Benarkah karir bisa diulang? Sebuah quote di media sosial begitu menampar saya sebagai orangtua. Bermula dari viralnya anak dari pegawai Dirjen Pajak yang kelakuannya menghebohkan satu Indonesia. Perilakunya diidentikkan dengan kurangnya kasih sayang atau perhatian dari orangtuanya. Tak hanya itu, bahkan dihubungkan dengan harta orangtuanya yang dianggap tidak halal.
Sebagai nitizen yang tidak mengenal keluarga tersebut, saya tidak bisa memastikan apakah benar sang anak kurang kasih sayang. Tapi yang bisa saya pastikan adalah orangtuanya gagal mendidik anak tersebut.
Kejam? Ya, anggap saja begitu. Sebagai orangtua pasti ada perasaan menyesal. Mengapa tidak mendidik dengan lebih tegas. Atau mengapa tidak mempunyai ikatan yang lebih dekat ke anak. Atau mengapa tidak menjadi figur teladan bagi anak.
Lalu, apakah benar bahwa karir bisa diulang, tapi mendidik anak tidak bisa diulang?
Berkaca dari pengalaman saya, kalimat di atas benar adanya. Saya termasuk ibu yang menunda karir saat anak-anak masih kecil. Terutama ketika pertama kali menjadi ibu. Karena suami saya adalah pencari nafkah utama, maka saya mengambil peran untuk lebih mengalokasikan waktu bagi pendidikan anak di rumah.
Mulai dari stimulasi tumbuh kembangnya, hingga pemenuhan nutrisinya. Tidak sempurna, tapi saya sudah melakukan yang terbaik. Bahkan ketika anak saya didiagnosa berkebutuhan khusus, saya merasa sangat bersalah. Seolah masih tidak cukup baik mendidiknya.
Dengan mengambil peran di rumah, otomatis karir menjadi tertunda. Posisi saya dan suami sebagai perantau, tidak memungkinkan untuk meminta bantuan keluarga untuk menjaga anak-anak. Sama halnya dengan melepas anak hanya berdua dengan ART, saya awalnya tidak seberani itu. Karena Jabodetabek berbeda dengan Jogja. Banyak kasus mengerikan di sini, seperti penculikan anak, atau memanfaatkan anak orang lain untuk mengemis.
Tapi belakangan, ketika akhirnya saya berkarir sebagai freelancer, saya mulai mendelegasikan urusan rumah tangga dan pengawasan anak ke ART. Tentunya yang bisa dipercaya, dan sudah terbukti baik dan dekat dengan anak-anak.
Kembali ke karir, memang tidak mudah untuk kembali on track ke karir impian. Karir impian saya adalah berpraktik di rumah sakit, atau menjadi dosen. Pasca menikah, saya menjadi apoteker di rumah sakit. Jadi sebenarnya karir impian sudah tercapai. Tiga bulan setelah menikah, saya hamil. Karena satu dan lain hal, akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan di kampung halaman yaitu Jogja sehingga akhirnya resign dari rumah sakit. Sedih sih, tapi saat itu, resign adalah keputusan terbaik.
Satu setengah tahun kemudian, saya kembali ke Depok bersama anak pertama. Selama dua tahun menjadi ibu rumah tangga, berbagai kegalauan melanda. Saya mulai merencakan untuk kembali berkarir. Salah satu caranya adalah dengan bersekolah lagi.
Setiap akhir pekan, saya mengikuti kelas IELTS di FIB UI. Saya juga mulai menerima pekerjaan sebagai penulis freelance. Selain itu, saya juga menjalankan bisnis online yang bisa dikerjakan dari rumah. Intinya, saya mencoba untuk kembali bekerja semampu saya dengan tetap mendampingi tumbuh kembang anak.
Pada akhirnya, saya jadi melanjutkan S2 di Jogja, dan lulus setelah dua tahun. Tepat sepuluh tahun setelah menunda karir, saya mendapatkan kesempatan lagi untuk mengapai karir impian. Sebenarnya saya sudah sempat mengajar pada tahun 2018, tapi saat itu masih online karena kampusnya di luar pulau. Tahun 2019 saya resign, lanjut melahirkan anak ketiga, dan datanglah pandemi.
Dua tahun pasca pandemi, saya mulai mendaftar pekerjaan kembali. Memang tidak semudah yang saya bayangkan, tapi Allah tahu mana yang terbaik. Hingga akhirnya saya diberi amanah untuk menjadi dosen di universitas swasta terbaik di Bogor. Alhamdulillah.
Jadi benar bahwa karir bisa diulang, tapi mendidik anak tidak bisa. Terlalu sulit untuk mengulang proses mendidik anak. Mungkin bisa, tapi butuh keseriusan dan waktu yang panjang. Karena karakter mereka terbentuk saat masih kecil. Begitu pula ikatan dengan anak.
Meskipun suami saya sibuk, bernagkat pagi pulang malam, ia tetap menyempatkan quality time. Yang dilakukannya adalah mentransfer value-value kehidupan. Mulai dari adab, tauhid, moral, hingga empati ke makhluk lain seperti hewan.
Banyak hal yang anak saya pelajari dari ayahnya. Menjadi pribadi yang lebih pemberani, bugar dengan berolahraga, dan kreatif dengan berkreasi membuat karya bersama. Saya percaya meskipun orangtua sibuk bekerja, seharusnya tetap ada waktu untuk mentransfer nilai-nilai kebaikan dan suri tauladan kepada anak.
Sekalipun anak disekolahkan di tempat terbaik di Jakarta, peran orangtua tetap diperlukan. Anak sekolah hanya beberapa jam, sisanya ya di rumah. Kalau anak diasuh oleh gawai, bisa dipastikan ia tidak bisa membedakan baik dan buruk sebuah tingkah laku.
Tulisan ini bukan bermaksud agar orangtua atau ibu tidak boleh bekerja. Justru sebaliknya, tulisan ini bertujuan agar menjadi refleksi sudahkan meluangkan waktu untuk mendidik anak? Atau anak hanya mendapatkan waktu sisa, bahkan tidak mendapatkan waktu bonding bersama orangtuanya?
Jawabannya, hanya diri masing-masing yang tahu.