Sensory Processing Disorder pada Anak Part 2

Facebooktwitterredditmail

Sensory Processing Disorder itu apa? Setelah anak saya didiagnosa Sensory Processing Disorder, psikolog anak memberikan rekomendasi untuk terapi Sensori Integrasi  (SI) di klinik lain, karena Ruang Mekar Azlia tidak menyediakan jenis terapi tersebut. Nama tempat terapi SI nya adalah Anak Mandiri.

Saya, suami, dan anak mendatangi Klinik Anak Mandiri dan menyampaikan apa saja gejala yang dialami oleh anak. Tak lupa saya berika surat rujukan dari Bu Dhisty selaku psikolog anak. Kemudian anak saya diobservasi kembali agar diketahui bagian mana dari sensorinya yang belum matang. Saya juga diminta mengisi kembali pertanyaan-pertanyaan seperti saat assestment SPD di Ruang Mekar.

Setelah selesai di observasi (melalui permainan), terapisnya menyampaikan bahwa tidak hanya hipersensitif auditory dan taktil saja seperti yang didapatkan dari hasil jawaban pertanyaan-pertanyaan yang saya isi, tapi anak saya juga belum optimal vestibularnya yaitu ia merupakan sensory seeker.

Ciri anak dengan sensory seeker antara lain:

  1. Anak sangat suka berayun, melompat, memanjat (aktivitas yang tidak menyentuh tanah).

SPD-hyposensitive
high ropes course

Sahabat ismi bisa membaca pengalaman anak saya saat outbond di Lido Lake Adventure, dia sangat menikmati, presisi, dan tenaganya masih oke bahkan setelah berjam-jam melakukan high rope. Ketika anak laki-laki yang bermain high rope bersamanya sudah mulai lemas dan lesu, anak saya malah semakin semangat dan berbinar-binar.

2. Anak tidak menyadari bahaya saat melakukan kegiatan nomor satu.

Anak tidak punya rasa takut meskipun ia berayun dengan cepat dan berulang-ulang. Ia juga tidak takut ketinggian, justru menikmatinya.

3. Suka berputar berlebihan dan tidak merasa pusing.

Untuk gejala ini awalnya saya tidak menyadari. Saya pikir semua anak ya suka muter-muter sendiri. 

4. Sulit duduk diam atau tidak mampu fokus tanpa bergerak.

Bisa dibayangkan bila anak belum terpenuhi kebutuhan sensori vestibularnya, maka ia tidak bisa duduk diam saat belajar di meja dan kursi (di sekolah) sehingga dia akan memiringkan badannya, dan menggerak-gerakkan kaki dan tangannya.

Apa Sih Sensory Processing Disorder Itu?

SPD adalah kondisi neurologis yang kompleks karena otak mengalami kesulitan menerima dan merespon informasi yang masuk melalui pancaindera dan diterima oleh saraf.

Tingkat keparahan SPD yang dialami bervariasi yaitu ada yang terlalu sensitif dan ada yang kurang sensitif terhadap sesuatu hal. Akibatnya, anak dengan SPD cenderung bersikap lebih emosional atau justru tidak paham terhadap bahaya yang ada di sekitarnya.

Menurut Prof. Hardiono, ada 16,5% anak di dunia yang mengalami Sensory Processing Disorder. Jadi dari 100 anak, ada 16 yang SPD. Anak dengan SPD tidak bisa memproses mana stimulus yang dibutuhkan, mana yang tidak. Akibatnya reaksinya bisa berlebihan terhadap sesuatu yang biasanya orang lain bereaksi secara normal. 

Misal kalau anak dipeluk kan biasanya senang, tapi anak SPD justru sebaliknya. Hal ini juga dialami oleh anak saya. Awalnya saya kira hal yang wajar. Ternyata seharusnya anak itu alamiahnya mau dipeluk. Bukan justru mendorong badan orang tua/ gesture tidak suka dipeluk. Contoh lain anak-anak biasanya suka melihat badut, tapi anak SPD justru menangis menjerit-jerit. Nangisnya bukan nangis biasa yang mudah ditenangkan. Tapi bisa sampai tantrum lama sekali

Dengan kata lain, anak dengan Sensory Processing Disorder tidak bisa membedakan rangsang sensori biasa yang mestinya diterima, yang seharusnya tidak usah diperhatikan. Dalam SPD, ada yang kelebihan atau kurang (hipersensitif atau hiposensitif). Tergantung sensori jenis apa yang dialami.

