“Sungguh,tak mudah bagiku nak, menahan segala tawaran berkarir atau cercaan karena aku memilih mendampingimu. Aku bukan tak bisa seperti mereka yang mengabdikan diri menggunakan ilmunya untuk kepentingan masyarakat luas.Sementara aku justru bergelut dengan pencarian ilmu sabar dan parenting yg tak kuketahui sebelumnya. Maka kumohon sekali saja nak, bantu bundamu ini dengan menjadi anak yg manut.Aku tau, kreativitas justru muncul dari ketidak aturan. Imajinasi justru berkembang tanpa kekangan. Tak akan kukotak-kotakkan kreativitas dan imajinasimu, aku hanya ingin kau menjadi mudah untuk dipahami.”
Berawal dari sebuah status di Facebook di atas yang ternyata mengundang banyak komentar, membuat saya ingin menuliskannya kembali di blog. Bukan sebagai pembenaran, atau curhatan galau, tapi lebih kepada menjadi self reminder ketika diri ini mulai “lupa” niat awal memilih menjadi ibu rumah tangga.
Komentar-komentar yang masuk sebagian besar dari ibu-ibu rumah tangga yang ber”nasib” sama. SAHM, yes, we call it as Stay at Home Mother. Dari 45-an komentar yang masuk, rata-rata menyemangati, ikutan curhat kalau mereka pun mengalami hal yang sama, dan mereka berusaha meningkatkan kesabaran dalam menghadapi polah anak-anak. Well, sounds easy hah? Not at all. Seperti pagi ini, Najla terbangun hanya karena saya kebelet ke kamar mandi, tanpa dikeloni siapapun (posisi saya sedang di rumah Mbah nya, no ART, no husband), sudah dapat dipastikan tantrum menggelegar di pagi hari. Dan berlanjut ketika akhirnya hanya sarapan 3 suap, minta tidur lagi, tapi selimut kesayangannya sedang dicuci oleh mesin (karena saya kira hari ini mau langsung pergi pagi-pagi). Saat saya menulis ini, Najla masih berteriak, saya sengaja biarkan hingga emosinya selesai. Kalau boleh memilih, lebih enak saya pagi- pagi pergi kerja tanpa mendengar anak saya menangis. Beruntunglah ibu-ibu pekerja yang bisa mandi dengan tenang, makan tanpa rengekan atau tangisan anak kecil. Menikmati hidupnya, seperti ketika belum punya anak, duduk nyaman didepan komputer, meeting bersama bos dan klien, lalu makan siang bersama rekan kerja (kelihatan menyenangkan bukan?)
Saya berkata demikian karena saya pernah berkarir di luar rumah sebelumnya, dalam keadaan belum punya anak tentunya. Memang tak seindah yang saya ceritakan diatas *kerja dipelayanan RS gitu loh* makan siang aja molor-molor sampai jam 2 siang (pernah molor sampai jam 4 sore,hehe, masa-masa itu) . Paling tidak, bisa makan dengan damai tanpa nyambi mengejar krucil atau terhenti karena harus membawa krucil ke kamar mandi akibat berlumuran pipisnya:(. Yang sering ngalamin, pasti mesam-mesem nih baca paragraf ini. Yang jarang ngalamin *baca 1-2 hari ngalamin* pasti berasa ikhlaslah makan sambil nyambi-nyambi, demi anak ini. Saya cuma bisa coment, ya iyalah, not everyday kan? Coba kalo tiap hari, ceritakan pada saya perasaanmu, masih bisa bilang demi anak? Hmm.
Tapi kehidupan ibu rumah tangga tentunya tak melulu memancing kesabaran kaya cerita diatas. Ada kalanya *semoga sebagian besar hari* terlewati dengan senyuman dan canda tawa dengan anak. Najla bangun dalam kondisi tersenyum merupakan salah satu tanda bakal lancar dunia per-anak-an sepanjang hari. Senyum yang selalu kutunggu, menjadi orang pertama yang kau berikan senyumanmu adalah hal terindah yang tak bisa digantikan oleh apapun, oleh gaji milyaran sekalipun. Kedengaran lebay? Ya ga lah, karena itu memang yang aku rasakan (ga tau ya kalo ibu-ibu lain). Yang jelas, itu adalah salah satu alasan aku memilih berkarir di dalam rumah. Yes, menjadi orang pertama yang mendapat senyuman manis dari Najla-ku.


