OYPMK bekerja apakah mungkin?
“Kemerdekaan nasional adalah bukan pencapaian akhir, tapi rakyat bebas berkarya adalah pencapaian puncaknya.” – Sutan Syahrir
Pagi sahabat ismi, kemarin 17 Agustus pada ikut lomba apa? Makan kerupuk? Atau balap karung. Apapun itu, semoga lomba 17-an menjadi momen untuk mengingat kembali perjuangan para pahlawan, dan menyadari bahwa perjuangan Indonesia belum selesai.
Seperti kata Sutan Syahrir bahwa rakyat bebas berkarya adalah puncak dari kemerdekaan nasional. Lalu bagaimana faktanya? Ternyata teman-teman penyandang disabilitas termasuk OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta), belum sepenuhnya bisa berkarya.
Mereka terkukung oleh stigma, menjadi rendah diri sehingga tidak bisa memaksimalkan potensinya. Boro-boro berkarya, untuk keluar rumah saja mungkin amat sulit. Stigma, ejekan, bisa datang dari mana saja. Termasuk orang terdekat seperti keluarga dan tetangga.
Dalam rangka mengurangi stigma terhadap OYPMK, NLR bekerja sama dengan radio Berita KBR mengadakan bincang-bincang dengan tema “ Makna Kemerdekaan bagi OYPMK, Seperti Apa?”
Hadir dua narasumber yaitu Dr. Mimi Mariani Lusli, Direktur Mimi Institute (penyandang disabilitas dari usia 13 tahun yaitu tidak bisa melihat) dan Mbak Marsinah Dede selaku Akvitis Difabel & Perempuan, dan OYPMK (terkena kusta pada usia 8 tahun).
Memahami Kondisi Psikologis OYPMK
Doktor Mimi mendirikan Mimi Insitute pada tahun 2009 dengan visi for better life. Misinya adalah ingin membiasakan masyarakat berinteraksi dengan para penyandang disabilitas sehingga masyarakat dapat berinteraksi secara sering dengan mereka.
Kegiatan yang diadakah oleh Mimi Institute antara lain memberikan informasi dan edukasi tentang apa itu disabilitas baik mental, intelektual, fisik dan cara berinteraksi yang sesuai dengan kondisi para difabel.
Mimi Institute juga mengadakan konseling atau konsultasi dimana para teman-teman dengan disabilitas datang untuk mengetahui kebutuhannya terutama tentang penyadaran hak asasinya. Selain itu, adapula publikasi seperti pembuatan buku.
Sebelum membahas tentang makna kemerdekaan bagi OYPMK, sahabat ismi perlu terlebih dahulu mengetahui kondisi psikologis OYPMK.
Ketika pertama kali mengetahui jika Dr. Mimi mengalami disabilitas, respon awal adalah langsung syok. Ada stigma terhadap diri sendiri bahwa tidak akan ada masa depan, di masa depan akan susah.
Selain itu, sudah terbayang bahwa keluarga akan merasa repot. Perasaan hancur ini yang mengakibatkan kondisi psikis mereka menurun. Mereka juga tidak tahu harus ngapain, bahkan sering kehilangan hak.
Apalagi kalau stigmanya datang dari masyarakat. Ditambah masyarakat, pemerintah, perusahaan tidak berpihak pada mereka. Meskipun diri sendiri sudah berpikir kuat dan kuat, tapi tetap berat ketika keluar rumah mengalami diskriminasi. Karena kebanyakan dari para penyandang disabilitas dan keluarganya tidak disiapkan untuk melakukan hal lain ketika tiba-tiba didiagnosa disabilitas.
Misal tiba-tiba didiagnosa tidak akan bisa jalan lagi, dunia terasa runtuh. Padahal masih ada solusi yaitu menggunakan kursi roda. Mengalami kebutaaan, masih bisa belajar huruf braile.
Intinya belum ada atau masih kurangnya edukasi untuk menjembatani masa transisi dari diagnosa medis melalui konseling. Kebijakan dari Pemerintah sudah ada, hanya implementasi yang masih kurang. Oleh karena itu, perlu pengawasan dari pihak yang terkait.
Selain itu penyebab utama stres, cemas, dan gangguan kejiawaan pada OYPMK adalah karena kurangnya informasi /pengetahuan tentang kusta. Masyarakat tahunya kusta merupakan penyakit menular, penyakit turunan, dan tidak bisa disembuhkan. Informasi yang salah tersebut menurun dari kakek ke anak dan cucu. Sehingga saat ada satu anggota keluarga yang terkena kusta, maka anggota keluarga lainnya salah persepsi. Akibatnya, terjadi pengucilan, ejekan, karena takut tertular. Orang yang kena kusta juga takut menularkan sehingga ia mengucilkan diri.
Parahnya lagi, disabilitas dianggap rusak dari kepala sampai kaki, tidak sempurna. Padahal hanya sebagian kecil dari dirinya yang terbatas. Sisanya tidak mengalami keterbatasan.
