet, ada pegipegi, simple. cusss
wuah terjaga ya suasana Bali nyaa… kayak Bali jaman dulu banget
desa Panglipuran masuk whislist travelku tahun depan, hoho
Btw, pegi-pegi biasanya ngasih harga lebih murah loooh, hehe
Asri tenanbikin hati adem pikiran tenang, mudah2 an suatuhari. Nanti. Bisa. Kesini
Bulan Desember ini sahabat aku ada yang menikah di Bali. Tapi, aku batal berangkat karena ada beberapa project yang harus diselesaikan di Jakarta.
Aku paling suka wisata live in di desa seperti ini. Selain bisa menikmati panorama yang masih asri, kita juga bisa berinteraksi dengan warga lokal. Semoga aku bisa ke tempat ini*
Wuaaahh pengen ke sana. Saat zaman aku ke Bali dulu2 nama desa ini kyknya belum sehits sekarang. Semoga #2019BisakeBali terwujud. Pengen mampir Panglipuran. Kalau beli tiket di pegi2 mayan jg yaa 😀
Kain Balinya cantik bgt mbak, bisa dipakai saat acara resmi ataupun buat pakaian casual.
Aku jadi inget film suzanna yang calon arang, seru banget lihat potret kehidupan ali bali di desa panglipuran ini.