Lalu, Apa Saja Jenis SPD dan Gejalanya?

1.SPD Hypersensitive

Merupakan Sensory Processing Disorder yang sangat sensitif merespon stimulasi sensori. Gejalanya antara lain:

  • Ketakutan ekstrim merespon suara kencang atau bising
  • Takut dan panik berlebihan terhadap kondisi tertentu misalnya gelap atau keramaian. (Saya ingat dulu sampai sering nyanyi lagunya Tasya yang Jangan Takut Gelap karena anak saya takut kamar yang gelap menjelang tidur. Padahal kalau kamarnya terang, ia akan semakin susah tidur. Solusinya kamar dibuat remang-remang.
  • Kontrol keseimbangan tubuh yang kurang sehingga takut jatuh
  • Takut mencoba sesuatu yang baru karena merasa sangat sulit ataupun merasa sangat berbahaya (Anak saya sering menunjukkan gejala ini dan saya mengira dia kurang berani entah apa penyebabnya. Ternyata semuanya berhubungan dengan kondisi SPD nya)
  • Mudah terdistraksi sehingga fokusnya mudah terganggu (Saat pandemi, anak saya amat kesulitan fokus karena belajar dilakukan melalui zoom. Meskipun ia zoom di kamarnya, tetapi suara adik bayi menangis, gerakan adik satunya yang mondar-mandir ke kamarnya, membuatnya menangis karena tidak bisa fokus, hiks. Kala itu, ia kesusahan mengikuti pelajaran sehingga nyaris menggunakan shadow teacher).
  • Mudah jijik atau risih ketika menyentuh benda-benda dengan tekstur tertentu seperti pasir, tanah, lumpur, lem, kerikil, dll. (Anak saya sejak MPASI sangat picky eater nyaris tidak mau makan bubur dan nasi. Ketika sudah besar ia selalu menangis jika nasi menempel di tangan atau kakinya).

picky eater itu kenapa?

2. SPD Hyposensitive

Merupakan gangguan Sensory Processing Disorder yang kurang sensitif merespon stimulasi sensori. Tanda dan gejalanya yaitu:

  • Sulit mengkondisikan diam sehingga sering berlari, melompat dan berputar (anak saya juga mengalaminya karena ia adalah sensory seeker)
  • Terlalu berani sehingga kurang bisa memahami adanya bahaya (anak dengan SPD hyposensitive mungkin bisa disebut nekat)
  • Kurang sensitif terhadap rasa sakit walaupun terjatuh dengan luka parah
  • Kontrol diri kurang sehingga sering jatuh atau menjatuhkan barang dan tidak sengaja menyakiti orang lain seperti menyenggol atau mendorong. (Anak saya juga mengalami hal ini dan saat itu saya mengira ia sengaja menyenggol adiknya. Ia juga sering menyenggol barang-barang di dekatnya.)
  • Kurang dapat berinteraksi dengan orang lain karena kurang memahami cara berkomunikasi yang baik dan benar (seperti di Part 1, alasan awal saya dipanggil oleh psikolog sekolah adalah karena anak saya pasif dan tidak bersuara di kelas. Bahkan psikolognya cerita ketika ia ingin bergabung bermain cublak-cublak suweng dengan temannya, ia tidak tahu bagaimana caranya sehingga ia hanya menangis. Duh, Nak, Bunda kira itu karena dulunya pas kecil kurang sosialisasi. Ternyata ya karena SPD nya)
  • Sering cenderung menantang dan bersikap semaunya sehingga terkesan tidak responsif terhadap arahan.

3. Sulit tidur

Anak butuh waktu lebih lama untuk memulai tidurnya dibanding anak lain. Dulu saya menganggap wajar anak saya baru bisa tertidur 1-2 jam setelah masuk kamar, karena saya tidak punya pembanding. Ternyata sewaktu ada anak kedua, ia bisa terlelap 5-10 menit setelah masuk kamar. Wah, lumayan kan beda rentang waktunya!

