Bila tradisi leluhur masih dilestarikan, maka peradaban bangsa akan terus dikenal oleh generasi mendatang. Ya, budaya setempat adalah warisan tak ternilai untuk anak cucu kita.
Banjarnegara merupakan sebuah kabupaten di Jawa Tengah, dengan ibukota bernama Banjarnegara juga. Menurut Wikipedia, luas Banjarnegara 106.970,997 hektar atau 3,10% dari luas seluruh Provinsi Jawa Tengah. Kota kecil di Jawa Tengah ini melahirkan cukup banyak tokoh di Indonesia lho, seperti Ebiet G.Ade penyanyi lagu tahun 70-an, dan Chris John sang petinju legendaris.
Banjarnegara yang dikenal sebagai kota dawet ayu, menyadari pentingnya mengabadikan adat-istiadat yang ada. Oleh karena itu, pemerintahnya begitu mendukung kebangkitan dan pengembangan tradisi, salah satunya dengan menjadikannya sebagai potensi wisata. Beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah adalah mendampingi pengembangan desa wisata, serta membantu mempromosikannya, baik untuk pelancong domestik maupun internasional.
Beruntung, saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat di Banjarnegara yang sarat tradisi. Antara lain sentra pembuatan keramik Klampok, desa wisata Gumelem dengan batik Gumelemnya, dan Desa Pagak dengan kesenian musik Gumbengnya. Ketiganya memberikan pengetahuan baru dan kesan tersendiri bagi saya.
Keramik Klampok, tentang poci dan kisah pembuatannya
Keramik Klampok tidak seperti tempat pembuatan keramik lainnya, karena sebagian besar produksinya adalah poci. Klampok merupakan pemasok poci terbesar di Banjarnegara, bahkan mungkin di Indonesia. Hampir seluruh poci di Tegal, termasuk milik perusahaan the seperti 2 Tang, Tong Tji, Sariwangi dan Sosro. Tak hanya itu, distribusi keramik Klampok juga sudah mendunia.
Baca Belajar Tahan Tempaan dari Keramik Klampok Banjarnegara
Melihat dari dekat pesona batik Gumelem
Desa Gumelem berjarak kurang lebih 40 km ke arah barat daya ibukota Kabupaten Banjarnegara. Di tempat inilah terdapat puluhan industry rumahan yang merupakan UKM batik tulis Banjarnegara atau lebih sering disebut sebagai batik Gumelem. Untuk mencapai desa ini, wisatawan dapat melewati Kabupaten Banyumas, yaitu di pinggir jalan raya Susukan. Nah, ketika terlihat gapura besar Desa Batik Gumelem Banjarnegara, itu artinya suda sampai di sentra pembuatan batik Gumelem.
Rombongan media dan blogger sampai di desa wisata Gumelem saat ada Gelar Budaya dan Sosialisasi Budaya bersama Hj.GKR.Ayu Koes Indriyah, anggota DPR RI/MPR RI wakil Provinsi Jawa Tengah. Dari sini terlihat, kan, dukungan pemerintah terhadap pelestarian budaya di Banjarnegara? Saya pun optimis bahwa batik Gumelem akan tetap diminati oleh generasi muda.
Kami disambut dengan tarian tradisional Banjarnegara. Meski saya lupa nama tariannya apa, tapi saya acungi jempol untuk anak-anak yang menari dengan indahnya. Tarian juga bagian dari budaya, kan? Dan harus terus didukung kelanggengannya.
Kembali ke batik Gumelem, sekilas saya melihat batik yang dipajang di acara gelar budaya ini beraneka warna. Usut punya usut, ternyata batik Gumelem aslinya justru berwarna gelap, seperti cokelat, dan hitam. Kalaupun tidak segelap itu, warnanya cenderung natural karena menggunakan pewarna alami.
Sementara untuk batik yang berwarna terang dan cerah, adalah inovasi dari pembatik di Desa Gumelem, agar lebih diterima oleh masyarakat modern. Untuk motifnya sendiri, corak khas dari batik Gumelem adalah udan liris dan rujak senthe. Motif bunga-bunga juga sering tampak pada batik Gumelem.
