Prompt #43: Sepuluh Kesempatan

Facebooktwitterredditmail

PhotoGrid_1395375094366

Langit biru menjadi saksi pertemuan rahasia dua hati. Graffiti dinding sekolah saat kita berseragam abu-abu memanggil lirih namamu. Engkau yang namanya serima denganku. Laras dan Bagas. Padu dalam rasa, tapi terpisah takdir.

Sepuluh tahun lalu, di samping ruangan ini, kau mengabaikanku. Kala langkahku tertatih mengamit tongkat. Pelipisku diperban dengan wajah berpeluh memar. Kita berpapasan, kau menatap lurus ke depan, mengabaikanku. Lelaki yang kukira paling peduli, ternyata bersikap bagai kuda dengan penutup mata. Sesudahnya kau menghilang, lesap, menunggu takdir mempertemukan kita.

Bahkan di hari bahagiaku, entah undangan sampai di tanganmu atau tidak. Kenyataannya kau takdatang. Kau takcukup tangguh, kan? Takcukup tangguh mengucapkan selamat padaku. Empat bulan belakangan, kuda itu melepas kacamatanya. Kau kirimkan bertubi pesan turut berduka. Mengajukan diri menjadi sandaran luka. Luka kehilangan suami yang paling kucinta.

Acara dipandu apik oleh teman seangkatan kita. Beberapa meja bundar dengan enam kursi melingkari tiap meja, memisahkan raga kita. Aku mencuri pandang menikmati tawamu. Berdesir percikan asmara seolah masih remaja. Ini bukan cinta monyet, apalagi cinta buta. Ini adalah cinta pertama. Tumbuh menjalar menyebrangi buku-buku di perpustakaan. Disirami coklat dan es krim kesukaan kita. Subur diiringi alunan puisi-puisi roman dizamannya. Ah, masih kusimpan rapi sajak asmarandana itu.

Kala para alumni asyik menikmati hidangan prasmanan, sebuah suara mengagetkanku.
“Laras…ini untukmu.” Engkau menawarkan semangkok mie bakso.

“Tapi, di tanganku masih utuh sepiring siomay,” tolakku.

“Duduk di sana yuk. Aku tungguin sampai siomaymu habis.” Kamu menarik lengan bajuku tanpa permisi. Kamu membawaku menuju kursi panjang di bawah pohon talok yang menjulang tinggi di depan kelas kita dulu.

Setiap pasang mata menyelidik heran. Yah, setidaknya itu menurutku. Duduk bersampingan dengan Bagas, bakal jadi hot gossip.

“Kamu masih sedih?”

Bagaimana mungkin aku menjawab sudah tidak. Kamu tahu? Hidupku remuk redam. Seluruh Indonesia tahu, Mas Arya, adalah pilot yang menerbangkan Nusantara Air menuju surga.

“Ya.” Aku menganggukkan kepala, masih mengunyah siomay.

“Kamu bisa mengandalkanku kalau butuh apa-apa.”

“Hmm, oke,” suaraku datar.
Ingin aku menjawab, Benarkah?

“Sebenarnya aku ingin meminta pendapatmu. Kekasihku mendesak membawa hubungan kami ketahap yang lebih serius. Aku bimbang.”

“Seorang pengacara muda seperti kamu bimbang, mengapa?”
Bagas, aku baru tahu kalau kamu memiliki kekasih.

“Semenjak berita tentang almarhum suamimu memenuhi media, aku mengkhawatirkanmu.”

“Boleh aku makan baksonya?”
Sungguh, situasi ini canggung untukku.

Kau tertawa, masih memesona.

“Menurutku, wanita itu pecinta kepastian. Sama seperti aku. Sebaiknya kamu segera melamarnya, Bagas.”

Bagas menatapku, lama. Dia mengeryitkan dahinya, menarik nafas dalam-dalam. Apa ada yang salah dengan kata-kataku?

“Aku pulang sekarang, tak baik janda sepertiku keluar rumah terlalu lama.”

Aku berlari meninggalkannya, sesenggukan.

“Laras…tunggu!” Engkau melangkah lebih cepat. Kamu tarik lagi lengan bajuku, menghadapmu.

“Kalau ada satu kesempatan lagi untuk kita, apa kamu akan mengambilnya?” Kalimat Bagas tepat menusuk jantungku.

Kutatap manik matamu, lalu berbisik, “Aku hamil, Bagas.”

Langit beranjak hitam, pekat. Kamu masih saja diam, mematung. Pandanganmu menerawang. Aku tahu apa yang berkecamuk di pikiranmu. Tanganku menyibak genggamanmu di lengan bajuku.

“Mungkin sepuluh kali kesempatan pun, akan tetap berakhir sama,” ujarku lantang seolah melepas sekilo beban.

Lalu, aku melangkah seringan kapas, meninggalkan Bagas yang terpaku.

Prompt 43

494 kata. Ditulis untuk Monday Flash Fiction Prompt #43: Let’s Move On!

(Visited 270 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

7 thoughts on “Prompt #43: Sepuluh Kesempatan

  1. Arman Zegaisme Reply

    wah Mak. baru pertama kali ke sini. eh, boleh panggil mak kan? dan ff nya keren bgt. apalagi kata2 di dalam kotak itu. cinta pertama yang lebih dewasa, tapi akhirnya sama juga. pisah

    • dian farida Post authorReply

      Boleh pggil mak, he he.makasih,msh belajar inih:).

  2. sayaperempuanoktober Reply

    Aku baru pertama kali mampir ke blog bunda, salam kenal bun *sesama member MFF dan kebetulan aku emang anak baru juga di grup itu* *ihik* xD

    Penuturannya emang manis mbak, aku suka :))

Leave a Reply

Your email address will not be published.