Foto:dokumen pribadi
Ga cuma senyuman, bonusnya jadi ibu rumah tangga adalah jadi orang pertama yang melihat Najla merangkak, melihat Najla pertama kali berjalan, melihat langkah pertamanya. Bagiku bukan sekedar bisa jalan, tumbangnya normal, trus udah. Tidak seperti itu. Aku menghargai setiap usahanya untuk melangkah, bangkit ketika jatuh, berpegangan ketika oleng. Melihat kepuasan di matanya ketika berhasil berjalan, membuatku tersadar bahwa hal-hal sepele tersebut merupakan hal besar bagi anak, bukan hal mudah layaknya kita yang sudah berjalan entah berapa triliyun langkah. Dan sekali lagi, aku bangga menjadi saksi pertama setiap hal besar dalam hidup nya.

Kelak ketika keluar kata pertamanya, diikuti kata-kata bermakna berikutnya, bikin kita terkagum-kagum akan percepatan kemampuan bicaranya. Ya, tak terhitung berapa banyak hal yang kita kagumi dari mahkluk kecil bernama ‘anak’. Kemampuan mereka membuat kita tertawa dengan tingkah lucunya, kepolosannya, keingintahuannya yang besar, ahh masih banyak lagi.
Mungkin akan ada pertanyaan, bukankah kalau bekerja di luar rumah juga masih dapat mengikuti pertumbuhan dan perkembangan si kecil? Hmm, saya ga bisa jawab, karena saya ga 8-12 jam meninggalkan Najla. Menurut saya, jika waktu yang 3-4 jam setiap harinya (waktu tidur tidak di hitung) digunakan dengan berkualitas tidak masalah. Ibu berkarir tetap bisa mengetahui perkembangan anaknya, malah bisa fokus karena kebanyakan ibu rumah tangga multitasking ketika menemani anak mereka. Disambi masaklah, disambi cuci bajulah, justru ga berkualitas ya waktunya. Tapi sebaliknya, ibu berkarir yang terbiasa tidak diganggu oleh kehadiran anak, mungkin saja merasa bingung harus ngapain sama anak, melakukan permainan menggambar, “duh males banget deh, ga bisa gambar.” Dongengin anak, “ah si bibi aja yang bacain dongeng.” Ngelonin anak, “kan udah ada botoh dot sebagai pengganti.” Hey, rasanya nyaman sekali ya pulang ke rumah eh masakan udah tersedia, anak udah rapih, wangi, udah makan, rumah juga bersih. Saya juga mau tuh kaya gitu. Konsekuensinya, akhirnya anak menjadi lebih lengket dengan bibinya atau neneknya. Ada sih yang pernah bilang, aku dulu juga anak yang ditinggal ibunya bekèrja, toh aku ga inget siapa pengasuhku, yang aku inget ya cuma mamaku. Hmm, kalau boleh jujur, sedekat apa dengan mama anda? Seperti temankah? Sahabat? Sepertinya berkolerasi ya kedekatàn tersebut dengan quality time yang di punyai.
Okelah tidak semua ibu bekerja yang saya kenal seperti itu. Terus terang saya salut pada beberapa ibu bekerja yang mendedikasikan waktu luangnya full untuk anak. Seperti dr.Asri yang saya kenal lewat komunitas HHBF (Homemade Healhty Baby Food), Pagi-pagi beliau sendiri yang menyiapkan sarapan dan bekal untuk kedua anaknya masuk day care dan sekolah. Semuanya homemade, lihat kan betapa kerennya, saya aja kalah, lebih sering males masaknya, hehe. Udah gitu asix lagi, ibu di rumah belum tentu semua bisa asi exclusif lho, tergantung ilmu dan kondisi masing-masing. Plus dr.asri ini punya bisnis katering bayi dan toodler (promosi nh, royalti ya bu…hihi). Saya mah boro-boro bikin katering, kapan masaknya kalau ke dapur aja diikutin sama Najla, salat aja kadang ditangisin (alesan banget ya).