Kisah Dhedhe Saat Terkena Kusta
Mbak Dhedhe sampai lupa pernah mengalami kusta. Dulu ia terkena kusta pada usia 8 atau 9 tahun (kelas 2 atau 3 SD). Kala itu tahun 1990- an, ia mendengar dari radio saat ada siaran tentang gejala kusta. Mbak Dhedeh mengidentifikasi sendiri karena mengalami kulit tebal, memutih, berbeda dari kulit lain, dan tidak berasa.
Ketika itu komunikasi sebagai orang desa hidup dengan apa adanya, informasi yang didengar ya melalui radio. Saat itu, Mbak Dhedeh kecil mendegar informasi penyebaran kusta dengan gejala-gejalanya. Akhirnya ia menyampaikan ke Mama untuk diantar ke puskesmas.
Di puskesmas, Mbak Dhedhe langsung didiagnosa terkena kusta. Disebut lepra, yang mereka tahunya sangat bahaya. Padahal di keluarga tidak ada yang terkena kusta. Tetangga juga rumahnya sangat berjauhan. Jadi tidak ada interaksi intens dengan orang lain.
Waktu Mbak Dhedeh menjadi OYPMK, dukungan keluarga sangat kuat. Ia mendapat obat suntik selama 2 tahun. Untuk mendapatkan obat, ia harus jalan jauh ke puskesmas, dan Mbak Dhedhe sudah difabel duluan sebelum mengalami kusta.
Mbak Dhedhe beruntung karena mendapatkan pelukan hangat dari keluarga. Ia dikuatkan oleh orangtuanya. Akan tetapi, begitu satu langkah keluar dari rumah langsung mendapat stigma. Mbak Dhedhe dibully karena difabel. Saat kulitnya menjadi hitam dan ada beberapa tempat yang warnanya mencolok, tiba-tiba teman-teman yang tadinya main bareng menjadi berbeda. Mereka menutup pintu rumahnya dari Mbak Dhedhe. Mirisinya, saat ke sekolah justru diusir oleh gurunya.
Dari kisah di atas sahabat ismi bisa memahami bahwa stigma yang dilestarikan akan mengakibatkan semakin lamanya pemulihan bagi penyandang disabilitas atau OYPMK.
Agar OYPMK Bisa Merdeka Bekerja
Penyandang disabilitas merupakan kontributor besar pengangguran. Oleh karena itu, penting agar mereka diberi akses ke pekerjaan, termasuk pendidikan.
OYPMK memang kerap mengalami gangguan psikologis karena mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri itu susah. Pemerintah belum melakukan pendekatan persuasif ke OYPMK sehingga mereka jarang kembali ke masyarakat.
Apa yang bisa dilakukan agar OYPMK bisa diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya?
1. Program-program afirmative action seperti informasi, penyuluhan, dan 2% pekerja disabilitas harus diwujudkan.
Perlu adanya afirmative action agar penyandang disabilitas bisa mendapatkan pekerjaan. Sebenarnya sudah ada UU yang mengatur, yaitu adanya standar minimal BUMN menerima pekerja difabel sebesar 2%, dan BUMS minimal 1%. Dengan kata lain, negara sudah mendorong agar OYPMK tidak tertinggal.
2. Masalah kusta dan disabilitas adalah masalah pengetahuan sehingga OYPMK harus bebas dari stigma dulu karena ada hak di sana.
Sesuai dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, stigma yang melekat pada OYPMK akan mempersulit hidup mereka, baik untuk bersosialisasi maupun untuk bekerja. Oleh karena itu perlu adanya dukungan dari semua pihak untuk memutus rantai pengetahuan yang salah di masyarakat.
3. Sosialisasi tentang kusta perlu dilakukan dengan lebih gencar.
Covid-19 saja ketika gencar disosialisasikan selama 2 tahun, maka masyarakat bisa dari tidak pakai masker menjadi pakai masker. Melalui promosi, iklan media, reklame, dan sebagainya seharusnya pemerintah bisa memberikan anggaran untuk meningkatkan informasi tentang kusta.
Sosialisasi tersebut antara lain menginformasikan bahwa kusta tidak menular, ada obatnya gratis di puskesmas, dan kusta merupakan penyakit kulit yang bisa sembuh.
4. Perlunya ajakan kepada OYPMK untuk belajar, jika perlu hingga kuliah sehingga bisa kembali di masyarakat.
Stigma karena difabel harus sekolah SLB, padahal masih ada sekolah inklusi. Akhirnya ketika keluar bukan di kelompoknya jadi canggung. Ekslusi berharap bisa diatasi, eh malah hidup dalam stigma.
Sewaktu kecil, Mbak Dhedhe tidak boleh masuk panti oleh orang tuanya. Ia juga tidak diperbolehkan masuk SLB. Padahal banyak orang yang berkata karena pincang maka tempatnya di SLB, karena perempuan buat apa sekolah tinggi-tingi.
