Jelajah Mataram Islam: Jejak Mataram di Kotagede (Part 1)

Facebooktwitterredditmail
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya

Sabtu, 14 Oktober kemarin, saya mengikuti wisata yang beda dari biasanya. Mengapa berbeda? Karena kali ini, wisata sejarah lah yang akan membawa saya ke masa lalu. Apalagi dikemas dengan menarik, yaitu mengunjungi situs-situs penuh histori tersebut. Yup, kami tidak hanya melihat diorama-diorama di museum, tetapi menjejakkan kaki langsung ke tanah perekam peristiwa penting zaman Kerajaan Mataram Islam.

Awan bersembunyi di pagi yang mendung tak menyurutkan langkah saya menuju gelanggang mahasiswa UGM, titik kumpul acara yang digawangi jelajah museum, dan Dispar Yogyakarta. Suasana di sana sudah ramai dengan puluhan peserta. Saya melihat beberapa teman blogger. Sementara lainnya, tidak saya kenal. Oleh karena itu, saya pun berkenalan dengan beberapa orang, diantaranya Nisa, gadis fresh graduate dari Makasar yang berniat melanjutkan S2 di Jogja. Lalu ada Desi, teman Nisa, dan ada Safira, mahasiswa antropologi UGM.  Kami dari latar belakang yang berbeda, tapi memiliki satu kesamaan, yaitu menyukai sejarah.

Saya akui, sejak di SMA, saya memang suka sejarah. Fosil, mumi, candi, segala hal yang berbau lampau dan penuh misteri, memang memunyai daya pikat tersendiri bagi saya. Sempat sih kepikiran mau jadi antropolog, tapi niat tersebut saya urungkan ketika ngeri kalau harus blusukan ke tempat-tempat terpencil kayak di film King Kong atau di film Mummy, wkkka, cemen banget ya saya.


Singkat cerita, peserta dibagi menjadi tiga kelompok yang disesuaikan dengan tiga bis yang digunakan. Di dalam bis, kami mendapat co card, snack, tas ransel minimalis, dan air mineral. Bis pun melaju langsung menuju kotagede. Sssampainya di sana, kami berjalan menuju pendopo Kajengan, yang ada di dekat Masjid Perak Kotagede.

mataram islam

Pendopo Kajengan

Acara dibuka oleh Mas Sam, founder Malam Museum. Kemudian Bu Sinta, selaku ketua Kotagede Heritage Style atau Jelajah Kota /blusukan Kotagede, menyampaikan sepatah dua patah kata, terutama mengenai tata tertib selama nanti memutari Kotagede. Hari itu kami akan mengunjungi tiga situs, yaitu masjid dan makam Kotagede, situs Watu Gilang, dan situs Bokong Semar. Kami akan dipandu tiga orang guide dari Kotagede Heritage yaitu Mbak Upik, Mas Yuda, dan Mas David.

Sebelum melanjutkan kegiatan yaitu blusukan Kotagede, Mas Sam menjelaskan sedikit mengenai sejarah Mataram Islam. Menurut Mas Sam, rujukan kisah Mataram Islam hanya ada tiga sumber, yaitu Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, dan laporan dari Belanda yang datang ke Mataram (orang VOC Batavia yang datang ke kerajaan untuk aktivitas ekonomi yaitu beras, komoditas terbesar di Jawa, terutama dikuasai Mataram zaman Sultan Agung)

Pada abad ke-16, yaitu tahun 1550, Kotagede muncul sebagai pemukiman awal. Babad Tanah Jawi menceritakan tentang kerajaan Pajang, dimana Sultan Pajang mempunyai musuh bernama Aryo Penangsang. Ia ingin membalaskan dendam ayahnya yang seharusnya menjadi Sultan Demak. Sultan Pajang membuat sayembara, siapa yang dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapat hadiah. Akhirnya Ki Gede Pemanahan dan Ki Gede Penjawi mencoba mengalahkan Aryo Penangsang. Sutawijaya putra dari Ki Ageng Pemanahan, yang juga anak angkat Sultan Pajang, ikut serta dalam sayembara tersebut. Aryo Penangsang pun berhasil dikalahkan dan mati di tangan Sutawijaya, tetapi yang mengaku membunuh adalah Ki Gede Pemanahan dan Ki Gede Penjawi tadi. Alasannya agar Sultan Pajang tidak lupa memberi hadiah, mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya, dan masih terlalu muda. Mereka mendapat tanah perdikan (tanah yang diberi hak istimewa dengan tidak dipunguti pajak), yaitu di Pati dan Mataram. Ki Gede Pemanahan mengalah dengan adiknya, sehingga Ki Gede Penjawi memilih duluan, yaitu yang di Pati. Ki Gede Penjawi memilih Pati karena saat itu sudah menjadi pemukiman, sementara Mataram masih berupa hutan.