Ada lagi ibu bekerja yang tanpa ART, jadi bangun pagi-pagi menyelesaikan urusan rumah tangga, beberes, nyiapin bekal anak,dll. Lalu memandikan anak, nyuapin dan mengantarnya ke daycare, sementara ibu tersebut berangkat kerja. Pulang kerja menjemput anaknya dan malamnya mungkin meneruskan pekerjaan rumah yang belum selesai sambil bermain bersama anak, super sekali bukan. Kebalikan dengan saya yang di rumah, ada rewang pulang pergi 2 jam tiap pagi, jadi waktunya full nemenin Najla + masak kalau mood. Tapi justru itu, kadang momong Najla terasa lebih berat dibanding nyuci baju segunung atau masak sekelurahan (agak lebay kalo ini), apalagi kalau Najla lagi sakit terus susah tidur terus ga mau makan, terus gatel digigit nyamuk, terus ribut matanya risih basah kena air mata, arrghh…, bisa tantrum all day. Ya, setidaknya saya beruntung ketika Najla harus opname karena DB saya ga perlu mikir cuti kantor dan bisa full mendampingi Najla, hingga dia diijinkan pulang ke rumah. That is the real gifted.
Owh ya, ada sebuah pernyataan yang menggelitik saya mengenai kesabaran dalam mendidik anak. Ya, memang susah menahan emosi ketika kita jarang bersosialisasi di luar rumah tanpa bawa anak, seolah-olah waktunya habis hanya untuk meladeni dan melayani maunya anak. Tapi kalau saya boleh jujur, berkaca ke diri sendiri, jika nanti saya sudah tua, sudah pikun, ga bisa ngapa-ngapain kaya bayi lagi. Anda lebih memilih di urus sama perawat yang dibayar tinggi sama anak cucu, atau dititipin di Panti Jompo yang paling mewah dan terjaga keamanannya plus keren-keren kegiatannya atau di temani masa tuanya oleh anak cucu di rumah sendiri? Kalau saya sih pilih yang ketiga ya, dirawat oleh orang yang saya kenal, saya sayangi, darah daging saya sendiri. Hmm, mungkin ada yang berfikir kurang pas jika hal tersebut dianalogikan sama dengan perawatan bayi. It’s okey, itu hanya pemikiran saya saja, opini saya.
Kembali ke kesabaran. Jujur, saya dulunya termasuk orang yang sabar. Jaman kerja di Rumah Sakit membawahi 60 orang AA+ juru racik, kalau saya lagi emosi mana pernah saya marah berteriak atau berdebat dengan mereka. Ya mungkin 1-2x kalau udah keterlalûan, baru deh keluar taringnya, hehe. Beda banget dengan jaman menjadi ibu, mungkin keadaan fisik yang lelah ditambah pikiran yang stress ketika anak rewel, menjadikan emosi yang memuncak, berakhir dengan mengomel pada anak plus orang rumah:(. Kalo lagi kaya gini, langsung inget komentar teman saya yang satu ini, Asti, seorang sarjana Psikologi yang juga memilih untuk berkarir di rumah:
“Menjelang usia 2 tahun sering disebut “terrible phase”, dian. tambah ngeyel krn anak mulai muncul egonya, mulai mau ‘mengatur’ lingkungannya. tapi di fase ini pula anak akan banyak belajar tentang dirinya. kita tdk akan menyesal kok, full time mendampinginya. posisi ibu ga akan tergantikan oleh siapapun (ini kata guru besar psikologi perkembanganku lho).dan bersiaplah untuk lbh bersabar lg , semakin sering kita marah, semakin anak menirunya dan semakin susah diatur. kl tantrum muncul, peluk aja. anak akan tahu,”bunda sayang aku..
