Bis yang kami tumpangi melaju dengan gagahnya. Sebagian besar peserta memakan dengan lahap makan siang lauk ayam kecap yang dibagikan oleh panitia. Sedangkan saya justru tidur dengan nyenyaknya, hehe. Perjalanan kami kali ini menuju Dusun Kanggotan, Desa Kerto, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta. Bis pun berhenti di sebuah halaman dekat situs jejak Mataram Islam di Kerto.
Keraton Kerto
Sesampainya di Kerto, para peserta turun dari bis, dan berjalan kaki menuju Siti Hinggil, yaitu sebuah umpak yang berasal dari Keraton Kerto. Sebelum Mas Sam bercerita lebih lanjut tentang Siti Hinggil, ia menjelaskan terlebih dahulu sejarah tentang Keraton Kerto. Di sini kami juga ditemani oleh pemandu yang saya lupa namanya, hehe. Mas Sam dan pemandu tersebut menceritakan bahwa bangunan Keraton Kerto banyak yang hilang, mungkin karena terbuat dari kayu, sehingga mudah lapuk, atau karena ditinggalkan. Keraton Kerto di tinggalkan, karena Amangkurat I tidak mau menempati bekas ayahnya. Amangkurat I (anak dari Sultan Agung) lebih memilih untuk membangun Keraton Pleret.
Menurut catatan VOC, Keraton Kerto sangat besar dan tinggi sekali. Hal ini dikarenakan cita-cita Sultan Agung yang ingin menaklukkan Jawa. Maka dibuatlah keraton yang besar, karena rakyat dari daerah yang ditaklukkan tersebut akan diboyong ke keraton untuk membangun istana, dan agar rakyat tersebut dapat meramaikan ibukota Kerto. Dulu, hampir seluruh tanah Jawa memang berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung. Mulai dari Cirebon, Pantura, Surabaya, dan lain-lain. Pelabuhan-pelabuhan dihancurkan oleh Sultan Mataram tersebut, sehingga banyak rakyat yang tidak suka. Saat itu, Kerto merupakan keraton kedua, dimana perekonomian Mataram masih berada di Kotagede, tetapi pusat pemerintahannya sudah pindah ke Kerto.
Di zaman Kerajaan Mataram, ada sebuah istilah yaitu catur gatra, yang merupakan syarat berdirinya sebuah Kutogara. Yang dimaksud catur gatra adalah keraton sebagai pusat pemerintahan dan rumah raja, masjid atau kauman sebagai pusat keagamaan, alun-alun untuk pusat aktivitas sosial (masyarakat bertemu dengan rajanya), dan pasar sebagai pusat perekonomian. Dengan kata lain, asal sudah memenuhi keempat hal tersebut, maka sudah sah menjadi ibukota negara.
Siti Hinggil
Situs ini adalah batu besar berupa umpak yang berdiameter kurang lebih 1 meter. Umpak tersebut berfungsi sebagai penyangga saka guru bangunan utama keraton. Di dekat umpak ini, terdapat semacam anak tangga yang konon menuju Siti Hinggil, yaitu bagian yang lebih tinggi daripada tempat lain (bagian tertinggi keraton).
Salah satu umpak di Museum Pleret
Sebenarnya di situs Kerto ada empat umpak, yaitu satu di Taman Sari, dua ada di Pleret, dan yang satunya lagi hilang. Mitosnya, umpak itu hendak dibawa ke Solo, tetapi karena umpak tersebut tidak mau, jadi jatuh di dalam perjalanan ke Solo.
Situs Siti Hinggil ini juga merupakan simbol bagi Raja Mataram untuk mengesahkan diri menjadi sultan. Gelar sultan sendiri didapatkan dari pemimpin Ka’bah di Mekah. Sultan Agung pun tidak mudah dalam mendapatkan gelar sultan. Utusan pertamanya tidak berhasil karena dihalangi oleh Sultan Cirebon. Utusan kedua juga gagal. Hingga akhirnya utusan ketiga berhasil sampai ke Mekah, didapatkan lah gelar Sultan Agung tersebut.