Harganya pun termasuk terjangkau lho. Batik tulis dihargai sekitar 300-600 ribu rupiah, sedangkan batik capnya bisa ditawar hingga harga 50 ribu rupiah. Ada juga yang sudah berbentuk kemeja atau outer, dengan harga 300 ribu rupiah karena merupakan batik tulis.
Saya bersama rombongan juga sempat mengunjungi SMP 2 Susukan di Desa Gumelem. SMP ini memiliki muatan lokal membatik, khususnya batik Gumelem. Wah, semakin terbukti bahwa pelestarian budaya tidak main-main, langsung menyentuh generasi mudanya.
Pemandangan di SMP 2 Susukan mengundang decak kagum saya. Ada anak-anak yang dengan piawainya membatik menggunakan canting.
Murid lainnya membuat pewarna untuk mencelupkan batik bila telah selesai ditulis. Ada juga yang merebus batik setelah diwarnai.
Agak ke dalam sedikit, di sebuah ruangan, tampak beberapa anak yang sedang menggambar pola menggunakan pensil. Mereka terlihat tekun dan telaten sekali.
Bersama Bapak Ibu Guru SMP 2 Susukan. Foto by @bajalananblog
Saya salut kepada bapak ibu guru dan sekolah yang memfasilitasi agar murid-murid dapat mengenal dan aktif berperan untuk kelestarian batik Gumelem. Apalagi kalau suatu hari nanti, salah satu dari mereka ada yang mau menjadi pengusaha batik. Semoga saja ya.
Musik Gumbeng, antara wujud syukur dan tolak bala
Usai mengagumi pesona batik Gumelem di Desa Gumelem dan SMP 2 Susukan, saya dan rombongan bertolak ke Desa Pagak. Di sana kami salat zuhur sekaligus dijamak dengan asar.
Setelah salat, warga dari Desa Pagak menghidangkan soto yang enak sekali rasanya. Soto ini beda, karena ada taburan kacang ulek yang biasanya saya temukan pada lotek. Saya pikir rasanya akan aneh bila dijadikan campuran soto, atau makanan berkuah. Ternyata enggak sama sekali, justru segar dan enak. Apalagi ketupat yang dipakai adalah kupat landan, yaitu ketupat yang direbus dengan sari dari rendaman abu pelepah kelapa, sehingga warna yang dihasilkan pun menjadi kecokelatan. Rasa ketupat tersebut juga beda lho, lebih manis dan gurih, duh susah diungkapkan dengan kata-katanya. Lebih ada rasanya gitu intinya.
Seusai makan, saya pun mengantuk karena kenyang, tapi kami tak boleh tidur. Ternyata kami sudah ditunggu di pendopo oleh para pemusik Gumbeng. Wah, musik seperti apakah itu, batin saya bertanya. Kabarnya, Gumbeng adalah kesenian tradisional yang nyaris punah. Oleh karena itu, sedang berusaha dihidupkan kembali oleh masyarakat setempat dan pemerintah Banjarnegara.
Saya ayunkan kaki selangkah demi selangkah menyusuri Desa Pagak, menuju pendopo. Sampai di lokasi, saya tertegun melihat beberapa laki-laki tua menggunakan baju batik berwarna cokelat, dengan lilitan kain berwarna hitam dikepala. Di hadapan mereka berjejer alat musik yang berbahan baku bambu. Selain itu ada dua orang perempuan di sana. Yang satu memegang sebilah bambu besar yang tengahnya berlubang, sedangkan satunya menggenggam mik. Kalau ditotal, jumlah pemusik Gumbeng mencapai ada dua belas orang.
Salah seorang dari mereka menyapa kami, mengucapkan selamat datang di Desa Pagak. Bapak tersebut juga menjelaskan secara singkat mengenai musik Gumbeng yang akan mereka mainkan. Musik Gumbeng diketahui dibuat oleh para petani di Desa Pagak, Banjarnegara pada tahun 1921.
Musik Gumbeng ini pada awalnya tercipta karena petani membutuhkan hiburan sehabis panen. Mereka mencari bahan logam untuk membuat alat musik, tetapi kondisi saat itu tidak memungkinkan. Bahan logam pun tidak didapatkan. Akhirnya, para petani mengambil alternatif lain yaitu dari bambu.
