Apa yang sahabat ismi ketahui tentang krisis iklim? Bumi yang makin panas? Sering banjir dan terjadi bencana alam lainnya? Atau Anda sudah tahu bahwa kekayaan alam Indonesia dikeruk oleh orang-orang serakah tanpa memperhatikan lingkungan? Ya, semua itu benar adanya. Yang paling menyakitkan adalah masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan, terkena imbasnya.
Masalah yang dihadapi masyarakat adat di Indonesia
Rukka Sombolinggi perwakilan dari Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyampaikan bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat cukup pelik. Wilayah adat alamnya dirusak untuk tambang. Meskipun krisis iklim diklaim dapat diatasi melalui adaptasi dan mitigasi berupa transisi energi, tapi yang menjadi korban adalah masyarakat adat.
Hutan-hutan terbaik yang dijaga masyarakat adat dihancurkan untuk tambang nikel, dibuat bendungan, geo termal, nuklir, dan biofuel. Semua itu ada di wilayah yg dijaga oleh masyarakat adat. Masalahnya adalah urusan korporasi. Di Indonesia, hutan-hutan terbaik justru diberikan dalam bentuk izin kepada industri. Dengan kata lain, sama saja dengan hutan dihancurkan, karena diberikan ke perusahaan untuk diambil uangnya untuk karbon market. Bahkan konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat (saat ini sekitar 350 ribu hektar), tapi karbonnya milik negara sehingga karbonnya/hasilnya diambil oleh negara. Menyedihkan bukan?
Termasuk Papua sedang dihancurkan untuk energi estate. Tanah masyarakat adat dihancurkan tanpa inform consent, tidak ada izin. Hutan justru dialih fungsikan menjadi food estate dan energy estate. Padahal hutan adalah ekosistem bagi flora dan fauna, sekaligus “supermarket” untuk masyarakat adat. Negara kita memang lemah, karena membuat UU yang terus melegitimasi merampas wilayah adat.
Selain itu, banyak masyarakat adat mengalami kriminalisasi, dan perampasan wilayah adat dilegalkan oleh hukum. Sebenarnya masyarakat adat tidak menolak pembangunan, ingin berkontribusi sepenuhnya oleh pembangunan, tapi mereka tidak mau dan tidak rela jika pembangunan berdiri di atas darah dan airmata, atau berdiri di atas kepunahan masyarakat adat.
Bagaimana dengan masyarakat adat dan komunitas lokal di negara lain?
Mereka mengalami hal yang sama. Di dunia ini, ada negara pengkontamininasi bumi yang menolak membayar dampak krisis iklim. Ada pula negara yang sudah “tenggelam” karena krisis iklim. Selain itu, ada negara yang hidup dari minyak bumi sehingga tidak akan berhenti mengeksplotasi minyak dari fosil. Lalu siapa yang pertama kali merasakan dampaknya? Tentu saja masyarakat adat.
Tantangan lainnya yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah dukungan global dari filantropi dan donor hanya di atas kertas. Ada pendanaan tapi uangnya tidak msuk ke kampung-kampung, hanya sampai lembaga-lembaga intermediary. Padahal dana tersebut dibutuhkan untuk menjaga dunia.
Padahal panel dunia mengakui bahwa saat ini bumi masih bisa bertahan karena sebagian besar alam-alam terbaik, ekosistem terbaik dijaga oleh masyarakat adat. Di tengah krisis iklim, salah satu hal yang bisa membawa keluar dari krisis adalah masyarakat adat sehingga kita harus melindungi dan mendukung masyarakat adat.
Pertanyaan berikutnya adalah apa yang bisa kita lakukan?
Masyarakat adat di Indonesia berkumpul di AMAN, dengan lebih dari 500 komunitas, dan lebih dari 200 juta jiwa. AMAN memiliki barisan pemuda adat nusantara, persekutuan perempuan adat, persatuan pengacara, dan yang terbaru pada tanggal 9 Agustus launching asosiasi jurnalis masyarakat adat. Jurnalis-jurnalis dari kampung ini menjadi tonggak komunikasi masyarakat adat, dan advokasi. AMAN mendirikan sekolah adat, membantu bagaimana masyarakat adat berhadapan dengan masalah adat, memperkuat ekonomi masyarakat adat, serta melakukan upaya-upaya pemulihan di wilayah adat akibat perusakan perusahaan atau kerusakan alam akibat krisis iklim. AMAN memanggil anak-anak muda untuk pulang kampung menjaga dan memelihara wilayah adat. Anak muda yang depresi dan tidak cocok hidup di kota, pulang untuk hidup yang lebih baik. Kalau sahabat ismi ingin tahu lebih detail tentang AMAN, langsung cek ke www.aman.or.id
Selain melalui AMAN, masyarakat adat dan komunitas lokal di seluruh dunia dapat menggantungkan harapannya melalui COP30.
Apakah itu COP30, dan bagaimana COP30 dapat membantu masyarakat adat?
Pada sosialisasi COP30 yang diikuti oleh berbagai perwakilan masyarakat adat dan komunitas lokal di dunia, Laila Zaid dari Brazil mengatakan bahwa COP30 merupakan acara besar yang dipimpin oleh PBB. Hampir 200 negara berkumpul untuk menghadapi krisis iklim. COP30 di selenggarakan di dalam hutan, di Amazon Brazil sehingga amat simbolik. Mata dunia perlu melihat adanya deforestikasi, ketidaksetaraan sosial yang tengah terjadi, dan pentingnya krisis iklim. Di COP30, para pemimpin dunia akan duduk dan bernegosiasi apa yang bisa dilakukan untuk beradaptasi terhadap krisis iklim.
Selain itu, Lucia Ixchiu dari Spanyol menyatakan pentingnya merasakan darimana asal kita, dimana masyarakat adat tumbuh dikelilingi pohon-pohon. Masyarakat adat diharapkan dapat melakukan advokasi di COP30 sehingga dunia memahami hak dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat saat ini.
Yang perlu digaris bawahi adalah, apakah suara kita sebagai rakyat bisa berdampak?
Masyarakat adat mempunyai ilmu pengetahuan yang diturunkan yang berguna untuk menjaga ekosistem terbaik. Mereka perlu dukungan finansial secara langsung. Oleh karena itu, kita seharusnya merekognisi dan melindungi para guardian penjaga planet dan peradaban. Melindungi masyarakat adat berguna untuk seluruh dunia. Kesimpulannya adalah, dimanapun kita berada sebaiknya kita mengubah gaya hidup menjadi yang lebih adil dan lestari.
Kini keputusan ada di tangan sahabat ismi, mau diam saja melihat krisis iklim yang menggerogoti kelestarian masyarakat adat? Atau tetap berisik sampai pemerintah dan pemimpin dunia menyadari keberadaan masyarakat adat yang harus dijaga dan dilindungi? The choice is yours!