Pada lekukan di Siti Hinggil, bila diamati terdapat ukiran arab, yaitu huruf Ha Mim Dal, yang dibaca Muhammad. Sultan Agung memang terkenal dengan kepiawaiannya dalam bidang seni arsitektur, pembuatan penanggalan jawa, hingga dakwah islam dengan cara yang halus yaitu masuk ke seni dan budaya tadi. Di masa pemerintahannya lah Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara.
Masjid Taqarrub
Jejak Mataram Islam di Kerto tidak hanya Siti Hinggil, tetapi juga di Masjid Taqarrub. Dari situs Siti Hinggil, kami melanjutkan jelajah dengan berjalan kaki ke Masjid Taqarrub karena letaknya tidak terlalu jauh. Masjid ini masih bagus dan dipakai untuk salat berjamaah warga sekitar. Saya dan para peserta jelajah Mataram Islam pun sempat salat dhuhur di sana. Sebelum salat, kami mendengarkan penjelasan Mas Sam dan pemandu mengenai sejarah masjid ini dan jejak sejarah Mataram di tempat tersebut.
Sesuai dengan catur gatra, dalam bagan Kerajaan Mataram selalu ada alun-alun di depan keraton, lalu ada masjid di barat keraton, dan di depan alun-alun ada pasar. Nah, Masjid Taqarrub ini merupakan masjid Kerajaan Mataram di Kerto zaman Sultan Agung Jumeneng. Masjid ini memang mengalami pemugaran, tetapi bagian-bagian bersejarahnya tetap asli dan tidak dihilangkan. Misalnya saja 4 saka guru yang menjadi tiang untuk bangunan utama dalam masjid, tidak pernah diganti sama sekali, sehingga ruang utama masjid masih seperti zaman dahulu. Adanya plakat tanda dari patih Danureja ke-9 juga merupakan tanda keaslian Masjid Taqarrub ini. Plakat ini bertuliskan aksara Jawa, dengan beberapa tulisan tahun dalam aksara Arab. Plakat ini tergantung di serambi menuju pintu masuk utama masjid.
Di samping Masjid Taqarrub, terdapat prasasti hindu yang berbentuk lingga. Isi tulisan di prasasti adalah penyerahan tanah bebas pajak dari penguasa ke masyarakat sekitar. Prasasti ini merupakan replika, sedangkan yang asli telah dipindah ke Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
Setelah mengunjungi jejak Mataram Islam di Kerto, para panitia pun membawa bis kami ke bekas peninggalan Keraton Pleret. Seperti apakah penampakannya?
Keraton Pleret
Bis berhenti di pinggir jalan raya. Saya dan para peserta turun lalu berjalan kaki ke arah sebuah bangunan yang belum jadi. Yup, ternyata di tempat tersebut sedang dilakukan upaya untuk merekontruksi Masjid Agung Pleret. “Wah, lahannya luas sekali”, batin saya. Saya pun mengamati tanah di sekitar tempat yang dulunya berdiri Masjid Agung Pleret.
Ada beberapa tanah yang berlubang karena terdapat sisa reruntuhan jejak masa lampau Mataram Islam. Sementara itu, para pekerja bangunan dengan rajinnya sedang mengerjakan sisi lain bangunan masjid ini, antara lain bagian pilarnya.
Keraton Kerto ditinggalkan ketika Sultan Agung wafat. Pembuatan Keraton Pleret pun membutuhkan kurang lebih 3000 tenaga kerja, jumlah yang sangat banyak untuk memenuhi obsesi Amangkurat I. Raja Amangkurat I memerintah mulai tahun 1646, tetapi ibukota Mataram baru dipindah ke Pleret pada tahun 1947. Ia memunyai gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I. Beliau adalah susuhunan yang sangat nyentrik. Bahkan di dalam sejarah, dikatakan sebagai raja psikopat, karena melakukan banyak hal yang sangat berbeda dari ayahnya. Selain itu, selama pemerintahannya, juga banyak terjadi pemberontakan, termasuk dengan adiknya sendiri, yaitu Raden Mas Alit.