Di lain sisi, ada ramalan yang menyatakan bahwa kelak penguasa yang bermukim di Mataram akan menjadi raja yang mengalahkan Sultan Pajang. Oleh karena itu, ijin tanah pun diperlambat sampai 7 tahun lamanya. Ki Gede Pemanahan pun melakukan pertapaan agar bisa menjadi penguasa. Dalam pertapaannya, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga dan disuruh sowan ke Pajang. Akhirnya Sultan Pajang memberikan tanah tersebut.

Ki Gede Pemanahan sempat bertemu Ki Ageng Giring di Gunung Kidul saat pertapaan memohon ridho Tuhan agar jadi penguasa. Ki Ageng Giring sendiri sedang bertapa, dan mendapat wahyu tentang buah kelapa. Dalam ilham tersebut, digambarkan bahwa buah kelapanya hanya satu. Lalu di kenyataan, karena Ki Ageng Giring belum merasa haus, makanya diminum oleh Ki Ageng Pemanahan., sehingga semua keturunannya menjadi penguasa. Sebagai balasan, Ki Ageng Giring meminta agar setiap keturunan ke-7, yang menjadi penguasa adalah dari keluarga Ki Ageng Giring.


Ramalan tentang kekalahan Pajang benar-benar terjadi, yaitu di masa Panembahan Senopati melakukan penyerangan terhadap Pajang. Ki Ageng Pemanahan tidak tinggal lama di Kotagede. Beliau meninggal di kubur di belakang Masjid Kotagede. Singkat cerita, Panembahan Senopati ini lah yang mendirikan kerajaan di Mataram. Pemberontakan pertamanya adalah dia tidak sowan ke Pajang. Padahal seharusnya tiap tahun semua bupati sowan. Ada tiga hal penyebab penembahan Senopati tidak mau datang ke Pajang, yaitu adanya aturan bahwa raja tidak boleh gondrong. Lalu Penembahan Senopati juga tidak setuju jika raja banyak selirnya. Bahkan di Serat Kandha lebih kasar lagi diceritakan tentang ketidaksenangannya. Panembahan Senopati disebutkan memerintahkan ke rakyatnya untuk membuat benteng yang besar, yaitu Benteng Cepuri. Sebelum berperang dengan Pajang, Panembahan Senopati bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Beliau meminta dukungan ke Nyi Roro Kidul, sedangkan pamannya meminta restu ke Gunung Merapi. Bedanya dengan zaman kerajaan Demak, penguasa meminta restu ke Sunan.

Kotagede sendiri memiliki banyak keistimewaan dalam sejarahnya, antara lain, Kotagede termasuk wilayah yang tidak dibagi dalam perjanjian Gianti, sehingga tanggung jawab wilayah ini dipikul bersama. Mengapa demikian? Karena untuk menghormati leluhur di masa Mataram Islam. Dari cerita rakyat yang beredar, yang memberi nama Kotagede adalah Panembahan Senopati, dengan arti kota yang besar. Dimana dahulu tidak ada kota yang sebesar kota ini, tetapi dalam laporan VOC tidak ditemui nama Kotagede, melainkan disebut sebagai Mataram, sama halnya dengan di Babad Tanah Jawi.

Kampung Between Two Gate

rumah di Kotagede

rumah di Kotagede

Oke, saatnya menyusuri sejarah Mataram Islam bersama tulisan saya. Setelah penjelasan oleh Mas Sam, kelompok saya melanjutkan perjalanan ke kampung di antara dua gerbang dipandu oleh Mas Yuda. Seorang Profesor UGM, berdasarkan dari hasil disertasi dan jurnal yang dipublikasikannya, memberi nama tempat yang kami lewati ini sebagai kampung Beetwen Two Gate. Sebutan lainnya adalah kampung Alun-alun, dan jalannya disebut jalan rukunan dikarenakan kerelaan setiap keluarga menyumbangkan tanahnya untuk jalan. Tempat ini dilihat dari sejarahnya, dulunya merupakan alun-alun untuk militer Mataram Islam. Bentuk alun-alunnya berupa padang pasir yang tidak ada tanamannya. Nah, sebagian besar militer Mataram Islam kala itu pindah ke Kraypak dan Pleret, sehingga alun-alun menjadi sepi. Akhirnya dibangun kembali menjadi pemukiman bekas prajurit Mataram yang tidak hijrah.

rumah di Kotagede

rumah di Kotagede

Yang menarik dari Kampung Between Two Gate ini adalah rumah-rumahnya berasitektur jawa kuno. Lihat deh ukiran pada pintu bahkan dinding rumahnya. Juga perabot yang tertata di terasnya, lawasan semua. Pendopo pun banyak saya temui di kampung ini. Maka wajar bila tempat ini masuk kawasan cagar budaya.