Bambu yang digunakan adalah bambu petung dan bambu wulung (yang kayak gamelan). Bambu memang lebih mudah ditemukan, dan mempunyai ruas yang panjang, sehingga nada yang dihasilkan pun bagus.
Cara pembuatan alat musik Gumbeng adalah dengan memotong bambu kering, lalu bambu tersebut dikupas dan dipahat hingga membentuk dawai. Selain itu,disiapkanlah sebilah bambu untuk menghasilkan nada, dengan cara dipukul. Sekilas jadi mirip gamelan ya, tapi bedanya menggunakan bambu.
Dua belas orang pemusik Gumbeng memegang alat musik yang berbeda-beda, yaitu empat orang memainkan Gumbeng, dua orang menabuh Keprak, dua orang memegang Dendem, satu orang memainkan Kecruk, dan dua orang lainnya menabuh Gong serta melodi. Kemudian satu orang lagi, biasanya perempuan, menjadi pesinden yang akan menembang. Seni Gumbeng jika disajikan dengan Gumbengnya saja kurang meriah. sehingga dikombinasi dengan alat lain dari bambu. Oleh karena itu, wajar bila membutuhkan kurang lebih dua belas orang pemain musik.
Saat mereka memainkan lagu Sekar Dandang Gula menggunakan musik Gumbeng, saya pun terdiam karena terpesona. Seolah ada magis yang menguar dari alat musik tersebut, atau mungkin dari lantunan bahasa Jawa yang disenandungkan pesinden. Sekar Dandang Gula ini ternyata dimainkan untuk menolak bala. Biasanya akan ada upacara khusus untuk tolak bala, misalnya menjauhkan penyakit dari anak-anak atau bayi.
Seperti sudah saya singgung sekilas di atas, pada zaman dahulu, awalnya seni Gumbeng pada merupakan musik para petani saat panen tiba. Gumbeng merupakan wujud syukur petani terhadap hasil panen, sekaligus diyakini sebagai ritual untuk berterima kasih kepada Dewi Sri atau yang dikenal sebagai Dewi Padi. Tak hanya itu, Gumbeng juga dijadikan alat untuk mengusir hama atau penyakit, serta meminta hujan. Semua itu dilakukan sembari memanjatkan doa agar kegiatan pertanian mereka senantiasa lancar dan dapat panen sesuai yang diinginkan.
Menarik juga ya sejarah dan tujuan musik Gumbeng dimainkan. Yang jelas, keberadaan musik Gumbeng di Desa Pagak ini merupakan budaya dari leluhur yang perlu digaungkan kembali. Meskipun mungkin tak semua warga Pagak berprofesi sebagai petani, tapi bukan berarti musik Gumbeng mati begitu saja. Justru sudah saatnya musik Gumbeng diminati lagi oleh kaum muda, sebagai bukti kearifan lokal yang dapat menjadi simbol peradaban bangsa. Semoga, musik Gumbeng selalu lestari.
Rombongan media dan blogger bersama para pemusik Gumbeng. Foto by @bajalananblog
“Famtrip Blogger dan Media diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Banjanegara”
Beruntuuung kita bisa menikmati kekayaan Banjarnegara scra langsung y mba.. Hm, pengen jalan2 ke sana lagi niih..
Itu foto sotonyaaaa … bikin ngilerrr. Saya suka dengan kerajinan pocinya, pengen punya satu hehehe. Dan musik Gumbeng itu mirip ya dengan angklung meski dengan satu bambu. Keren, Teh.
Pemerintah Kab. Banjarnegara benar-benar serius ya ingin mengembangkan potensi budayanya. Patut dicontoh, tuh 🙂
Kalau batik Gumelem saya udah lama tau, taunya dari mb Siti Maryamah. Penulis, blogger, juga jualan batik Gumelem 🙂
wah iyakah? ada blogger yang jual batik Gumelem? jadi kepo
Gumbeng itu apa bedanya dengan kentongan mbak?
Wah batiknya bagus2 yaaa. Salut kalau di sekolahan anak2 diajari prakarya yg mengusung kearifan lokal TFS
gumbeng buat musik Mbak, kentongan bukan to? Iya anak2 diajari membatik gumelem
mari lestarikan budaya indonesia, biar gak di bajak negara lain..
sip benar mbak