Amangkurat I banyak memerintah untuk memuaskan nafsu pribadinya. Makanya Keraton Kerto yang usianya belum setengah abad pun ditinggalkannya. Proyek terbesarnya adalah pembangunan Segoroyoso (segoro = laut, yoso = buatan), yaitu dengan cara mengeruk Sungai Opak. Segoroyoso ini digunakan sebagai tempat bersantai dan bersenda gurau dengan istri-istrinya. Ada juga yang menyebutkan bahwa Segoroyoso digunakan sebagai tempat latihan perang bagi pasukan militer Amangkurat I.
Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I melanjutkan pembantaian di Pantura, dimana banyak ulama dibunuh jika tidak sepaham dengannya. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh politik senior yang tidak sejalan dengannya. Amangkurat I pun berselisih dengan putra mahkotanya yaitu Raden Mas Rahmat. Putranya ini sempat melakukan kudeta pada tahun 1661 tetapi gagal. Amangkurat I juga gagal saat meracuni anaknya di tahun 1663. Suatu hari, Raden Mas Rahmat berkenalan dengan Trunajaya, Pangeran Madura. Raden Mas Rahmat pun membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I. Trunajaya mau melakukannya karena memiliki dendam dengan serangan Sultan Agung di masa lampau. Trunajaya bekerja sama dengan para pejuang Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong (sisa-sia pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC pada tahun 1668). Pertempuran pun terjadi berkali-kali, hingga entah kenapa terjadi ketidakcocokan antara Pangeran Trunajaya dengan Raden Mas Rahmat, sehingga akhirnya Raden Mas Rahmat kembali berpihak pada ayahnya. Pada tahun 1667, Trunajaya berhasil merebut Keraton Pleret. Sementara itu, Amangkurat I melarikan diri ke barat.
Trunajaya sendiri kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, setelah mengambil harta rampasan perang. Kesempatan ini digunakan oleh Pangeran Puger untuk menguasai Pleret dan menjadi raja di sana dengan gelar Susuhunan Ing Alaga. Saat itu, Mataram pun mulai terpecah.
Bagaimana nasib Amangkurat I? Dalam pelariannya, beliau jatuh sakit, dan akhirnya meninggal dunia. Amangkurat I berwasiat untuk dimakamkan di dekat gurunya di Tegal. Kekuasannya pun digantikan oleh anaknya yaitu Raden Mas Rahmat yang kemudian bergelar Amangkurat II, dimana ia berhasil membawa pusaka Keraton Mataram, yaitu tombak Kyai Pleret, yang dulu ditusukkan pada Aryo Panangsang. Amangkurat II ini lah yang nantinya mendirikan Kasunanan Kertasura sebagai kelanjutan dari Kesultanan Mataram.
Masjid Kauman Pleret
Para peserta sempat mengunjungi Masjid Agung Keraton Pleret yang sedang dalam pembangunan.
Di masjid ini, terdapat makam tua, dimana salah satunya adalah istri Amangkurat I. Ada juga situs makam Banyusumurub (makam kerabat istana yang tidak sepaham dengan Amangkurat I).
Selain itu, juga terdapat situs makam Ratu Malang di Gunung Kelir, yaitu kompleks pemakaman istri dari Amangkurat I. Dikisahkan bahwa Amangkurat I sangat senang dengan perempuan dan bahkan merebut istri orang. Ratu malang sangat cantik, tetapi ia sudah bersuami, yaitu seorang dalang. Ratu Malang ditaksir oleh Amangkurat I dalam kondisi sedang hamil. Kemudian Ki Panjang Mas (sang suami) diundangoleh Amangkurat I untuk bermain wayang di keraton dan dibunuh secara halus dalam kejadian kebakaran. Pada akhirnya, Amangkurat I pun memperistri Ratu malang. Bertahun-tahun kemudian, Ratu Malang meninggal dunia karena diracun oleh istri Amangkurat I lainnya.
Saat Ratu Malang meninggal dunia, Amangkurat I sampai tinggal di dalam makamnya. Makam tersebut dibuka, dan ia tidur disamping mayat istrinya, saking cintanya. Kerajaan mulai gaduh karena rajanya tak kunjung kembali. Hingga suatu hari, Amangkurat I bermimpi didatangi Ratu Malang dan ratu tersebut berkata bahwa ia sudah bahagia bertemu dengan dalang suaminya. Akhirnya Amangkurat I menutup makam istrinya, dan ia kembali ke istana. Tak hanya itu, di situs Pleret juga terdapat makam paling kuno, yaitu makam Ratu Labuhan (istrinya Amangkurat).