Saat kami berjalan lagi, sampai lah pada pemandangan yang cukup mengejutkan saya. Inilah Benteng Cepuri, yang tadi sempat diceritakan oleh Mas Sam. Benteng yang dibangun oleh Panembahan Senopati untuk menyatakan ketidaksenangannya pada Sultan Pajang.

jelajah mataram islam kotagede

Benteng ini sempat mengalami keruntuhan saat gempa melanda Jogja, sehingga direnovasi oleh pemerintah.

jelajah mataram islam kotagede

Inilah batu asli Benteng Cepuri

Meskipun yang kami lihat adalah replikanya, tapi teman-teman dapat menyaksikan batu-batu asli yang digunakan oleh rakyat Mataram Islam sebagai bahan baku Benteng Cepuri.

Makam Hasta Renggo

rumah di Kotagede

Di tengah rintik hujan, kaki ini melanjutkan perjalanan ke Makam Hasta Renggo, yaitu makam untuk kerabat raja, pesinden di zaman Mataram Islam. Dahulu, sebelum putra mahkota menjadi raja, ia harus sowan ke makam Panembahan Senopati di kompleks Masjid Agung Kotagede, lalu ke makam Hasta Renggo, dan ke makam raja-raja di Imogiri. Apakah warga biasa boleh masuk ke makam Hasta Renggo ini? Tentu saja boleh, dengan ijin terlebih dahulu.

Watu Gilang, Gatheng, dan Genthong

jelajah mataram islam kotagede

Wisata sejarah Mataram Islam dilanjutkan menuju situs watu gilang, gatheng, dan watu genthong. Apakah itu?

Watu Gilang

jelajah mataram islam kotagede

Watu Gilang adalah batu bekas singgasana Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya saat bertahta di Kotagede. Situs ini terletak di sebelah selatan kampung Alun-alun yang sudah saya ceritakan di atas.  Posisinya berada kurang lebih 200 meter dari kompleks Masjid Agung Kotagede. Saat saya ke sana, Watu Gilang terletak di dalam sebuah bangunan dengan luas kira-kira 15 meter persegi. Bisa dilihat bahwa watu ini terbuat dari batu andesit yang berwarna hitam. Bentuknya kotak dengan panjang sekitar 120 cm dan ketebalan kurang lebih 10 cm.

Watu Gatheng

mataram islam

Di dalam situs ini, terdapat 3 buah Watu Gatheng, yang ukurannya berbeda-beda. Watu ini dipercaya sebagai alat permainan salah satu putra mahkota Panembahan Senopati, yaitu Raden Rangga. Watu Gatheng yang berat dan besar itu dengan mudahnya dilempar kesana kemari oleh Raden Rangga, karena kesaktiannya. Hal ini dapat terjadi karena Raden Rangga diyakini sebagai putra dari Nyi Roro Kidul.

Watu Genthong

jelajah mataram islam kotagede

Watu Genthong ini bentuknya berupa bola yang berlubang, dimana dipercaya sebagai tempat berwudhu, atau tempat untuk mengambil air oleh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani. Saat saya ke sana, ada guru kunci yang menjelaskan kisah-kisah tersebut kepada kami, sehingga membuat aura magis situs tadi cukup terasa. Apalagi bangunan tempat ketiga watu tersebut agak gelap dan kecil.

jelajah mataram islam kotagede

Oh ya, di tempat ini masih terdapat dua beringin besar lho.

Kami pun  melanjutkan perjalanan ke kompleks Masjid Agung Kotagede dan makam Kotagede. Di bagian depan seharusnya terdapat dua beringin, yang melambangkan Kerajaan Jogja dan Kerajaan Solo. Tetapi beringin di bagian utara telah mati akibat bencana alam di Jogja, sehingga tinggal pohon beringin Jogja di bagian selatan. Di sini juga ada dua pendopo, yang digunakan untuk abdi dalem masing-masing kota.

jelajah mataram islam kotagede

Lihat simbol Batara Kala di atas sendiri

Mas Yudi selaku pemandu kami menjelaskan bahwa di pintu gerbang masjid dan makam Kotagede, ada lambang Batara Kala yang artinya waktu. Dimana dimaksudkan agar setiap manusia menghargai salat 5 waktu. Sementara sejarah dalam ajaran hindu, Betara Kala sendiri adalah penguasa waktu, yang dalam filsafat hindu, merupakan simbol bahwa apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka akan dijemput oleh Kala.