Waktu 1-2 jam itu sudah dengan mematikan lampu, meniadakan suara apapun (baik di dalam kamar/di luar kamar). Bahkan anak saya sering memerlukan aroma terapi dan pijatan agar semakin rileks. Tak jarang ia meminta dipeluk agar merasa nyaman.

Selain memulai waktu tidur dengan rentang lama, anak SPD juga mudah terbangun bila ada suara tertentu. Apalagi anak saya hipersensitif auditory. Ada suara motor lewat kebangun. Ada suara burung, kucing berantem, suara orang menyalakan keran air, langkah kaki juga membuat ia terbangun. Saya baru menyadari pantas saja ketika masih bayi, gerakan saya turun dari tempat tidur saja bisa membuatnya terbangun, hiks.

4. Sensory Meltdown (bukan sekedar tantrum biasa)

Dulu saya mengira anak saya mengalami over tantrum. Ternyata, ia tidak hanya mengalami tantrum saja, mungkin juga sensory meltdown. Apa itu sensory meltdown? Sensory meltdown merupakan kejadian saat anak dengan Sensory Processing Disorder dan atau anak dengan autis terpapar stimulus sensori yang tidak bisa diterima.

Sekilas, anak yang mengalami sensory meltdown seolah sedang meluapkan amarah dan sulit mengontrol emosinya (makanya di salah satu klinik swasta di Yogyakarta, anak saya sempat didiagnosa punya masalah regulasi emosi). Padahal yang terjadi pada sensory meltdown jauh lebih serius daripada sekedar meluapkan emosi.

Setiap anak SPD dan atau autis, mempunyai pemicu sensory meltdown yang berbeda-beda. Akibatnya jika tidak ditangani dengan tepat/ orangtua tidak menyadari kondisi ini, anak bisa trauma. 

Lalu bagaimana respon orangtua/ orang dewasa lainnya ketika melihat anak mengalami sensory meltdown?

  • Beri anak waktu untuk menenangkan diri 

Di Ruang Mekar Azlia, anak saya mendapatkan rekomendasi untuk menggunakan Kartu Tenang dari Rainbow Castle. Di dalam kartu tenang, terdapat gambar dan tulisan apa saja yang boleh dan tidak  boleh dilakukan saat anak merasakan emosi negatif (marah, kesal, sedih, kecewa, dll). Misalnya anak boleh memeluk boneka, memukul bantal, minum air putih, meminta pelukan orangtua. Tapi anak tidak boleh membanting barang, memukul orang lain, menyakiti diri sendiri, dan sebagainya.

  • Ajak anak bicara bila sudah tenang

Bila anak sudah mulai tenang, orangtua bisa mengajak anak bicara. Validasi perasaannya, dan pastikan anak tahu bahwa ia berada di tempat yang aman. Anak boleh menceritakan apapun, tapi jika anak belum mau sebaiknya jangan dipaksa.

  • Beri ruang bagi anak untuk menenangkan diri

Bila anak masih mengalami sensory meltdown, ajak anak ke tempat dimana ia bisa menenangkan diri. Misalnya kalau di rumah, ajak ke kamarnya. Kalau di tempat umum, pindahkan anak ke ruang yang lebih sepi dan aman.

  • Rutin memberikan stimulasi sesuai dengan masalah sensorinya

Karena ada tujuh jenis sensori, maka stimulus yang diberikan juga berbeda sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Misalnya anak dengan masalah sensori auditory bisa diberikan stimulus suara musik dari pelan ke keras dengan perlahan.

hipersensitif taktil

Anak dengan masalah pada sensori taktil bisa diberikan sentuhan ke kulitnya mulai dengan benda yang paling lebih sampai yang paling kasar. Termasuk juga berjalan di rumput tanpa alas kaki.

Ada satu hal penting lagi yang perlu sahabat ismi ketahui, yaitu ada dua jenis disabilitas yang berkaitan dengan kondisi Auditory Prossesing Disorder (APD) dan Sensory Processing Disorder (SPD) yaitu Autisme dan Attention- Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). 

