MENGGANTIKAN CINTA, DENGAN CINTA

Facebooktwitterredditmail

Pernahkah anda menikmati suatu momen tetapi cepat atau lambat harus melepas momen membahagiakan tersebut? Jika pernah, itulah menyapih.

Pernahkah anda berharap bayi anda segera tumbuh besar, berhenti menyusui, tanpa kehilangan keintiman dengan anak anda? Jika pernah, itulah menyapih.

Pernahkah saat buah hati anda tertidur lelap, dan anda memandanginya begitu lekat, berharap dapat terus menyusuinya, tetapi retina mata takdapat berbohong bahwa dia sudah menjelma menjadi gadis kecil? Jika pernah, itulah menyapih.

Weaning with love, menyapih dengañ cinta. Bagaimana mungkin menggantikan cinta dengan cinta? Sementara menyusui adalah kisah paling mesra yang mengeratkan ikatan antara ibu dan anak. Percaya tak percaya, di situlah seninya menyapih.

Pertama kali mendengar tentang konsep WWL, yaitu saat saya mengikuti kelas edukasi AIMI di Yogyakarta. Saya yang sedang menggendong bayi berusia tiga bulan membatin, “Hmm…sepertinya tidak terlalu susah.” Pengisi materi WWL mengatakan bahwa untuk menyapih, dapat menggunakan cara jitu, yaitu mengganti rutinitas atau kenyamanan menyusui dengan aktivitas lain seperti memeluk, mencium atau membacakan dongeng sebelum tidur. Dan semuanya dilakukan secara bertahap. Terdengar mudah, bukan? Ternyata kenyataannya tak semulus membalikkan telapak tangan.

Menjelang usianya yang ke 18 bulan, saya sudah mulai sounding pelan-pelan ke Najla, putri saya. Yang terjadi adalah, dia semakin lengket, sebentar-sebentar minta ASI, seolah takut kehilangan bundanya. Berbanding terbalik dengan hati saya yang sudah kebelet menyapih, alasannya sepele, hanya karena Najla termasuk susah makannya. Dan kata orang-orang, kelak, jika sudah disapih, makannya pasti lebih banyak. Oke, entah ini fakta atau mitos, saya bertekad menyusui selama 2 tahun. Maka, bila harus menyapih, ya diantara usia tersebut. Pertimbangan lainnya adalah karena ambang kenyamanan Najla terhadap tidur nyenyak termasuk kurang, jadi nyaris hampir setiap malam saya begadang, terutama setelah usianya diatas 6 bulan. Saat nglilir dimalam hari, Najla otomatis mencari ASI, bukan karena haus atau lapar, tapi sepertinya lebih karena kenyamanan dan meminta perlindungan. Ketika beberapa teman menyatakan bahwa setelah disapih anaknya menjadi lebih nyenyak tidur, maka semakin besar keinginan saya untuk menyapih Najla.

Sounding dimulai, dengan kalimat, “Najla udah gede, udah nggak mimik bunda lagi ya.” Najla biasanya menjawab, “Emoh, Naja mimik Bunda.” Lalu saya mengubah sounding, “Najla udah gede, yang mimik Bunda itu adek bayi yang belum bisa jalan.” Eh dijawab, “Naja..oek..oek..” alias menirukan suara bayi menangis agar dianggap belum gede. Ada-ada saja kan kepintaran Najla. Bundanya mulai putar otak. Pernah bilang mimik bunda pedas, mimik bunda sakit, mimik bunda habis. Dan direspon dengan tangisan mengiba, duh makin gundah gulana deh saya. Lagi pula dengan kalimat bohong seperti itu, namanya bukan menyapih dengan cinta, kan?

Saya juga pernah mencoba memakai kalimat perbandingan dengan orang lain. Seperti, bunda nggak mimik, ayah nggak mimik, jerapah nggak mimik, Najla juga nggak mimik ya? Eh dijawab “Naja mimik Bunda….”. Gagal lagi deh.