Masjid Agung Kotagede

Kalau diperhatikan, di kompleks ini terdapat pohon sawo kecik, dengan harapan bahwa tiap individu yang masuk ke masjid, mempunyai hati yang baik.

jelajah mataram islam kotagede

jelajah mataram islam kotagede

Ditiap masjid agung bagian depannya selalu ada makam. Keberadaan makam ini bukan tidak ada artinya, karena sebenarnya dimaksudkan sebagai pengingat bahwa selain kehidupan dunia, juga akan ada kematian.

mataram islam

Teman-teman dapat melihat ada tulisan tahun di bagian atas masjid. Mas Yudi mengatakan bahwa tahun 1856-1926 adalah waktu renovasi masjid.

Lanjut ke bagian masjid yang lainnya yuk, yaitu Sendang Seliran.

Sendang Seliran

jelajah mataram islam kotagede

jelajah mataram islam kotagede

Sendang Seliran adalah tempat pemandian di zaman Mataram Islam. Bahkan konon katanya merupakan tempat mandi Panembahan Senopati ketika sedang berada di padepokan. Untuk menuju Sendang Seliran, saya melewati beberapa anak tangga atau undak-undakan. Dengan kata lain, lokasinya lebih rendah dibanding komplaks makam. Sendang Seliran sendiri berukuran kurang lebih 5×10 meter, dan dikelilingi tembok bata setinggi sekitar 1 meter.

Pic undak

Tempat ini dibagi dua, yaitu Sendang Kakung untuk pemandian laki-laki dan Sendang Putri untuk perempuan.

jelajah mataram islam kotagede

Pintu masuk Sendang Kakung berada di sebelah barat, sementara Sendang Putri berada di sebelah selatan. Di Sendang Seliran ini ada sebuah sumur, diyakini jika membasuh muka dengan air sumur tersebut, maka akan menjadi cerah dan awet muda.

jelajah mataram islam kotagede

Masih menurut Mas Yuda, di kawasan Sendang Putri, terdapat legenda Kiai Reges, yaitu seekor lele yang sempat dimakan oleh Sunan Kalijaga. Ada yang ingin tahu ceritanya? Begini kisahnya, dahulu Sunan Kalijaga berkunjung ke Mataram, dan dikasih makan lele goreng yang rasanya enak sekali. Kemudian Sunan Kalijaga bertanya ke juru masaknya kok bisa lelenya seenak itu. Dijawab lah bahwa lelenya digoreng hidup-hidup. Kagetlah Sunan Kalijaga, sehingga akhirnya kepala dan duri lele tersebut di lepas ke kolam Sendang Seliran. Siapa sangka terjadi mukjizat bahwa lele tadi hidup kembali menjadi lele putih. Menurut legendanya, hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat lele putih Sunan Kalijaga tersebut. Sementara lele putih lainnya yang ada di kolam hanya lah untuk menegaskan legenda tersebut.


Lain lagi cerita di Sendang Kakung. Kabarnya, di bagian utaranya terdapat makam bulus (kura-kura) yang bernama Kyai Duda Rejah. Konon, kura-kura ini adalah hewa keramat yang dulunya menghuni sendang. Usianya lebih dari 100 tahun, hingga akhirnya mati pada tahun 1987.

Selesai menjelajahi jejak Mataram Islam di Kotagede, kami pun berkumpul kembali di Pendopo Kajengan. Hujan deras sempat turun. Saya melihat Desi dan Safira tengah asyik memesan kopi, maka saya pun mengikuti mereka. Memesan segelas jeruk hangat di angkringan depan Pendopo Kajengan. Ditemani rintik hujan, perut yang keroncongan pun meminta jatah seplastik bakso kecil – kecil dan sale pisang. Alhasil ketika akhirnya makan siang dibagikan di bis, saya pun sudah kenyang=D.

Perjalanan dilanjutkan ke situs Kerto. Lihat ke artikel selanjutnya ya di sini.

(Visited 765 times, 1 visits today)
Facebooktwitterredditmail Nih buat jajan

15 thoughts on “Jelajah Mataram Islam: Jejak Mataram di Kotagede (Part 1)

  1. Lusi Reply

    RUmahku dulu dekat sini. Anak2 kalau main naik sepeda kesitu. Mau lihat belut raksasa, kata mereka. Dekat watu gilang ada penjual bakmi jowo yg ngehits banget.

  2. Dian Radiata Reply

    Wisata kayak gini menarik banget.. Jalan-jalan sambil belajar sejarah. Coba dulu guru sejarah di srkolah ngajarnya sambil jalan-jalan begini, pasti betah hehehe

  3. dian.ismyama Post authorReply

    benar Mbak, nggak cuma ngapalin tahun2, tapi juga lihat langsung situs sejarah yang masih ada ya. Jadi kayak kebawa ke masa dulu gitu

  4. Dipa Reply

    Alhamdulillah, ulasan nya lengkap dan runtut. Dapat pengetahuan banget tentang sejarah dan kejayaan Islam. Terimakasih sudah mengisnpirasi, Happy Blogging…. buk 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.