Intinya kita harus meningkatkan ambang kesabaran kita, bukan menghindarinya dengan cara keluar rumah, hehe. PR besar nih.
Kesimpulan saya, semua adalah pilihan, yang ada kelebihan dan kekurangannya, yang ada konsekuensinya. Seperti kata ibu-ibu ini.
Husna Mumtaz (ibu dari seorang putra, karyawan BUMN):
“Yang ikhlas dian… Semua keputusan jangan disesali, krna dian pasti sudah memikirkan nya dg baik2.. Semua keputusan pasti ada konsekuensinya, hanya cara kita saja untuk mengatasi konsekuensi tsb… “
Hikmah Ja’far Munabari (ibu dari seorang putri, ibu rumah tangga, lulusan S2):
“emang ga semudah kata2 dian.tp niat qt mempersembahkan qt harap Allah ganjar dg pahala mengalir seorang ibu itu yg mengutkan u qt ‘menikmati’ masa pancaroba emosi anak.terus belajar ‘melapangkan’ hati u berdamai dg keadaan.jangan2 qt sendiri blm sepenuhnya ikhlas,mendapati diri qt ‘hanya di rumah’.terus qt belajar ikhlas yuk”
Ikhlas, sebuah kata yang semua orang pasti setuju, mudah diucapkan tapi tak mudah di praktekkan. Ibu rumah tangga juga manusia biasa. Kadang muncul rasa lelah, rasa jenuh, dan rasa negatif lainnya. Tapi ada banyak hal yang bisa membangkitkan semangat. Hal yang selalu saya ingat ketika hati ini mulai gundah adalah kalimat ini “Mereka tak akan menjadi kecil selamanya. Kelak, waktu akan berlalu begitu cepat, tanpa kita sadari gadis kecil kita sudah dewasa. Dan mereka mungkin tak mau kita peluk lagi, tak mau tidur bersama kita lagi. Kitalah yang akan merindukan masa-masa kecil mereka.”
Sayalah yang akan merindukan di tangisin Najla waktu ke kamar mandi.
Sayalah yang akan merindukan di jadiin bantal waktu bercengkrama di tempat tidur.
Sayalah yang akan merindukan langkah Najla berlari memeluk saya ketika takut, terjatuh atau karena hal lain.
Sayalah yang akan merindukan suara Najla memanggil-manggil nama saya ketika ingin tidur atau ingin apapun.
Maka saya rela, menikmati tiap moment dimana kau begitu manja dan membutuhkan perhatianku, Anakku…
Yogyakarta, 18 Desember 2013
Cerita akan bersambung mengenai pilihanku saat ini, menjadi ibu rumah tangga produktif:).InshaAllah.

Mba, sepertinya menyenangkan sekali menjadi ibu rumah tangga ya. Seharian bersama anak, tapi kadang tuntutan sekitar bikin gimana gitu, sekolah tinggi-tinggi hanya di rumah aja? Saya belum menikah, apalagi punya anak, makasih sharingnya semoga menjadi bekal ketika waktunya telah tiba. Salam kenal ya.
He he,iy mbak. Ntar kalo udah menikah&punya anak pasti naluri kok pingin waktuny lebih banyak ke anak. Tinggal niatnya berkarir mau apa?brharap pujian/prestige dari sesama manusia?cuma bakal bikin kecewa.. Lebih baik brharap berkarir sbg slh satu Ibadan kpd Allah,walaupun untuk seorang istri nggak wajib hukumnya:)
dian, kita satu alumni di UII dan satu angkatan pula
kita sama2 lulus sbg apoteker. sekarang akupun telah menjadi seorang istri dan ibu seorang putra berusia 9,5 bulan.
disela2 waktuku aq sempatkan buka facebook dan tertarik untuk membaca salah satu judul blog mu.