Dari sharing dengan beberapa teman,ternyata tiap anak punya respon yang berbeda terhadap sebuah kalimat. Nah, kita harus menemukan kalimat yang sesuai dengan pola pikir anak kita. Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami, beberapa kalimat justru direspon Najla dengan ekstrim, yaitu tangisan bahkan tantrum. Suatu ketika, Najla yang sedang mengantuk dan makan sedikit, berhadapan dengan saya yang sedang kelelahan. Dia meminta ASI dan terus menempel hingga saya tidak bisa kemana-mana, sementara saya saat itu berada di rumah orangtua dan LDR dengan suami. Kala saya merasa Najla sudah cukup lama menyusu, dengan refleks, saya melepas hisapan Najla, sambil berkata, Sudah ya, Nak.. Tanpa disangka, justru berakhir dengan teriakan amukan yang diikuti oleh air mata putri saya. Itulah titik nadir dimana saya memutuskan harus segera menyapih Najla. Egois? Ya, saya akui memang ego mengalahkan naluri keibuan saya. Saat itu yang terlintas adalah Najla sudah terlalu besar untuk menyusu, saya sudah terlalu sering mengalah menuruti keinginan Najla yang masih sering meminta ASI padahal bukan lagi kebutuhan pokoknya diusia balita.

Sempat saya berniat untuk mengoles obat merah atau sekedar menempelkan hansaplast di payudara, dengan harapan Najla menolak menyusu. Tapi entah mengapa niat tersebut tidak jadi terlaksana, mungkin saya tidak cukup tega atau karena saya tahu hasilnya pasti akan membuat Najla menangis dan bingung.

Oke, selain mencari kata yang tepat untuk sounding, saya juga mulai harus mengganti ritual Najla sebelum tidur. Sebelumnya ritual ini sebenarnya juga sudah dikenalkan sejak dini, seperti mengganti baju sebelum tidur, mencuci kaki dan tangan, membaca buku cerita atau menonton video edukasi anak-anak dari HP. Tapi tetap saja, ritual terakhir yang dicari Najla adalah menyusu. Mulailah saya mencari cara lain, yaitu dengan tidur terpisah dari Najla, alias Najla tidur dengan Ayahnya, sedangkan saya di kamar sebelah. Pertama-tama lumayan berhasil, beberapa kali Najla tertidur tanpa ada saya. Tapi ketika terbangun di malam hari, tetap yang di cari adalah saya. Menawarkan air putih atau susu UHT di gelas, kadang diterima kadang ditolak.

Saat usianya yang ke 24 bulan, saya sempat stres karena penyapihan tidak kunjung membuahkan hasil, bahkan proses ini cendrung menjauhkan hubungan saya dan Najla karena sikap saya yang terlalu ingin cepat sukses menyapih. Sementara Najla, menurut pandangan saya, masih sangat menikmati momen menyusu, apalagi saya hampir 24 jam di dekatnya.

Suara-suara sumbang mulai masuk ke telinga saya. Ada yang menyarankan di beri botol dot susu formula. Ada yang menyarankan Najla dibawa tinggal di Yogya saja, pisah sementara dengan saya. Duh, bagaimana bisa kami berjauhan. Sedangkan opsi memberi dot juga tampaknya nggak mungkin, mengingat Najla nggak bisa ngedot, hanya digigit-gigit. Lagipula, jika menyusui digantikan oleh dot sama saja bukan menyapih, melainkan hanya memindahkan proses menyusu, sehingga nantinya harus menyapih yang kedua kali.

Saya masih ingat, saat seorang teman membuat pernyataan,
Menyapih adalah proses melepaskan, dengan ikhlas, dari dua sisi, ibu dan anak.”