Jika OYPMK dijauhi, ya dekati. Jangan malah makin menjauh. Karena tidak bisa mengubah pemikiran banyak orang, jadi OYPMK lah yang berubah.
Misal ada orang yang tidak mau salaman dengan OYPMK, maka ajak saja untuk bersalaman sambil bilang kalau kusta tidak menular dari salaman. Dengan kata lain, sekalian memberikan informasi.
Jangan biarkan hak OYPMK menjadi lingkaran yang terputus. Mintalah hak OYPMK di sana. Cari komunitas NLR, atau komunitas Permata sehingga OYPMK bisa mengisi BUMN yang 2%, dan Swasta yang 1% itu. Imbangi dengan ketrampilan kerja yang dimiliki. Belajar syarat bekerja, akses informasi pekerjaan, cara melamar pekerjaan, dan ketahanan saat bekerja. Meskipun kelak dikucilkan, OYPMK tetap harus menjawab kalau memang pernah kena kusta.
Reintegrasi yang penting adalah bukan saat sudah benar-benar pulih. Melainkan harus dilakukan sejak dini dengan cara:
- Ada keluarga yang merangkul
- OYPMK yang berada pada usia sekolah tetap mendapatkan pendidikan, tidak dihambat.
- Masyarakat menerima keberadaan OYPMK dengan mengizinkan mereka untuk bersosialisasi.
Pertama kali tahu kena kusta, apa yang bikin bangkit?
- Diterima pertama kali di keluarga.
Suport dari keluarga, dan diterima. Jadi tumbuh percaya diri. Ketika di rumah sudah diterima, maka tetap mendapatkan stigma, memandang aneh, tidak mau berteman. Bahkan ada yang bilang buta pun bisa menular.
- Proses menerima kenyataan dengan dukungan keluarga
- Jangan hanya diam ketika diejek
Dr. Mimi pelan-pelan berpikir kalau orang mengejek, lalu hanya diam maka orang akan makin mengejek. Suatu hari ajak bicara. Kenapa kamu mengejek saya? Tolong bacakan untuk saya.
- Keberanian untuk bicara agar orang-orang tahu gimana cara berinteraksi dengan orang lain.
Tantangan apa yang dihadapi OYPMK untuk mendapatkan hak dan kekebasan berkarya?
Jika ada banyak pilihan untuk bekerja dan berkarya, maka difabel atau OYPMK tidak akan mendapatkan kesulitan. Akan tetapi pilihannya tidak banyak karena hambatan-hambatan selalu ada. Misal karena seorang kusta, seorang difabel, dll.
Apakah ada wadah/ lembaga khusus untuk membantu OYPMK sampai sembuh lalu membaur di masyarakat dan mendapatkan pekerjaan?
Saran Dr. Mimi untuk pengobatan di puskesmas. Selain itu, di dinas kesehatan sudah ada yang dilatih untuk jadi pendamping. Untuk pekerjaan di beberapa wilayah sudah ada komunitas Permata. OYPMK juga bisa bergabung dengan organisasi lainnya untuk akses, dan informasi tentang pekerjaan.
Meski ada komunitas, jangan lupa berjuang sendiri untuk kuliah dan bekerja. Kalau ada hambatan baru bicara dengan organisasi terkait? LBH juga sudah welcome.
Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK
Dr. Mimi dan Mbak Dhedhe berharap OYPMK dan penyandang disabilitas lainnya bisa merdeka saat menggunakan transportasi, pergi sekolah, bekerja, dan sebagainya.
Bagaimana dengan lomba 17-an perlukah dipisah dengan orang-orang non difabel? Sebaiknya lomba untuk difabel, untuk kusta dilebur bersama dengan orang lain. Diharapkan OYPMK bisa terlibat tanpa dihambat oleh apapun. Sebaiknya tidak perlu diekslusifkan agar orang tidak khawatir akan tertular, sehingga tidak semakin menguatkan stigma.
Closing statement Dr. Mimi: istilah-istilah tertentu perlu dihilangkan misal penderita kusta diganti dengan OYPMK, diharapkan agar OYPMK belajar untuk mendekatkan diri dengan masyarakat, kegiatan edukasi di radio diperbanyak.
Closing statement Mbak Dhede: mari mulai dari diri sendiri, ajak keluarga untuk paham, lingkungan sosial diintervensi. Keluarlah dari penjara agar bisa merdeka. OYPMK harus mulai ambil bagian di masyarakat.
Bagaimana sahabat ismi sudah mulai mendapatkan insight tentang makna kemerdekaan bagi OYPMK? Apa yang mereka perlukan agar bisa merdeka dalam berkarya dan bekerja? Lalu apa yang bisa sahabat ismi bantu sebagai bagian dari masyarakat? Yuk, bantu putuskan stigma tentang OYPMK dan kusta. Rangkul mereka dan beri motivasi agar lebih percaya diri.