aku masih dengan pilihanku untuk menjadi wanita karir. bekerja disebuah pbf. tak menampik sebuah perasaan ketika pagi hari aku diburu waktu dan harus meninggalkan anakku bekerja dan menitipkan sama mertua yg berbeda rumah denganku. huffttt kok kayak apa ya kata-katanya menitipkan itu. tapi memang itulah yg terjadi.
berat banget rasanya harus meninggalkan anakku berpergian selama minimal 8 jam. mungkin sepertinya kok tega sekali ya. namun, inilah pilhanku saat ini.
aku tak memiliki ART. aku kerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, tentu tetap dengan bantuan suami. pagi hari bangun subuh kemudian shalat, lalu memasak buat suami, kmd memasak buat anak, menyapu dsb. ketika tiba2 anak bangun dan merengek menangis akupun harus menghentikan sejenak kegiatanku dipagi hari itu. mungkin bisa jadi memasak baru setengah matang aku hentikan dulu.
aktivitas dirumah pagi hari itu sibuk juga. aku juga menyuapi sarapan anak, memandikan anak, menyusui, dan tiba saatnya detik-detik aku harus berangkat ke kantor. dan harus menahan rasa kangen seharian. kangen dengan senyumnya, tawanya. menyesal, ya ada penyesalan ketika tidak bisa mengetahui perkembangan anak scr detail. tapi inilah yang menjadi pilihanku saat ini.
sore hari adalah waktu yang begitu aku nantikan. bisa berkumpul bersama anak dan suami. aku mencoba memaksimalkan dan mengoptimalkan setiap waktu yang ada untuk bisa bersama anakku. mengingat waktuku yang sedikit untuk dia. setiap pagi sblm aku berangkat ke kantor, sore tiap aku sudah pulang, dan ketika weekend tiba.
ketika malam hari anakku sudah tertidur lelap, aku mulai melanjutkan aktivitas pekerjaan dirumah yg menumpuk kembali. lelah itu pasti, tapi ini konsekuensi sebuah pilihan.
sungguh berat rasanya dengan keadaan ini, tapi berkarir diluar rumah dengan tetap berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik masih menjadi pilihanku saat ini.
maaf malah curhat diblog mu, dan ketika aku baca blog mu ini, aku harus menahan tangis, menahan kangen mengingat anakku dirumah sedang ngapain ya,,,
aku posisinya lagi dikantor pas baca blog mu ini, jadi otomatis aku harus nahan tangis. nyesek bgt rasanya, pengen buru2 pulang buat peluk dan cium Nahl anakku
Huaaa,panjang bgt,Judah bisa jadi satu postingan sendiri tuh. Hebat hanita bisa setangguh itu, aku belum tentu mampu.kalo AQ berkarir diluar rumah,dapat dipastikan aku bakal pakai jasa art, trus yg jadi pikiran adalah anakku dikemanain?jauh dari rumah ortu&mertua alias beda kota.dimomong sm art?duh,rasanya kok ngenes ya, zaman skrg ssh2 gampang cari art yg bisa ngemong anak. Ke daycare?pilihan yg ssh jg karena makan wktu,energi, biaya secara kmn2 cm ad 1motor+macet dikota ini. Kdg pingin berkarir mengingat Najla udh 2th,udh bisa ditinggal, tapi sprtiny hrs kupikirkan masak2 lagi. Aku toh sudah prnh mrasakan capekny bkrja brgkt pagi plg mlm,brhrp bisa on time plg kerja rasanya bagai punguk merindukan bulan.Dan mmg bnr,masa2 0-2th ank2 sperti spoons,menyerap luar biasa. Sranku kalo dititipin ttep pantau aktivitas anak. Kalo aq, ibuq sdri dari awl mmg g mau dititipin.meetuaku udh ad 5cucu lainny yg srg main kesana krn rmhny brdekatan&beliau jg msh bkrja.for me,there such as no better choice than what I did now. For you, your choice also had consequences &when you could deal with it, it is become your best choice:)