Bagai tertampar dengan kutipan tersebut, saya mulai meredam keinginan menyapih. Saya lebih legowo, dan lebih santai menjalani proses pendewasaan ini. Saya berusaha berdamai dengan diri sendiri. Saya lebih mengakrabkan diri dengan anak saya. Membelai Najla, memberinya pelukan dan pujian. Saya sadar bahwa memaksakan Najla untuk berhenti menyusu merupakan weaning with no love, bahkan sadis. Akhirnya saya menahan diri untuk tidak menolak keinginàn Najla, tetapi juga berusaha konsisten tidak menawarkan ASI. Coba tebak, apa yang terjadi? Najla 95% sukses WWL. Tiba-tiba suatu malam, ketika akan tidur dia berkata, “Bunda, mimik dikit aja, segini…” Seraya Najla menunjukkan satu ruas jarinya. Ternyata cara paling efektif untuk menyapih Najla adalah mengurangi menyusui, walaupun selama ini sebenarnya ya sudah berkurang. Jadilah beberapa malam Najla hanya “maknyut” menyusunya, setelah itu dilepas sendiri dan tidur sendiri.

Hingga suatu hari, saya lupa kapan pastinya, pada usianya yang ke 25 bulan, Najla sudah nggak pernah minta mimik lagi. d secara nggak sadar bisa tidur sendiri, kadang dikeloni ayahnya, kadang sama bundanya. Ketika malam nglilir pun kami tawarkan air putih. Jika menolak, Najla biasanya akan tidur kembali dengan sendirinya. Pernah, kala Najla susah memejamkan mata, saya yang sudah sangat mengantuk menawarkan ASI, lalu dengan lantang Najla menjawab, “Nggak Bunda.” Sebuah kalimat yang mengharukan saya, Najla mampu melewati proses WWL ini dengan caranya sendiri.

Foto dokumen pribadi
Foto dokumen pribadi

Kini, 12 Maret ini, usianya 26 bulan, tak terasa dua minggu lebih, Najla sudah lulus WWL.. Sebuah proses yang bisa dibilang cukup panjang hingga akhirnya memetik hasil yang membanggakan kami bertiga, Ayah Najla, Najla dan saya. Sebuah proses yang seharusnya diawali dengan niat yang bersih, diikuti dengan kelapangan dada dalam perjalanannya, untuk kemudian diakhiri dengan manis

Oh ya, satu hal yang perlu dipahami, menyapih butuh dukungan dari orang-orang terdekat dan keluarga. Anak harus merasakan kehangatan tidak berkurang sedikit pun, walaupun sudah tidak menyusu. Oleh karena itu, sangatlah penting peran Ayah, Nenek ataupun Kakek (bila tinggal serumah atau sering bertemu), atau pengasuh (bila ada). Sebisa mungkin mereka tidak mengingatkan atau menawarkan anak untuk menyusu. Sebisa mungkin mereka tidak mengungkit-ungkit atau meledek jika anak belum bisa berhenti menyusu, karena ini pasti berpengaruh kepsikisnya. Anak yang sensitif, akan menganggap ejekan yang dilontarkan sebagai tanda pengasingan, tentu saja berakibat menurunnya kepercayaan diri. Anak yang reaktif, seperti Najla, justru penasaran dan mungkin saja semakin tidak mau berhenti menyusu. Pada intinya, keluarga dekat sebaiknya membuat suasana yang kondusif, agar si kecil selalu merasa nyaman dan agar si kecil dapat mengandalkan semua anggota keluarga (tidak hanya ibunya) ketika anak anda membutuhkan tempat untuk berteduh..

Untuk para ibu yang saat ini sedang berproses WWL, satu pesan saya, perbaiki niat. Ubah paradigma ibu yang tadinya mungkin ingin “bebas” dari kelengketan anak, yang mungkin karena takingin terus “dirongrong” oleh lingkungan, ataupun karena alasan supaya anakku lahap makan, ubah pikiran tersebut. Niatkan untuk sama-sama berproses melatih kemandirian pada anak, niatkan untuk sama-sama belajar bahwa melepaskan sesuatu yang membahagiakan, pasti terjadi dalam kehidupan. Dan kita punya kemampuan untuk memilih cara melepaskan yang nyaman, serta menggantinya dengan cinta yang sama. Ya, menggantikan cinta dengan cinta. Menggantikan menyusui dengan pelukan, ciuman, dan belai kehangatan.

 

Tulisan ini diikutsertakan dalam kisah inspiratif WWL TATC

(Visited 387 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

Leave a Reply

Your email address will not be published.