Seseorang yang mengalami APD atau SPD belum tentu Autis atau ADHD. Tetapi seseorang yang ADHD atau Autis biasanya mengalami salah satu dari APD atau SPD, bahkan bisa keduanya.

Kesimpulannya, bagi sahabat ismi atau orangtua yang membaca tulisan ini, entah sedang mencari tahu apa yang terjadi dengan anaknya, atau apa sih SPD itu, semoga bisa tertangani dengan baik ya. Bila anak mengalami tanda dan gejala di atas, jangan denial, segera temui profesional (psikolog) untuk diobservasi dan mendapatkan asessment sehingga bisa diterapi dengan tepat.

Sumber tulisan:

https://vt.tiktok.com/ZS88JvEnh/

https://vt.tiktok.com/ZS88JuMRF/

https://vt.tiktok.com/ZS88J7WgU/

https://vt.tiktok.com/ZS88JVP7a/

https://vt.tiktok.com/ZS88J3Pgn/
(Visited 151 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

21 thoughts on “Sensory Processing Disorder pada Anak Part 2

  1. Mugniar Reply

    Masya Allah .. saya jadi mendapatkan tambahan wawasan mengenai SPD di tulisan ini. Detail tulisannya, Mbak. Dengan memahami hal ini ,orang tua yang anaknya mengalami tanda2 SPD bisa jadi lebih terarah dalam menstimulasi anaknya ya.

  2. Tetty Reply

    Aku kemarin ikut kelasnya mba Cici Desri, yang soal membaca ala montesori, memang ya ketika kecil anak2 harus distimulasi berbagai sensorinya, tapi memang bagi orang tua yang belum paham, mungkin akan mencap ke anak ‘nakal’ ‘ gak bisa diem’ dll, alhamdulillah ya, Mba Dian bisa menggali ini semua, dan bisa berbagi di blog, karena pasti tantangan menjadi orang tua dengan anak spesial itu gak mudah

  3. Lisdha www.daily-wife.com Reply

    Membaca ini, saya jadi ingat ketika duluu anak saya didiagnosa terkena hirschprung. Kelainan usus yang saya baru tahu saat itu. Memiliki anak dengan problem tertentu memang memaksa kita untuk belajar ya mbak. Tulisan mb Ismy ini sangat informatif dan pasti berguna bagi teman2 yang sedang menghadapi problem serupa ini. Bisa jadi, para orangtua yg membaca tulisan ini seperti menemukan titik terang dari persoalan mereka. Punya anak dg syndrom khusus pasti butuh energi ekstra. Bisa menulis seperti ini pasti sudah melewati berbagai hal. Semoga berkat berlimpah untuk mbak ismy dan keluarga.

  4. Lidhamaul Reply

    banyak juga istilah yang baru saya tahu. Saya masih penasaran dengan contoh-contoh anak dengan SPD ini. Kayaknya mau baca part 1 juga deh.
    Ini tantangan tuk orangtuanya, maumemahami anak, biar pun orangtua butuh terus belajar.

  5. Nanik Nara Reply

    Wah jadi orang tua emang mesti aware sama perilaku anak ya mbak. Tapi emang sih kalau anak pertama, karena nggak ada pembanding, jadinya orang tua kadang menganggap hal yang biasa pada anak-anak. terima kasih sudah berbagi mengenai sensory processing disorder ini mbak. Semangat ya menemani tumbuh kembang si kecil

  6. Ucig Reply

    SPD ini aku baru tau mbaaa, semoga bisa teratasi dengan baik ya mba. Aku jg pasti beranggapan seperti mba Dian, yg anak2 berputar2..anak kedua aku sempat jijik dengan keset, sukanya naik2 ke lemari nggak bisa fokus lama, sekarang udah agak mendingan dan kalau peluk masih mau dipeluk. Banyak banget yg baru aku tau dari tulisan mba Dian, makasih yaa mbaa

  7. Herva yulyanti Reply

    Peluk mba Ismy, Terima kasih sudah berbagi dan salut sama mba yang akhirnya berkonsultasi pada ahlinya dg berbagai metode hingga akhirnya keluar diagnosa Spd.
    Memang kerapkali melabel kan anak dg nakal atau lainnya pdhl yg terjadi bukan seperti itu ya mba. Smg mba dan ananda sehat sll