Di Masjid Agung Pleret ada tata ruang dalam mihrab, dimana terdapat maksurat yaitu semacam penjara kecil yang berukiran floral. Hal ini dikarenakan banyak yang ingin menyerang raja, sehingga dibuat maksurat yang agak terlindungi. Dulu masjid ini menjadi benteng pertahanan Pangeran Diponegoro. Pleret terkenal dengan bata merah, tak terlepas dari proyek membangun kerajaan dari bata. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan bis ke Museum Sejarah dan Purbakala Pleret, untuk melihat peninggalan sejarah Mataram Islam lainnya.
Museum Pleret
Sesampainya di Museum Pleret, ternyata banyak sekali jejak Mataram Islamnya. Mulai dari Sumur Gumuling yang kabarnya bisa membuat awet muda, hingga umpak dan peninggalan lainnya.
Sumur Gumuling sendiri diceritakan memunyai rasa air yang berbeda-beda. Ada yang ketika meminumnya merasa asin, ada yang terasa manis, tawar, dan sebagainya.
Setelah berkeliling melihat peninggalan sejarah di halaman Museum Pleret, saya dan para peserta pun memasuki isi Museum Pleret dengan reaksi terkagum-kagum.
Ada hologram Masjid Kauman Pleret yang seolah-olah menggambarkan rekonstruksi masjid tersebut. Kemudian juga ada hologram keris.
Selain itu, ada benda-benda kuno dan bersejarah seperti mata uang Tingkok, umpak, talam, arca Hindu dan lain-lain. Saya sampai geleng-geleng kepala karena kaget bahwa di Pleret ada kayak gini. Nggak nyangka bahwa kawasan Pleret pun memiliki nilai histori yang wajib diketahui oleh generasi muda.
Hari itu acara di tutup dengan berfoto bersama dan ucapan terima kasih dari Ketua Komunitas Malam Museum kepada peserta yang sudah mengikuti acara sampai selesai.
Saya pun merasa senang sekali dapat menyusuri jejak sejarah dari acara Jelajah Mataram Islam ini. Selama 30 tahun lebih lahir dan hidup di Jogja, terus terang baru kali ini saya mengetahui sejarah Mataram Islam dari situs aslinya, bukan hanya dari buku sejarah di sekolah. Bayangkan, lama tinggal di Jogja tapi nggak pernah datang ke tempat bersejarah tersebut, hehe, jadi malu. Oleh karena itu, ini adalah pengalaman berharga untuk saya, agar lebih menghargai sejarah bangsa kita. Sekali lagi, terima kasih Malam Museum =)
nah ini, saya suka model model wisata sejarah kek gini
hihi, kalau ada lagi ikutan ya=)
makasih Mbak
Lengkap banget catpernya mbak
Saya jadi tau banyak info nih terutama tentang situs2 peninggalan masa lalu
Makasi ya
sama2 Mbak, semoga manfaat
Ini kalau diterapkan untuk pelajar cocok sekali ya mbak Dian, jadi anak-anak gak cuma tahu ceritanya aja tapi bisa melihat langsung bukti sejarahnya. Saya sukak bingung kalau belajar tapi gak tahu wujudnya,hihih
benar Mbak, kemarin yang ikut juga banyak pelajarnya, anak2 antropologi
Aku dulu bolak balik di Pleret lama karena ada pabrik kerajinan disana buat ngambil pesanan. Tapi belum pernah eksplor sejarahnya.
Wah iya kah Mba? Yang seru adalah lagi dibangun Masjid Kauman Pleret Mba, menurutku bakal megah banget. Apalagi disandingkan dengan reruntuhan aslinya. Mungkin akan banyak wisatawan yang datang
Wah kayanya sesekali perlu nih ikut jelajah tempat bersejarah gini
hihi ayok ke Jogja, banyak acara jelajah tempat bersejarah
Pernah nggak ya kesini? Eh, nggak pernah kayaknya hehehe (setelah baca lebih lanjut)
Ini nih asyiknya, wisata sambil belajar, nggak ada ruginya ya