  8. Dian Kusumawardani Reply

    Wah iya, selama ini sudah sering dengar tentang PSD ini
    Hanya baru tahu lengkap dan rinci setelah baca artikel ini
    Jika orang tua yang memiliki anak PSD paham dengan baik apa PSD itu, maka orang tua bisa memberikan stimulasi yang tepat untuk anak PSD nya ya mbak

  9. Kartika Nugmalia Reply

    Baca artikel ini kok ngerasa Rey juga ada SPD, ternyata di akhir artikel dijelaskan kalau anak ADHD dan autis juga bisa dipastikan ada SPD. Pantesan kok Rey sering banget nggak nyaman pada hal hal yang orang lain anggap biasa. bajunya basah dikit gak bisa, ada tag merk baju di belakang dia gelisah, menyentuh benda lengket atau tekstur makanan lembek juga dia nggak nyaman. Thnakyou Dian untuk pemaparannya

  10. Naqiyyah Syam Reply

    Anakku juga emang tantrum aktif banget zaman Anakku masih balita dan memerlukan pendampingan yang intensif karena tantrumnya bisa lama dan hampir setiap malam

  11. Rosanna Simanjuntak Reply

    Masya Allah.
    Jadi lebih tercerahkan tentang APD, SPD dan ADHD.

    Jadi ingat teman kuliah yang anaknya punya ciri SPD.
    Dia senang banget memutar-mutar benda yang dia pegang.

    … dan tak pernah merasa capek.

  12. Istiana Reply

    Subhanallah, perjuangan yang cukup berat juga yaa membesarkan anak SPD.

    Gak kebayang ya kalau lagi mengalami sensory meltdown. Orangtua harus punya kesabaran yang luar biasa. Kalau tau ilmunya biasanya bisa lebih sabar dan mengerti, anak seperti itu ya memang karena sedang kondisi meltdown, bukannya mau menguji orangtuanya.

    Syemangatt terus mbaak mendampingi anaknya 💪🏻💪🏻

  13. Gusti yeni Reply

    Jadii dapat ilmu ternyata autis itu ada jenisnya, semoga tulisan ini banyak di temukan orang tua yang sedang mencari informasi tentang kelainan pada anak.

  14. siti hairul Reply

    wah artikel bagus nih makdi, referensinya juga lengkap. bagus untuk dibaca teman-teman para orangtua. aku juga jadi belajar nih dengan istilah SPD ini

  15. Uniek Kaswarganti Reply

    Baru ngeh ada kondisi SPD ini pada anak. Dulu taunya ya anak tuh terlalu sensitif atau malah tidak sensitif sama sekali. Ternyata pemicunya ada pada keistimewaan perkembangannya yaa.. Ilmu yang berharga ini bagi para orangtua yang sedang bingung gimana caranya merespon kondisi anak yg memiliki potensi SPD.

  16. Helena Reply

    SPD, ilmu baru buatku ini mbak Dian. Eh ini anak sulung? berarti baru ketahuan masalahnya saat udah SD yah. Ini tuh kayak kalau dengar suara blender, mixer si anak jadi takut banget?

  17. Witri Reply

    Makasih ya Mbak sudah berbagi cerita, jadi nambah wawasan tentang SPD.
    Emang ya,jadi orang tua harus paham akan anaknya. Penting bgt waspada akan tumbuh kembangnya.

  18. indah savitri Reply

    terima kasih banyak untuk sharingnya mba. Makin banyak ilmu dan informasi penting yang kita ketahui tentang SPD ini sehingga kita bisa mengambil langkah tepat untuk mengatasinya ya

  19. Leyla Imtichanah Reply

    Aku jadi dapat info lagi tentang disorder anak nih. Anakku yang nomor dua dulu aktif banget, kukira juga ada gangguan. Tapi sepertinya masih normal, karena sekarang baik-baik aja. Ya sekadar aktif biasa. Kalau udah keliatan berlebihan, baru periksa ke psikolog ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.